Hutan Kemasyarakatan ( HKm )


NAMA : FENIDA HARYATI
NIM : C1L 012 021
TUHAS : KEHUTANAN MASYARAKAT

Hutan Kemasyarakatan ( HKm )
Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan melibatkan masyarakat, di samping Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat. Banyak pihak memandang kebijakan ini sebagai pengakuan negara terhadap pengelolaan hutan oleh rakyat yang selama ini terabaikan, namun mampu menjaga kelestarian alam dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Bagi masyarakat, hutan tak hanya memiliki makna ekologis, tetapi juga sosial, budaya dan ekonomi.
Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Pemberdayaan masyarakat dilihat sebagai upaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat agar mereka mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka kesejahteraan masyarakat.
HKm hanya diberlakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dimana kawasan tersebut menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Izin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan HKm (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. HKm diperuntukkan bagi masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan serta menggantungkan penghidupannya dari memanfaatkan sumberdaya hutan.
Pelaksanaan HKm dapat dipilah dalam 3 tingkatan: pertama, penetapan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan); kedua, perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Bupati/Walikota/Gubernur); dan ketiga, pengelolaan di lapangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pemegang izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan.
Keberadaan HKm diharapkan mampu menyelesaikan konflik- konflik kehutanan dengan memberikan akses dan hak mengelola terkait klaim masyarakat dalam penguasaan kawasan hutan. Dalam konteks tersebut, HKm diharapkan dapat menjamin keberlanjutan dan transformasi ekonomi dan budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang membutuhkan pengakuan dan kepastian tenurial. Namun dalam inplementasinya, HKm mengalami berbagai tantangan diantaranya Proses penetapan Areal Kerja HKm dan IUPHKm lebih lama dari waktu yang ditentukan, Proses pemetaan yang sentralistik, HKm yang tidak berbasis budaya masyarakat dengan pola yang dikompilasi dari kelompok -kelompok dengan berbasis pada manajemen modern. Model- model pengelolaan secara kelompok ini tidak dikenal oleh masyarakat dalam pengelolaan hutannya sehingga masyarakat awam sulit menyesuaikan diri.
Hutan Desa
Hutan Desa pada prinsipnya adalah Hutan Negara yang dikelola oleh masyarakat dalam organisasi administratif pedesaan yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa itu sendiri. Artinya, Hutan Desa itu bermaksud untuk memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari dengan harapan sebagai tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan. Semua aturan atau kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah pusat terkait pengelolaan sektor kehutanan tentu berdasarkan pengalaman-pengalaman masa lampau.
Pada dasarnya, penyelenggaraan hutan desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan dan menjamin kelestarian lingkungan. Karena itu pelaku utama hutan desa adalah Lembaga Desa yang dalam hal ini lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan Peraturan Desa (Perdes) secara fungsional berada dalam organisasi desa dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa dan diarahkan menjadi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dalam pelaksanaannya, program hutan desa pun diarahkan sesuai prinsip-prinsipnya bahwa 1) tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan; dan 2) ada keterkaitan masyarakat terhadap sumber daya hutan. Karena hutan mempunyai fungsi sosial, ekonomi, budaya dan ekologis. Jadi pengelolaan hutan desa berorientasi ekonomi perlu juga mempertimbangkan aspek lainnya yang merupakan satu-kesatuan tak terpisahkan. Jika prinsip ini tidak dipahami baik, maka yang akan terjadi adalah kerusakan hutan yang membawa akibat buruk pada seluruh aspek kehidupan manusia dan lingkungannya.
Peraturan Menteri Kehutanan P.49/Menhut-II/tahun 2008 tentang hutan desa telah mewajibkan kepada kelompok pengelola untuk melakukan pendataan potensi kawasan. Pendataan potensi hasil hutan bukan kayu menjadi data dasar dalam pengelolaan hutan desa dalam kawasan hutan lindung. Sementara itu, pendataan potensi sangat membutuhkan kemampuan teknis yang didukung oleh latar belakang keilmuan khusus. Tanpa adanya transfer pengetahuan teknis maka akan sangat mustahil kelompok akan mampu melakukannya secara mandiri.
Salah satu dasar dalam proses penyusunan rencana pengelolaan adalah potensi yang terdapat dalam areal kerja. Gambaran potensi didapatkan melalui rangkaian proses pendataan/inventarisasi yang dilakukan dalam areal kerja. Berbicara tentang rencana pengelolaan tentu harus mencakup tiga aspek konservasi, yakni pemanfaatan, pelestarian dan perlindungan. Peraturan Menteri Kehutanan P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa telah mengamanatkan bahwa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan salah satu yang bisa dimanfaatkan dalam areal kerja di samping pemanfaatan potensi lain selain kayu. 

Komentar