Sejarah Kelahiran Dialektologi



Sejarah Kelahiran Dialektologi
    1. Sejarah Munculnya Dialektologi
Perkembangan kajiak dialektologi, secara garis besar, dapat dikelompokkan atas dua bagian, yaitu masa sebelum tahun 1875 dan masa sesudah tahun 1875. Berikut ini dikemukakan secara singkat masing-masing pembagian tersebut.
  1. Masa Sebelum Tahun 1875
Pada masa ini kajian dialek selalu dikaitkan dengan linguistik historis komparatif atau linguistik bandingan dan filologi. Munculnya dialektologi diilhami oleh adanya gagasan untuk melestarikan bahasa-bahasa yang dianggap lebih wajar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebelumnya, terdapat pandangan bahwa bahasa yang dianggap bagus adalah bahasa baku, sedangkan bahasa yang dianggap tidak bagus adalah dialek. Reaksi terhadap pandangan tersebut muncul tahun 1584 dan reaksi tersebut dilakukan dengan cara menerjemahkan cerita klasik Italia yang berjudul de Camerone ke dalam 12 dialek Italia.
  1. Masa Sesudah Tahun 1875
Pada masa ini muncul aliran Jerman. Penekanannya pada pembuktian teori kelompok Jung Grammatiker yang mencetuskan Ausnahmstasigkeit ’hukum perubahan bunyi tanpa kecuali’. Tokohnya adalah Gustav Wenker.

Dialektologi lahir pada waktu adanya pengaruh oleh aliran Romantik di Eropa terhadap bidang linguistik yang mengilhami gagasan untuk melestarikan bahasa-bahasa yang dianggap lebih wajar dijumpai di dalam kehidupan sehari-hari. Pada waktu itu terdapat pandangan yang berasumsi bahwa bahasa-bahasa baku tidak mencerminkan keaslian karena terdapat banyak penyimpangan dari bahasa yang wajar dipakai sehari-hari oleh masyarakat penuturnya. Hal itu terkait dengan temuan hukum perubahan bunyi tanpa kecuali oleh kau Neogrammarian.
Dari kajian lingkuistik komparatif, sebagaimana dikemukakan oleh Meillet (1967 :69) mula-mula diperkirakan bahwa bahasa asal atau protobahasa dari bahasa-bahasa sekerabat merupakan bahasa yang satu atau seragam (ada suatu kesatuan) Meillet (1967 : 69) juga menegaskan bahwa istilah dialek dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasa di Yunani yang terdapat perbedaan-perbedaan bahasa yang dipergunakan oleh pendukungnya masing-masing, namun tidak sampai menyebabkan mereka merasa mempunyai bahasa yang berbeda. perbedaan-perbedaan tersebut tidak menghalangi mereka untuk merasa memiliki satu bahasa yang sama. Oleh karena itu, Meillet (1967 : 70) berpendapat bahwa ciri utama dialek adalah perbedaan atau keragaman dalam kesatuan dalam perbedaan. Selain ciri khusus yang dikemukakan Meillet, ada dua ciri umum yang dimiliki dialek, yaitu (1) dialek merupakan seperangkat bentuk ujaran lokal (setempat) yang berbeda-beda yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih saling mirip dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa (Meillet, 1967 : 69).
Faktor-faktor yang menentukan penobatan atau pengakuan suatu dialek menjadi bahasa baku adalah politik, budaya, dan ekonomi. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya faktor lain yang juga turut menentukan, misalnya  faktor historis (Meillet, 1967 :72, Petyt, 1980 :63).

  1. Perkembangan Kajian (Mazhab) Dialektologi
Mula-mula kajian dialektologi berkembang di Eropa, yaitu Italia kemudian berkembang di Jerman dan Perancis. Karena itu Italia adalah tanah kelahiran dialektologi. Kajian dialektologi kemudian menyebar ke India, Amerika, dan berbagai negara lainnya termasuk Indonesia.
  1. Perkembangan Kajian Dialektologi di Jerman
Kajian dialektologi mulai berkembang sesudah tahun 1875 semenjak upaya pemahaman tentang perubahan bahasa secara diakronis terhadap sistem bahasa yang meliputi berbagai tataran kebahasaan (meliputi fonetik-fonologi, leksikon, gramatika, dan semantik) semakin maju. Lehman (dalam Fernandez, 1993/1994:5) menggunakan istilah geografi dialek (dialect geography) untuk menyebut kajian dialektologi.
  1. Perkembangan Kajian Dialektologi di Prancis
Tahun 1875 ada anjuran dari Gaston Paris agar melakukan penelitian yang terperinci mengenai dialek-dialek di seluruh wilayah Perancis. Bahkan, Paris juga mengnjurkan agar membuat peta fonetik untuk seluruh Perancis. Pemikiran Gaston Paris inilah yang mendorong geografi dialek bertumpu pada peta-peta bahasa sehingga geografi dialek tidak lagi menempel pada linguistik bandingan.
  1. Perkembangan Kajian Dialektologi di India
Penelitian bahasa India dilakukan pada tahun 1927. Penelitian yang dipimpin oleh Gierson itu bertujuan memetakan bahasa-bahasa di India. Dalam penelitian itu, Gierson berhasil mengetahui bahwa di India terdapat 179 bahasa dan 544 dialek. Akhirnya, penelitian itu menghasilkan sebelas peta bahasa yang mengikuti metode penelitian yang dikenal di Inggris, yaitu metode mazhab Prancis (Chambers dan Trudgill, 1980 : 22). Di India, metode penelitian mazhab Perancis lebih berkembang karena peneliti secara langsung dapat mengetahui konteks atau jiwa data dialek yang dituturkan oleh informan. Bahkan, peneliti dapat mengidentifikasi bunyi yang menjadi kekhasan dialek yang dituturkan oleh informan sehingga analisis fonologis dengan cepat dapat segera dilakukan.
  1. Perkembangan Kajian Dialektologi di Amerika
Tahun 1939 Amerika melakukan pemetaan bahasanya yang pertama di bawah asuhan Hans Kurath. Pemetaan bahasa di Amerika bermula karena para guru tidak tahu dengan pasti pelafalan mana yang dianggap baku dan yang seharusnya diajarka kepada para siswa. Dalam pemetaan itu Kurath memasukkan strata sosial sebagai dasar pemetaannya. Dengan demikian, Amerika adalah negara pertama yang melakukan pemetaan bahasa berdasarkan strata sosial dengan menggunakan metode penelitian mazhab Perancis (Kurath, 1972).
  1. Perkembangan Kajian Dialektologi di Indonesia
Kajian geografi dialek di Indonesia dimulai dari penelitian bahasa Sasak di Pulau Lombok pada tahun 1958 oleh A. Teeuw. Penelitian ini selanjutnya berkembang di Indonesia sekitar tahun tujuh puluhan. Hal itu ditandai dengan munculnya karya Ayatrohaedi pada tahun 1978 yang berjudul “Bahasa Sunda di Daerah Cirebon.
Penelitian-penelitian geografi dialek bahasa daerah di Indonesia telah banyak dilakukan meskipun jumlahnya belum sebanding dengan jumlah bahasa daerah di Indonesia. Tahun 1990 baru 15 buku hasil penelitian geografi dialek yang telah diterbitkan dari 54 penelitian yang telah dilakukan (Lauder, 1993 : 31) mencakup bahasa-bahasa di Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Nusa Tenggara.

Komentar