- Ergonomi
- Sejarah Ergonomi dan Perkembangannya
Perubahan
waktu secara perlahan-lahan telah merubah manusia dari keadaan
primitif menjadi manusia yang berbudaya. Kejadian antara lain
terlihat pada perubahan rancangan peralatan-peralatan yang digunakan,
yaitu mulai dari batu yang tidak berbentuk menjadi batu yang mulai
berbentuk dengan meruncingkan beberapa bagian dari batu tersebut.
Perubahan pada alat sederhana ini menunjukkan bahwa manusia sejak
awal kebudayaan berusaha memperbaiki alat-alat yang dipakainya untuk
memudahkan pemakaiannya. Hal ini terlihat lagi pada alat-alat batu
runcing yang bagian atasnya dipahat bulat tepat sebesar genggaman
sehingga lebih memudahkan dan menggerakkan pemakaiannya.
Pada
abad ke-20 orang mulai mensistemasikan cara-cara perbaikan tersebut
dan secara khusus mengembangkannya. Usaha-usaha ini terus berkembang
terus menerus dan sekarang dikenal sebagai salah satu cabang ilmu
yang disebut Ergonomi. Istilah untuk ilmu baru ini berbeda dibeberapa
negara, seperti: “Arbeltswissenschaft” di Jerman “Bioteknologi”
dinegara-negara Skandinavia: “Human
Engineering”.
“Human
Factor Engineering”
di negara-negara Amerika bagian utara. Perbedaan nama-nama diatas
hendaknya tidak dijadikan masalah, karena secara praktis
istilah-istilah tadi mempunyai maksud yang sama.
- Definisi dan Ruang Lingkup Ergonomi
Ergonomi
adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan
elemen-elemen lain dalam suatu sistem dan pekerjaan yang
mengaplikasikan teori, prinsip, data dan metode untuk merancang suatu
sistem yang optimal, dilihat dari sisi manusia dan kinerjanya.
Ergonomi memberikan sumbangan untuk rancangan dan evaluasi tugas,
pekerjaan, produk, lingkungan dan sistem kerja, agar dapat digunakan
secara harmonis sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan keterbatasan
manusia (International
Ergonomic Assosiation,
2002)
Spesialisasi
bidang ergonomi meliputi: ergonomi fisik, ergonomi kognitif, ergonomi
sosial, ergonomi organisasi, ergonomi lingkungan dan faktor lain yang
sesuai. Evaluasi ergonomi merupakan studi tentang penerapan ergonomi
dalam suatu sistem kerja yang bertujuan untuk mengetahui kelebihan
dan kekurangan penerapan ergonomi, sehingga didapatkan suatu
rancangan keergonomikan yang terbaik. Adapun isi ruang lingkup bidang
ergonomi meliputi:
- Ergonomi Fisik : berkaitan dengan anatomi tubuh manusia, anthropometri, karakteristik fisiolgi dan biomekanika yang berhubungan dengan aktifitas fisik. Topik-topik yang relevan dalam ergonomi fisik antara lain: postur kerja, pemindahan material, gerakan berulan-ulang, sumber daya manusia (SDM), tata letak tempat kerja, keselamatan dan kesehatan.
- Ergonomi Kognitif: berkaitan dengan proses mental manusia, termasuk di dalamnya; persepsi, ingatan, dan reaksi, sebagai akibat dari interaksi manusia terhadap pemakaian elemen sistem. Topik-topik yang relevan dalam ergonomi kognitif antara lain; beban kerja, pengambilan keputusan, performance, human-computer interaction, kehandalan manusia, dan stress kerja.
- Ergonomi Organisasi: berkaitan dengan optimasi sistem sosioleknik, termasuk sturktur organisasi, kebijakan dan proses. Topik-topik yang relevan dalam ergonomi organisasi antara lain; komunikasi, manajemen sumber daya manusia (MSDM), perancangan kerja, perancangan waktu kerja, teamwork, perancangan partisipasi, komunitas ergonomi, cultur organisasi, organisasi virtual, dll.
- Ergonomi Lingkungan: berkaitan dengan pencahayaan, temperatur, kebisingan, dan getaran. Topik-topik yang relevan dengan ergonomi lingkungan antara lain; perancangan ruang kerja, sistem akustik dan lain-lain.
- Kognitif
- Sejarah Perkembangan Kognitif
Istilah
kognisi berasal dari bahasa latin cognoscere
yang artinya mengetahui. Kognisi dapat pula diartikan sebagai
pemahaman terhadap pengetahuan atau kemampuan untuk memperoleh
pengetahuan. Istilah ini digunakan oleh filsuf untuk mencari
pemahaman terhadap cara manusia berpikir. Karya Plato dan Aristotle
telah memuat topik tentang kognisi karena salah satu tujuan filsafat
adalah memahami segala gejala alam melalui pemahaman dari manusia itu
sendiri.
Kognisi
dipahami sebagai proses mental
karena kognisi mencermikan pemikiran dan tidak dapat diamati secara
langsung. Oleh karena itu kognisi tidak dapat diukur secara langsung,
namun melalui perilaku yang ditampilkan dan dapat diamati. Misalnya
kemampuan anak untuk mengingat angka dari 1-20, atau kemampuan untuk
menyelesaikan teka-teki, kemampuan menilai perilaku yang patut dan
tidak untuk diimitasi.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kognisi maka berkembanglah
psikologi
kognitif
yang menyelidiki tentang proses berpikir manusia. Proses berpikir
tentunya melibatkan otak dan saraf-sarafnya sebagai alat berpikir
manusia oleh karena itu untuk menyelidiki fungsi otak dalam berpikir
maka berkembanglah neurosains
kognitif.
Psikologi
Kognitif muncul pada abad ke-19 dan 20 dimana Wilhelm
Wundt (1832-1920) seorang psikolog dari Jerman mengajukan ide
untuk mempelajari pengalaman sensori melalui introspeksi. Dalam
mempelajari proses perpindahan informasi atau berpikir, maka
informasi tersebut harus dibagi dalam struktur berpikir yang lebih
kecil. Aliran strukturisme Wundt berfokus pada proses berpikir, namun
aliran fungsionalisme berpendapat bahwa penting bagi manusia untuk
tahu apa dan mengapa mereka melakukan sesuatu.
William
James (1842-1910) seorang pragmatisme-fungsionalisme melontarkan
gagasan mengenai atensi,
kesadaran serta
persepsi. Setelah
itu munculah aliran assosiasi (Edward
Lee Thorndike, 1874-1949) yang mulai menggunakan stimulus dan
diikuti dengan aliran behaviorisme
yang memasangkan antara stimulus dan respon dalam proses belajar.
Pendekatan behaviorisme
radikal yang dibawakan oleh B.F.
Skinner (1904-1990) menyatakan bahwa semua tingkah laku manusia
untuk belajar, perolehan bahasa bahkan penyelesaian masalah dapat
dijelaskan dengan penguatan antara stimulus dan respon melalui hadiah
dan hukuman. Namun pendekatan behaviorisme
belum dapat menjawab alasan perilaku manusia yang berbeda misalnya
melakukan perencanaan, pilihan dan sebagainya. Edward
Tolman (1886-1959) percaya bahwa semua tingkah laku ditujukan
pada suatu tujuan. Menggunakan eksperimen dengan tikus yang mencari
makanan dalam maze,
percobaan ini membuktikan bahwa terdapat skema atau peta dalam
kognisi tikus. Hal ini membuktikan bahwa tingkah laku melibatkan
proses kognisi. Oleh karena itu beberapa pihak mengakui Tolman
sebagai Bapak Psikologi Kognitif Modern. Selain Tolman, Albert
Bandura (1925) juga mengkritik behaviorisme
dengan
menyatakan bahwa belajar pun dapat diperoleh melalui lingkungan
sosial dari individu. Dalam perolehan bahasa, Noam
Chomsky (1928 ) seorang linguis- juga mengkritik behaviorisme
dengan menyatakan bahwa otak manusia dibekali dengan kemampuan untuk
mengenali dan memproduksi bahasa.
Menurut
Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk
memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam
pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif
mereka, di mana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima
begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu
membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding
ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang
remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati,
tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga
memunculkan suatu ide baru.
Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia & Olds, 2001). Tahap formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak.
- Definisi dan Ruang Lingkup Kemampuan Kognitif
Kognisi
merupakan suatu aktifitas mental yang melibatkan proses akuisi
(acquisition),
penyimpanan (storage),
pemanggilan (retrieval)
dan penggunaan (use)
pengetahuan (Matlin, 1994). Simon dan Kaplan (1989) menyebutkan bahwa
studi kognitif (cognitive
science)
merupakan studi mengenai kecerdasan dan system
cerdas dengan referensi tertentu mengenai prilaku kecerdasan sebagai
komputasi. Keilmuan kognitif dapat pula dilihat sebagai studi dari
kognitif itu sendiri yang meliputi prototype
dari sebuah fenomena atau biasa dikenal dengan presepsi, pemecahan
masalah (problem
solving),
reasoning,
pembelajaran (learning),
dan memori (pylyshyn, 1989). Cognitive
science
juga merupakan suatu bidang keilmuan yang berusaha untuk menjawab
pertanyaan mengenai proses munculnya suatu pengetahuan, termasuk
komponen, pengembangan, dan pemanfaatan pengetahuan tersebut
(Gardner, 1985). Adapun bahasan kognitif meliputi (Matlin, 1994):
- Proses presepsi (perceptual process).
- Memori (memory).
- Model Mental (mental images).
- Kemampuan bahasa: mendengarkan (listening), membaca (reading).
- Produksi bahasa (language speaking): berbicara (speaking), menulis (writing).
- Pemecahan masalah dan kreativitas (creativity).
- Pertimbangan logis (logical reasoning) dan pengambilan keputusan (decision making).
Kemampuan
kognitif diatas akan digunakan pada saat membaca, mendengarkan dan
memahami instruksi, menghadapi masalah yang harus dipecahkan,
menghadapi pilihan keputusan dan lain-lain.
Kognitif
atau disebut juga kognisi yang berarti adalah “proses berpikir”.
Kognisi adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan
dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses berpikir
yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi
pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisa, memahami,
menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau
kemampuan kognitif yang dimiliki setiap individu erat kaitannya
dengan kecerdasan atau inteligensi. Kecerdasan dapat diukur dengan
menggunakan alat psikometri yang biasa disebut test
IQ. Dalam beberapa kasus, kecerdasan bisa termasuk kreativitas,
kepribadian, watak, pengetahuan atau kebijaksanaan. Namun, beberapa
psikolog tak memasukksan hal-hal tadi dalam kerangka definisi
kecerdasan. Kecerdasan biasanya merujuk pada kemampuan atau kapasitas
mental dalam berpikir, namun belum terdapat definisi yang memuaskan
mengenai kecerdasan. Stenberg & Slater (1982) mendefinisikan
kecerdasan sebagai tindakan atau pemikiran yang bertujuan dan
adaptif. Kecerdasan dapat dibagi dua yaitu kecerdasan umum biasa
disebut sebagai faktor-G maupun kecerdasan spesifik. Akan tetapi pada
dasarnya kecerdasan dapat dipilah-pilah. Berikut ini pembagian
spesifikasi kecerdasan menurut L.L. Thurstone:
Salah
satu alat ukur dalam uji kecerdasan atau uji kognitif yang umum
dipergunakan untuk mendapatkan taraf kecerdasan yakni skala Wechsler,
dimana skala weshcler dibagi dalam dua kelompok besar yaitu kemampuan
Verbal
Inteliqence Quotient
(VIQ) dan kemampuan Performance
Inteliqence Quotient
(PIQ).
Tes
IQ dari David Wechsler terdiri dari enam sub tes verbal dan lima sub
tes performance.
Tes verbal terdiri dari:
- Information: pengetahuan umum, pendidikan, minat, budaya dan masyarakat sekitarnya
- Comprehension: problem praktis atau konkret, keterangan, sifat kepribadian, dan latar belakang budaya
- Arithmetic: konsentrasi, kecepatan dan ketepatan berhitung
- Similarities: daya abstraksi dan esensial problem
- Digit span: konsentrasi dan ingatan mekanis
- Vocabulary: mengungkapkan kemampuan bahasa
Tes
performance
terdiri dari:
- Picture completion: persepsi kritis, taraf kemampuan, persepsi visual, pengenalan visual, melihat bagian-bagian yang esensial dan minat
- Picture arrangement: daya observasi, cara berpikir, trial and eror, logika, insight dalam situasi sosial dan relasi
- Block design: konsentrasi, kemampuan analisa, sintesa, cara berpikir global atau sistematis, pendekatan terhadap situasi, kepribadian, trial and eror
- Object assembly: kecepatan, insight, kemampuan abstraksi dan sintesa
- Digit symbol: kecepatan kerja, ketelitian, ingatan mekanis, sensomotorik, proses learning.
Ruang
lingkup kognitif atau ranah kognitif, bertujuan pada orientasi
kemampuan “berpikir” mencakup kemampuan intelektual yang
sederhana yaitu “mengingat” sampai pada satu kemampuan untuk
memecahkan masalah. Pembagian ruang lingkup atau ranah kognitif ini
dibuat oleh Benyamin S. Bloom yang membagi ranah kognitif dalam enam
bagian utama berdasarkan kutipan buku-buku asli yang ditulisnya
yakni; Knowledge D. Analysis, Comprehension E. Sinthesis dan
Application F. Evaluation, yang bertujuan untuk kepentingan
instruksional dalam perancangan memanfaatkan kata kerja operasional
sebagai evaluasi proses pembelajaran.
Tabel
2.1. Ruang Lingkup atau Tingkatan Ranah Kognitif
No.
|
Tingkatan
Ranah
|
Kata
Kerja Operasional
|
1
|
Pengetahuan/Pengenalan
|
Mengidentifikasi
Memilih
Menyebutkan
nama
Membuat
daftar
|
2
|
Pemahaman
|
Membedakan
Menjelaskan
Menyimpulkan
Memperkirakan
|
3
|
Penerapan
|
Menghitung
Mengembangkan
Menggunakan
Memodifikasi
|
4
|
Analisis
|
Membuat
diagram
Membedakan
Menghubungkan
Menjabarkan
|
5
|
Sintesis
|
Menciptakan
Mendesain
Memformulasikan
Membuat
prediksi
|
6
|
Evaluasi
|
Membuat
Kritik
Membuat
Penilaian
Membandingkan
Membuat
Evaluasi
|
Berikut
ini gambar penilaian pengujian kemampuan kognitif menurut david
weschler.
Gambar 2.1. Full
Scale IQ
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran terhadap kemampuan
kognitif yakni:
- Usia.
- Jenis Kelamin.
- Tingkat Pendidikan.
- Jenis Pekerjaan.
- Lama bekerja (pengalaman kerja atau waktu kerja).
- Kemampuan ekonomi.
- Riwayat Penyakit yang berhubungan dengan kepala (seperti kanker atau tumor otak), stroke, jantung dan lain-lain.
- Lingkungan.
- Motivasi
- Konsep diri
- Dan stress kerja.
2.3.
Usia
Berdasarkan
undang-undang ketenagakerjaan pengertian ‘pekerja usia muda’
adalah seorang pekerja yang telah berusia 15 tahun tetapi masih
berada dibawah usia 18 tahun. Masa muda merujuk pada seseorang antara
usia 18 – 39, dibawah itu biasa disebut remaja dan diatas umur
tersebut adalah usia pertengahan. Orang muda biasanya sehat dan
jarang menjadi sasaran penyakit maupun masalah akibat penuaan.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menggolongkan usia lanjut menjadi
empat bagian yaitu: usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun,
lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90
tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
2.4.
Teknik
dan Alat Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data adalah cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data. Ada 3 teknik dalam pengumpulan data yaitu:
- Teknik Observasi
Teknik
obsevasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data dimana peneliti
mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap objek
yang diteliti, baik dalam situasi buatan yang secara khusus diadakan
(Laboratorium) maupun dalam situasi alamiah atau sebenarnya
(Lapangan).
- Teknik Wawancara
Teknik
wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan mengandakan tanya jawab, baik secara langsung maupun tidak
langsung secara tatap muka (personal
face to face interview)
dengan sumber data (responden).
Wawancara langsung diadakan dengan orang yang menjadi satuan
pengamatan dan dilakukan tanpa perantara. Jadi sumber datanya adalah
orang yang diamati.
- Teknik Kuesioner
Kuesioner
atau yang juga dikenal sebagai angket merupakan salah satu teknik
pengumpulan data dalam bentuk pengajuan pertanyaan tertulis melalui
sebuah daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan harus
diisi oleh responden.
2.5.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Langkah
yang tak kalah penting dalam rangka kegiatan pengumpulan data adalah
melakukan pengujian terhadap instrumen (alat ukur) yang akan
digunakan. Kegiatan pengujian instrumen penelitian meliputi dua hal,
yaitu pengujian validitas dan reabilitas. Pentingnya pengujian
validitas dan reabilitas ini, berkaitan dengan proses pengukuran yang
cenderung kepada keliru. Apalagi dalam penelitian ilmu-ilmu sosial,
variabel-variabel yang diteliti sifatnya lebih abstrak sehingga sukar
untuk dilihat dan divisualisasikan, atau dijamah secara realita,
tidak seperti ilmu-ilmu eksakta. Karena itu variabel-variabel dalam
ilmu sosial, yang berasal dari konsep, perlu diperjelas dan diubah
bentuknya sehingga dapat diukur dan dipergunakan secara operasional.
Untuk itulah uji reabilitas dan validitas diperlukan sebagai upaya
memaksimalkan kualitas alat ukur, agar kecenderungan keliru tadi
dapat diminimalkan. Dengan demikian dapat kita katakana bahwa
validitas dan reabilitas adalah tempat kedudukan untuk menilai
kualitas semua alat dan prosedur pengukuran.
Standardisasi
yang merupakan langkah penting dalam merancang dan mengevaluasi tes
dan peralatan pemeriksaan psikologi, bukan langkah terakhir. Sebelum
tes digunakan dengan sejumlah keyakinan, informasi terkait dengan
reliabilitas dan validitas tes untuk tujuan khusus harus didapatkan.
2.5.1.
Validitas Alat Ukur
Secara
tradisional, validitas didefinisikan sebagai sejauh mana tes mampu
mengukur apa yang didesain untuk diukur. Kelemahan definisi ini
adalah implikasi bahwa tes hanya memiliki satu validitas, yang
barangkali dibentuk dari satu studi saja. Sebenarnya, tes dapat
memiliki banyak validitas berbeda, tergantung pada tujuan khusus
untuk apa tes dirancang, populasi sasaran, kondisi ketika tes
diadakan, dan metode dalam menentukan validitas. Validitas adalah
suatu ukuran yang menunjukkan tingkat–tingkat ke valid dan atau
kesahihan sesuatu instrumen. Suatu instrumen yang dianggap valid
(sahih) jika instrument tersebut mampu mengukur terhadap apa yang
diinginkan atau sebenarnya di ukur. (Arikunto,1998:160).
Metode
yang menentukan validitas meliputi:
- Menganalisa isi tes.
- Menghitung korelasi antara skor pada tes dan skor pada criteria yang dimaksud.
- Dan membuat investigasi karakteristik atau susunan psikologi tertentu yang diukur.
Ada
lima jenis validitas untuk instrument penelitian, yaitu:
- Validitas Tampang (face validity)
Validitas tampang
dimiliki ketika suatu alat ukur kelihatannya bener-bener mengukur apa
yang hendak diukur. Misalnya: tes bahasa inggris, soalnya berupa
tulisan dalam bahasa inggris. Tes kepribadian,, soalnya menanyakan
masalah kebiasaan-kebiasaan atau kecenderungan-kecenderungan prilaku,
bukan menanyakan jumlah mobil yang dimiliki atau sebagainya.
- Factorial Validity
Penilaian terhadap
validitas faktor suatu alat ukur harus ditinjau dari segi apakah
item-item
yang
disangka mengukur faktor-faktor tertentu telah benar-benar dapat
memenuhi fungsinya mengukur faktor-faktor yang dimaksudkan. Untuk
dapat menyelesaikan penilaian ini dapat ditempuh dua jalan:
- Dengan kriterium internal: mengecek kecocokan antara item-item dengan keseluruhan item.
- Dengan kriterium eksternal: mengecek apakah item-item itu menunjukkan hal yang sama dengan item-item dari alat ukur lain yang telah dipandang memiliki validitas yang tinggi untuk mengutip faktor yang dimaksud.
- Content Validity
Disebut juga
validitas isi, artinya tes itu harus berisi item-item
yang memang diukur oleh tes tersebut.
- Validitas Logis (logical validity)
Validitas logis
adalah validitas yang dinyatakan berdasarkan hasil penalaran.
Instrumen dinyatakan memiliki validitas apabila instrumen tersebut
telah dirancang dengan baik dan mengikuti teori dan ketentuan yang
ada. Artinya apabila instrumen yang sudah disusun berdasarkan teori
penyusunan instrumen/instrumen disusun mengikuti ketentuan yang ada,
maka secara logis sudah valid. Dengan demikian validitas logis ini
langsung diperoleh ketika instrumen telah selesai disusun. Jadi tidak
perlu diuji.
- Validitas Empirik (empirical validity)
Validitas empirik
adalah validitas yang dinyatakan berdasarkan hasil pengalaman. Sebuah
instrument penelitian dikatakan memiliki validitas apabila sudah
teruji dari pengalaman. Dengan demikian syarat instrument dikatakan
memiliki validitas apabila sudah dibuktikan melalui pengalaman, yaitu
melalui sebuah uji coba.
Cara penentuan
validitas pada penelitian ini berdasarkan formula tertentu,
diantaranya koefisien korelasi product
moment
dari Karl Pearson, yaitu (Suharsimi Arikunto, 1993:225) :
Keterangan :
- rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y.
- X = skor pertama, dalam hal ini X merupakan skor-skor pada item ke-I yang akan diuji validitasnya.
- Y = skor kedua, dalam hal ini Y merupakan jumlah skor yang diperoleh tiap responden.
- ∑X = Jumlah skor pertama dalam hal ini X merupakan jumlah seluruh skor pada item ke-i.
- ∑Y = Jumlah skor kedua, dalam hal ini Y merupakan jumlah seluruh skor pada jumlah skor yang diperoleh tiap responden.
- ∑XY = Jumlah hasil perkalian antara skor pertama dan skor kedua.
- ∑X2 = Jumlah hasil kuadrat skor pertama
- ∑Y2 = Jumlah hasil kuadrat skor kedua
- N = Jumlah responden.
(Suharsimi Arikunto,
1997 : 162).
Setelah diperoleh
harga rxy
selanjutnya dikonsultasikan dengan nilai r tabel.
Apabila
rxy
lebih besar atau sama dengan r tabel
maka
kuesioner/angket dikatakan valid.
2.5.2.
Reliabilitas Alat Ukur
Suatu
instrumen pengukuran dikatakan reliable
jika pengukurannya konsisten dan cermat akurat. Jadi uji reliabilitas
instrument dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konsistensi dari
instrumen sebagai alat ukur, sehingga hasil suatu pengukuran dapat
dipercaya.
Menurut
Sutrisno Hadi (1989) reliabilitas dapat diuji dengan beberapa cara
yaitu:
- Teori pengujian klasik
Teori pengujian ini
mengacu pada the
true-score model
dari spearman. Menurut model ini skor/nilai hasil observasi terdiri
dari dua komponen yaitu komponen nilai yang benar ditambah kekeliruan
acak yang dalam bentuk symbol
ditulis sebagai berikut:
M = T + E
Dimana : M =
nilai/skor yang diukur/diobservsi (measured
value)
T =
nilai/skor yang benar (true
value)
E = kesalahan
pengukuran (measurement
error)
- Test – retest : artinya pengujian dilakukan pada subjek atau objek penelitian yang sama sebanyak dua kali, dimana hasil skor pengujiannya akan dibandingkan untuk mendapatkan nilai reliabilitas alat ukur itu sendiri. Cara pelaksanaannya dengan meminta responden untuk menjawab pertanyaan atau merespon pertanyaan yang sama sebanyak dua kali sesudah selang waktu tertentu. Sesudah diperoleh jawaban untuk dua kali pelaksanaan kemudian nilai/skor dan hasil pengukuran yang pertama dikorelasikan dengan nilai/skor hasil pengukuran kedua dengan menggunakan formula korelasi product moment atau korelasi tata jenjang sesuai dengan karakteristik data yang diperoleh.
- Split – Half : artinya pengujian hanya dilakukan sebanyak satu kali kepada objek penelitian, dimana setiap skor item dibelah menjadi dua kelompok misalkan kelompok ganjil – dan kelompok genap. Langkah-langkahnya adalah:
- Kelompokkan item-item menjadi dua kelompok didasarkan pada kelompok ganjil (nomor item ganjil) dan kelompok genap (nomor item genap) atau secara random.
- Jumlahkan skor pada setiap kelompok sehingga diperoleh skor total untuk tiap kelompok.
- Korelasikan skor total antar kelompok dengan formula korelasi product moment atau tata jenjang.
- Masukkan nilai koefisien tersebut ke dalam rumus sperman-brown untuk mencari koefisien reliabilitas atau didasarkan pada kaidah korelasi Guilford.
Rumus:
ri
=
dimana: ri
=
koefisien reliabilitas
rb
= koefisien korelasi antar kelompok
- Bentuk Paralel : artinya suatu jenis tes yang memiliki bentuk parallel (misalnya bentuk A&B) dan kedua bentuk tersebut sudah diuji terlebih dahulu reliabilitasnya. Melakukan pengukuran kepada responden yang sama secara serempak untuk mengukur konstruk yang sama namun dengan item-item pertanyaan yang berbeda.
2.6.
Normalitas Data
Uji
nonparametrik digunakan apabila asumsi-asumsi pada uji parametrik
tidak dipenuhi. Asumsi yang paling lazim pada uji parametric adalah
sampel acak yang berasal dari populasi yang berdistribusi normal,
data yang bersifat homogeny dan bersifat linier. Bila asumsi-asumsi
ini dipenuhi, atau paling tidak penyimpangan terhadap asumsinya
sedikit, maka uji parametrik masih bisa diandalkan. Tetapi bila
asumsi tidak dipenuhi maka uji nonparametrik menjadi alternatif.
Pengujian
normalitas dilakukan untuk mengetahui normal tidaknya suatu
distribusi data. Hal ini penting diketahui berkaitan dengan ketetapan
pemilihan uji statistic yang akan dipergunakan. Uji parametrik
misalnya mensyaratkan data harus berdistribusi normal. Apabila
distribusi data tidak normal maka disarankan untuk menggunakan uji
nonparametrik. Pengujian normalitas ini harus dilakukan apabila belum
ada teori yang menyatakan bahwa variabel yang diteliti adalah normal.
Pengujian
normalitas data dapat dilakukan melalui aplikasi SPSS dengan langkah
kerja sebagai berikut:
- Siapkan lembar kerja SPSS.
- Buatlah definisi (nama) variabel kemudian isikan skor yang diperoleh masing-masing responden pada variabel yang akan diujinormalitasnya.
- Klik menu analyze, pilih descriptive, lalu klik explore.
- Klik display plots pada kotak display.
- Lalu klik plots dan check list normality plots with test pada kotak dialog explore plots lalu klik continue.
- Lalu klik variabel yang ingin diuji normalitas datanya untuk masuk kedalam kotak dependent list
- Lalu klik ok, maka akan muncul outputnya. Adapun kriteria uji nya: apabila nilai r (probability value/critical value) lebih kecil atau sama dengan (=) tingkat α yang ditentukan maka H0 ditolak. Dalam hal lain H0 diterima (lihat Ating Somantri dan Sambas Ali Muhidin,2006: 162).
2.7.
Uji Linieritas
Pengujian
linieritas dimaksudkan untuk mengetahui linieritas hubungan antara
variabel bebas dengan variabel tergantung, selain itu uji linieritas
ini juga diharapkan dapat mengetahui taraf signifikansi penyimpangan
dari linieritas hubungan tersebut. Apabila penyimpangan yang
ditemukan tidak signifikan, maka hubungan antara variabel bebas
dengan variabel tergantung adalah linier (Hadi 2000).
Pengujian
linieritas ini memiliki kriteria uji dimana apabila nilai
(probability
value/critical value)
lebih besar atau sama dengan (=) dari tingkat
α yang ditentukan maka antara variabel bebas dan tergantung berpola
linier dan sebaliknya apabila nilai
lebih kecil (<) dari tingkatan α
yang ditentukan, maka antara vaiabel bebas dan tergantung tidak
berpola linier.
2.8.
Norma Skor Standar
Norma
merupakan serangkaian skor yang ditetapkan oleh kelompok-kelompok
yang representative dari orang-orang yang dituju oleh tes tersebut.
Skor-skor yang diperoleh dari kelompok-kelompok ini membari suatu
dasar untuk melakukan interpretasi skor individu lain.
Norma
skor standar adalah skor terkonversi yang memiliki mean dan stadar
deviasi yang diinginkan. Ada banyak jenis skor standar yang berbeda,
meliputi skor Z dan skor T dimana:
- Z score merupakan hasil skor mentah dikurangi rata-rata skor lalu di bagi standar deviasi.
- T score merupakan hasil z score dikalikan 10 untuk skala 100 lalu ditambah 50, dan itu menjadi norma skor standar. (Lewis R. Aiken 2008, 99).
2.9.
Pengujian Statistik
2.9.1.
Uji Hipotesis
Istilah
hipotesis berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata hupo
dan thesis.
Hupo
artinya sementara atau kurang kebenarannya atau masih lemah
kebenarannya. Sedangakan thesis
artinya pernyataan atau teori. Karena hipotesis adalah pernyataan
sementara yang masih lemah kebenarannya, maka perlu diuji
kebenarannya, sehingga istilah hipotesis adalah pernyataan sementara
yang perlu diuji kebenarannya. Untuk menguji kebenaran dari uji
hipotesis digunakan pengujian hipotesis.
Pengujian
Hipotesis akan membawa kepada kesimpulan untuk menolak atau menerima
hipotesi. Dengan demikian kita dihadapkan pada dua pilihan. Agar
pemilihan kita lebih terinci dan mudah, maka diperlukan hipotesis
alternative. Bila
sampel diambil dari populasi, maka bukti yang diperoleh dari sampel
dapat digunakan untuk membuat pernyataan inferensi mengenai
karakteristik populasi. Selain itu, informasi sampel dapat digunakan
sebagai hipotesis mengenai populasi yang telah dibentuk atau dibuat.
Populasi
adalah semua nilai baik hasil perhitungan maupun pengukuran, baik
kuantitatif maupun kualitatif, daripada karakteristik tertentu
mengenal sekelompok objek yang lengkap dan jelas. Penelitian yang
menggunakan seluruh anggota populasinya disebut sampel total atau
sensus.
Adapun
langkah-langkah dalam uji hipotesis adalah sebagai berikut:
- Menentukan hipotesis nol (H0) dan hipotesis tandingan (H1).
- Menentukan derajat keberartian (α).
- Menentukan tes statistik yang cocok dan menentukan daerah kritis berdasarkan α.
- Hitung tes statistik, tolak H0 jika tes statistik ada di daerah kritis, selain itu jangan tolak H0.
- Menentukan kesimpulan.
- Korelasi
Kata
korelasi diambil dari bahasa Inggris yaitu correlation
artinya
saling hubungan atau hubungan timbak balik. Dalam ilmu statistika
istilah korelasi diberi pengertian sebagai hubungan antata dua
variabel atau lebih. Tujuan dilakukannya analisis korelasi antara
lain:
- Untuk mencari bukti terdapat tidaknya hubungan (korelasi) antar variabel.
- Untuk melihat tingkat keeratan hubungan antar variabel.
- Untuk memperoleh kejelasan dan kepastian apakah hubungan tersebut berarti (signifikan) atau tidak berarti (tidak signifikan).
Tinggi
rendahnya, kuat lemahnya atau besar kecilnya suatu korelasi dapat
diketahui dengan melihat besar kecilnya suatu angka (koefisien) yang
disebut angka indeks korelasi yang disimbolkan dengan (baca Rho).
Dengan kata lain angka indeks korelasi adalah sebuah angka yang dapat
dijadikan petunjuk untuk mengetahui seberapa besar kekuatan korelasi
diantara variabel yang sedang diselidiki korelasinya.
Angka
korelasi berkisar antara 0 sampai dengan ± 1,00 (artinya paling
tinggi ± 1,00 dan paling rendah 0). Tanda plus minus pada angka
indeks korelasi ini fungsinya hanya untuk menunjukan arah korelasi.
Apabila angka indeks korelasi bertanda plus (+) maka korelasi
tersebut positif dan arah korelasi satu arah, sedangkan apabila angka
indeks korelasi bertanda (-) maka korelasi tersebut negatif dan arah
korelasi berlawanan arah, serta apabila angka indeks korelasi sama
dengan nol (0) maka hal ini menunjukan tidak ada korelasi.
- Macam Korelasi
- Korelasi Untuk Skala Pengukuran Ordinal
Apabila
kita mempunyai dua buah variabel X dan Y yang kedua-duanya memiliki
tingkat pengukuran ordinal maka koefisien korelasi yang dapat
digunakan adalah Koefisien korelasi Spearman atau Spearman’s
Coefficient of (Rank) Correlation dan
koefisien korelasi Kendall atau Kendall’s
Coefficient of (Rank) Correlation.
- Korelasi Untuk Skala Pengukuran Interval
Koefisien
korelasi untuk dua buah variabel X dan Y yang kedua-duanya memilki
tingkat pengukuran interval, dapat dihitung dengan menggunakan
korelasi product
moment
atau Product
Moment Coefficient (Pearson’s Coefficient of Correlation) yang
dikembangkan oleh Karl Pearson. Perbedaan dengan korelasi Spearman
adalah pada korelasi Spearman yang dikorelasikan adalah data
peringkatnya
(rangking),
sementara pada korelasi Product
Moment data
observasinya yang dikorelasikan.
- Tingkat Keeratan Hubungan
Untuk
dapat mengetahui kuat lemahnya tingkat atau derajat keeratan hubungan
antara variabel X dan variabel Y, secara sederhana dapat diterangkan
dapat diterangkan berdasarkan tabel nilai koefisien korelasi dari
Guilford
Emperical Rulesi
berikut:
Tabel 2.2.
Koefisien Korelasi
Guilford
NILAI
KORELASI
|
KETERANGAN
|
0,00
- 0,20
|
Hubungan
sangat lemah (diabaikan, dianggap tidak ada korelasi) |
0,20
- 0,40
|
Hubungan
Rendah |
0,40
- 0,70
|
Hubungan
sedang/cukup |
0,70
- 0,90
|
Hubungan
kat/tinggi |
0,90
- 1,00
|
Hubungan
sangat kuat/tinggi |
Komentar
Posting Komentar