VEGETASI
UNTUK
KONSERVASI TANAH DAN AIR
(MK. KONSERVASI LINGKUNGAN
1. Pendahuluan
Erosi tanah adalah peristiwa terangkutnya tanah dari satu tempat ke tempat lain oleh air atau angin. Pada dasarnya ada tiga proses penyebab erosi yaitu pelepasan (detachment) partikel tanah, pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation). Erosi menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas (top soil) dan unsur hara yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Erosi yang disebabkan oleh air hujan merupakan penyebab utama degradasi lahan di daerah tropis termasuk Indonesia. Tanah-tanah di daerah berlereng mempunyai risiko tererosi yang lebih besar daripada tanah di daerah datar. Selain tidak stabil akibat pengaruh kemiringan, air hujan yang jatuh akan terusmenerus memukul permukaan tanah sehingga memperbesar risiko erosi. Berbeda dengan daerah datar, selain massa tanah dalam posisi stabil, air hujan yang jatuh tidak selamanya memukul permukaan tanah karena dengan cepat akan terlindungi oleh genangan air.
Tanah yang hilang akibat proses erosi tersebut terangkut oleh air sehingga menyebabkan pendangkalan saluran drainase termasuk parit, sungai, dan danau. Erosi yang telah berlanjut menyebabkan rusaknya ekosistem sehingga penanganannya akan memakan waktu lama dan biaya yang mahal. Menurut Kurnia et al. (2002), kerugian yang harus ditanggung akibat degradasi lahan tanpa tindakan rehabilitasi lahan mencapai Rp 291.715,- /ha, sedangkan apabila lahan dikonservasi secara vegetatif, maka kerugian akan jauh lebih rendah. Pencegahan dengan teknik konservasi yang tepat sangat diperlukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor penyebab erosi.
Kondisi sosial ekonomi dan sumber daya masyarakat juga menjadi pertimbangan sehingga tindakan konservasi yang dipilih diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan, menambah pendapatan petani serta memperkecil risiko degradasi lahan. Pada dasarnya teknik konservasi dibedakan menjadi tiga yaitu: (a) vegetatif; (b) mekanik; dan (c) kimia. Teknik konservasi mekanik dan vegetatif telah banyak diteliti dan dikembangkan. Namun mengingat teknik mekanik umumnya mahal, maka teknik vegetatif berpotensi untuk lebih diterima oleh masyarakat. Teknik konservasi tanah secara vegetatif mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan teknik konservasi tanah secara mekanis maupun kimia, antara lain karena penerapannya relatif mudah, biaya yang dibutuhkan relatif murah, mampu menyediakan tambahan hara bagi tanaman, menghasilkan hijauan pakan ternak, kayu, buah maupun hasil tanaman lainnya. Hal tersebut melatarbelakangi pentingnya informasi mengenai teknologi konservasi tanah secara vegetatif.
Dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengelolaan lahan harus menerapkan suatu teknologi yang berwawasan konservasi. Suatu teknologi pengelolaan lahan yang dapat mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan bilama memiliki ciri seperti : dapat meningkatkan pendapatan petani, komoditi yang diusahakan sesuai dengan kondisi bio fisik lahan dan dapat diterima oleh pasar, tidak mengakibatkan degradasi lahan karena laju erosi kecil, dan teknologi tersebut dapat diterapkan oleh masyarakat.
Ada beberapa teknologi untuk merehabilitasi lahan dalam kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan (Sinukaban, 2003) yaitu :
a. Agronomi yang meliputi teknis agronomis seperti TOT, minimum tillage, countur farming, mulsa, pergiliran tanaman (crop rotation), pengelolaan residu tanaman, dll.
b. Vegetatif berupa agroforestry, alley cropping, penanaman rumput.
c. Struktur/konstruksi yaitu bangunan konservasi seperti teras, tanggul, cek dam, Saluran, dll.
d. Manajemen, berupa perubahan penggunaan lahan.
Tanah dengan penutup tanah yang baik berupa vegetasi, mulsa residu tanaman akan memperkecil erosi dan limpasan permukaan. Harsono (1995), lahan tertutup dengan hutan, padang rumput dapat mengurangi erosi hingga kurang dari 1% dibandingkan dengan tanah terbuka. Permukaan tanah dengan penutupan yang baik dapat berdampak terhadap :
o Menyediakan cadangan air tanah
o Memperbaiki/menstabilkan struktur tanah,
o Meningkatkan kandungan hara tanah, sehingga lebih produktif
o Mempertahankan kondisi tanah dan air.
o Memperbaiki ekonomi petani.
Teknologi vegetatif (penghutanan) sering dipilih karena selain dapat menurunkan erosi dan sedimentasi di sungai-sungai juga memiliki nilai ekonomi (tanaman produktif) serta dapat memulihkan tata air suatu DAS.
Erosi adalah peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah, batuan, dan partikel lainnya) akibat transportasi angin, air atau es, karakteristik hujan, creep pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh makhluk hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut bio-erosi. Erosi tidak sama dengan pelapukan akibat cuaca, yang mana merupakan proses penghancuran mineral batuan dengan proses kimiawi maupun fisik, atau gabungan keduanya. Erosi sebenarnya merupakan proses alami yang mudah dikenali, namun di kebanyakan tempat kejadian ini diperparah oleh aktivitas manusia dalam tata guna lahan yang buruk, penggundulan hutan, kegiatan pertambangan, perkebunan dan perladangan, kegiatan konstruksi / pembangunan yang tidak tertata dengan baik dan pembangunan jalan. Tanah yang digunakan untuk menghasilkan tanaman pertanian biasanya mengalami erosi yang jauh lebih besar dari tanah dengan vegetasi alaminya. Alih fungsi hutan menjadi ladang pertanian meningkatkan erosi, karena struktur akar tanaman hutan yang kuat mengikat tanah digantikan dengan struktur akar tanaman pertanian yang lebih lemah. Bagaimanapun, praktek tata guna lahan yang maju dapat membatasi erosi, menggunakan teknik semisal terrace-building, praktek konservasi ladang dan penanaman pohon.
Dampak dari erosi adalah menipisnya lapisan permukaan tanah bagian atas, yang akan menyebabkan menurunnnya kemampuan lahan (degradasi lahan). Akibat lain dari erosi adalah menurunnya kemampuan tanah untuk meresapkan air (infiltrasi). Penurunan kemampuan lahan meresapkan air ke dalam lapisan tanah akan meningkatkan limpasan air permukaan yang akan mengakibatkan banjir di sungai. Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh aliran permukaan pada akhirnya akan mengendap di sungai (sedimentasi) yang selanjutnya akibat tingginya sedimentasi akan mengakibatkan pendangkalan sungai sehingga akan mempengaruhi kelancaran jalur pelayaran.
Erosi dalam jumlah tertentu sebenarnya merupakan kejadian yang alami, dan baik untuk ekosistem. Misalnya, kerikil secara berkala turun ke elevasi yang lebih rendah melalui angkutan air. erosi yang berlebih, tentunya dapat menyebabkan masalah, semisal dalam hal sedimentasi, kerusakan ekosistem dan kehilangan air secara serentak. Banyaknya erosi tergantung berbagai faktor. Faktor Iklim, termasuk besarnya dan intensitas hujan / presipitasi, rata-rata dan rentang suhu, begitu pula musim, kecepatan angin, frekuensi badai. faktor geologi termasuk tipe sedimen, tipe batuan, porositas dan permeabilitasnya, kemiringn lahan. Faktor biologis termasuk tutupan vegetasi lahan,makhluk yang tinggal di lahan tersebut dan tata guna lahan ooleh manusia.
Umumnya, dengan ekosistem dan vegetasi yang sama, area dengan curah hujan tinggi, frekuensi hujan tinggi, lebih sering kena angin atau badai tentunya lebih terkena erosi. Batuan induk Sedimen yang kaya pasir atau debu, terletak pada area dengan kemiringan yang curam, lebih mudah tererosi, begitu pula area dengan batuan lapuk atau batuan pecah. porositas dan permeabilitas sedimen atau batuan berdampak pada kecepatan erosi, berkaitan dengan mudah tidaknya air meresap ke dalam tanah. Jika air bergerak di bawah tanah, limpasan permukaan yang terbentuk lebih sedikit, sehingga mengurangi erosi permukaan. Sedimen yang mengandung banyak lempung cenderung lebih mudah bererosi daripada pasir atau silt.
Faktor yang paling sering berubah-ubah adalah jumlah dan tipe tutupan lahan. pada hutan yang tak terjamah, minerla tanah dilindungi oleh lapisan humus dan lapisan organik. kedua lapisan ini melindungi tanah dengan meredam dampak tetesan hujan. lapisan-lapisan beserta serasah di dasar hutan bersifat porus dan mudah menyerap air hujan. Biasanya, hanya hujan-hujan yang lebat (kadang disertai angin ribut) saja yang akan mengakibatkan limpasan di permukaan tanah dalam hutan. bila Pepohonan dihilangkan akibat kebakaran atau penebangan, derajat peresapan air menjadi tinggi dan erosi menjadi rendah. Kebakaran yang parah dapat menyebabkan peningkatan erosi secara menonjol jika diikuti denga hujan lebat.
2. Konservasi Tanah dan Air
Konservasi tanah adalah penempatan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Pemakaian istilah konservasi tanah sering diikuti dengan istilah konservasi air. Meskipun keduanya berbeda tetapi saling terkait. Ketika mempelajari masalah konservasi sering menggunakan kedua sudut pandang ilmu konservasi tanah dan konservasi air. Secara umum, tujuan konservasi tanah adalah meningkatkan produktivitas lahan secara maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah akibat erosi. Sasaran konservasi tanah meliputi keseluruhan sumber daya lahan, yang mencakup kelestarian produktivitas tanah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendukung keseimbangan ekosistem.
Penelitian tentang konservasi tanah telah dirintis sejak zaman Belanda tahun 1911, tetapi baru mulai berkembang pada tahun 1970- an, dengan berdirinya Bagian Konservasi Tanah dan Air, Lembaga Penelitian Tanah, Bogor (sekarang menjadi Kelompok Peneliti Konservasi Tanah dan Pengelolaan Air, Balai Penelitian Tanah). Penelitian-penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui proses erosi mulai dari pengelupasan tanah, pengangkutan sampai pengendapan material terangkut beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya serta akibat yang ditimbulkannya. Selanjutnya dilakukan pula penelitian dasar tentang teknik-teknik pencegahan erosi. Lahan-lahan yang diteliti sebagian besar berupa lahan dengan sifat tanah yang buruk (agregat yang tidak stabil, aerasi buruk, permeabilitas rendah dan infiltrasi tanah rendah, serta hara tersedia bagi tanaman rendah) dan lahan dengan kemiringan yang curam yang rawan terhadap erosi. Lahan dengan bentuk dan sifat tanah seperti di atas mendominasi keberadaan lahan kritis di Indonesia (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Umumnya, hasil-hasil penelitian yang telah dicapai mampu memberikan informasi praktis dalam perencanaan teknik konservasi tanah walaupun masih harus disempurnakan, karena sebagian besar teknologi konservasi dihasilkan dari penelitian pada skala petak kecil. Prediksi erosi pada petak kecil akan memberikan angka yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dari penelitiannya di Ungaran, Jawa Tengah, Agus et al. (2002) melaporkan bahwa besarnya erosi pada skala tampung mikro dengan penggunaan lahan berupa tumpang sari tanaman pangan semusim adalah sekitar 20 t/ha/tahun, pada penggunaan lahan rambutan sekitar 1,9 t/ha/tahun, dan campuran antara rambutan dan semak sebesar 1,7 t/ha/tahun. Sedangkan hasil penelitian dari Haryati et al. (1995) pada skala petak memberikan data erosi yang tiga kali lebih besar pada jenis tanah dan iklim yang tidak jauh berbeda.
Fenomena tersebut sangat menarik dan dapat dipergunakan untuk membantu menerangkan, bahwa ekstrapolasi langsung dari skala petak ke tampung mikro dan ke sub-DAS hasilnya akan bias. Oleh karena itu dalam beberapa tahun terakhir penelitian mengenai prediksi erosi dan pengaruh penggunaan lahan terhadap erosi diarahkan pada skala DAS mikro (Watung et al., 2003; Subagyono et al., 2004), dengan tujuan untuk mendapatkan angka prediksi erosi yang mewakili kondisi lapangan yang sangat penting dalam penetapan rekomendasi teknik konservasi.
Teknik konservasi tanah di Indonesia diarahkan pada tiga prinsip utama yaitu perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butirbutir hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah seperti pemberian bahan organik atau dengan cara meningkatkan penyimpanan air, dan mengurangi laju aliran permukaan sehingga menghambat material tanah dan hara terhanyut (Agus et al., 1999).
Manusia mempunyai keterbatasan dalam mengendalikan erosi sehingga perlu ditetapkan kriteria tertentu yang diperlukan dalam tindakan konservasi tanah. Salah satu pertimbangan yang harus disertakan dalam merancang teknik konservasi tanah adalah nilai batas erosi yang masih dapat diabaikan (tolerable soil loss). Beberapa sifatb dan kondisi tanah yang erat kaitannya dengan erosi adalah kedalaman tanah, permeabilitas lapisan bawah dan kondisi substratum. Karena pembentukan tanah di Indonesia yang termasuk daerah beriklim tropika basah diperkirakan dua kali lebih besar dari daerah beriklim sedang, maka penetapan erosi yang dapat diabaikan juga memperhatikan banyak faktor. Jika besarnya erosi pada tanah dengan sifat-sifat tersebut lebih besar daripada angka erosi yang masih dapat diabaikan, maka tindakan konservasi sangat diperlukan.
Ketiga teknik konservasi tanah secara vegetatif, mekanis dan kimia pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama yaitu mengendalikan laju erosi, namun efektifitas, persyaratan dan kelayakan untuk diterapkan sangat berbeda. Oleh karena itu pemilihan teknik konservasi yang tepat sangat diperlukan (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Restorasi lahan kering kritis di dataran tinggi dilakukan dengan cara penghutanan kembali secara alamiah (sumber: http://www.snh.org.uk/ uplandpathwork/4.5.shtml)
3. Teknik Vegetatif
Teknik konservasi tanah secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan tanaman/vegetasi maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari erosi, penghambat laju aliran permukaan, peningkatan kandungan lengas tanah, serta perbaikan sifat-sifat tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Pada dasarnya konservasi tanah secara vegetatif adalah segala bentuk pemanfaatan tanaman ataupun sisa-sisa tanaman untuk mengurangi erosi. Tanaman ataupun sisa-sisa tanaman berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air hujan maupun terhadap daya angkut air aliran permukaan (runoff), serta meningkatkan peresapan air ke dalam tanah.
Tajuk tumbuhan berfungsi menahan laju butiran air hujan dan mengurangi tenaga kinetik butiran air dan pelepasan partikel tanah sehingga pukulan butiran air dapat dikurangi. Air yang masuk di sela-sela kanopi (interception) sebagian akan kembali ke atmosfer akibat evaporasi. Fungsi perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butir air hujan merupakan hal yang sangat penting karena erosi yang terjadi di Indonesia penyebab utamanya adalah air hujan. Semakin rapat penutupannya akan semakin kecil risiko hancurnya agregat tanah oleh pukulan butiran air hujan. Batang tanaman juga menjadi penahan erosi air hujan dengan cara merembeskan aliran air dari tajuk melewati batang (stemflow) menuju permukaan tanah sehingga energi kinetiknya jauh berkurang. Batang juga berfungsi memecah dan menahan laju aliran permukaan. Jika energi kinetik aliran permukaan berkurang, maka daya angkut materialnya juga berkurang dan tanah mempunyai kesempatan yang relatif tinggi untuk meresapkan air. Beberapa jenis tanaman yang ditanam dengan jarak rapat, batangnya mampu membentuk pagar sehingga memecah aliran permukaan. Partikel tanah yang ikut bersama aliran air permukaan akan mengendap di bawah batang dan lama-kelamaan akan membentuk bidang penahan aliran permukaan yang lebih stabil.
Keberadaan perakaran mampu memperbaiki kondisi sifat tanah yang disebabkan oleh penetrasi akar ke dalam tanah, menciptakan habitat yang baik bagi organisme dalam tanah, sebagai sumber bahan organik bagi tanah dan memperkuat daya cengkeram terhadap tanah (Foth, 1995, Killham, 1994, Agus et al., 2002). Perakaran tanaman juga membantu mengurangi air tanah yang jenuh oleh air hujan, memantapkan agregasi tanah sehingga lebih mendukung pertumbuhan tanaman dan mencegah erosi, sehingga tanah tidak mudah hanyut akibat aliran permukaan, meningkatkan infiltrasi, dan kapasitas memegang air.
Apakah Vegetasi dapat Mengkonservasi Tanah dan Air?
Teknik konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara vegetatif dalam bentuk pengelolaan tanaman berupa pohon atau semak, baik tanaman tahunan maupun tanaman setahun dan rumput-rumputan. Teknologi ini sering dipadukan dengan tindakan konservasi tanah dan air secara pengelolaan.
Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat : (1) memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, (2) penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi, (3) disamping itu dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi.
Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah: 1) Melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan (menurunkan kecepatan terminal dan memperkecil diameter air hujan), 2) menurunkan kecepatan dan volume air runoff, 3) menahan partikel-partikel tanah pada tempetnya melelui sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan, dan 4) mempertahankan kapasitas tanah dalam menyimpan air; dan 5) meningkatkan laju infiltrasi dan perkolasi air dalam tanah.
Vegetasi secara umum dapat mencegah erosi, namun setiap jenis tanaman dan banyaknya tajuk terhadap erosi berbeda-beda. Pada tanaman yang rimbun kemungkinan erosi lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh jarang. Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi yaitu intersepai air hujan oleh tanaman, mengurangi kecepatan aliran dan energi perusak air serta meningkatkan efektivitas mikroorganisme yang berperan dalam proses humifikasi. Juga dapat menigkatkan agregasi dimana akar-akar tanaman dengan selaput koloidnya menyebabkan agregat menjadi stabil dan pengaruh traspirasi dimana terjadi peningkatan kehilangan air tanah melalui penguapan sehingga kemampuan menyerap air meningkat.
Sruktur tajuk taumbuhan pada suatu areal tertentu, jika berlapis dengan tanaman penutup tanah dan serasah akan memberikan ketahanan berganda terhadap pukulan butiran hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Menurut Soemarwoto (1983) bahwa selain berfungsi menghalangi pukulan langsung air hujan kepermukaan tanah, vegetasi penutup lahan juga menambah kandungan bahan organik tanah yang meningkatkan resistensi terhadap erosi yang terjadi. Selanjutnya, menurut Hardjowigeno (1987), pencegahan erosi dapat berlangsung secara efektif ap[abila paling sedikit 70 % permukaan lahan tertutup oleh vegetasi.
Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi terjadi melalui (a) intersepsi hujan oleh tajuk tumbuhan, (b) mengurangi laju aliran permukaan dan gaya dispersinya, (c) pengaruh akar dalam peningkatan granulasi dan porositas, (d) kegiatan biologi dalam tanah yang memperbaiki porositas, dan efek transpirasi yang mengeringkan tanah.
Fungsi lain vegetasi berupa tanaman kehutanan yang tak kalah pentingnya yaitu memiliki nilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan petani. Efek penutup tanah dapat dikelompokkan menjadi lima kategori :
1. Intersepsi terhadap curah hujan
2. Mengurangi kecepatan run off
3. Perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah.
4. Mempengaruhi aktifitas mikro organisme yang berakibat pada meninhkatkan porositas tanah.
5. Transpirasi tanaman akan berpengaruh pada lengas tanah pada hari berikutnya.
Hasil-hasil penelitian oleh Kelman (1969) dalam Hamilton, et al. (1997) di Mount APO Mindanau pada kemiringan 20% mengenai erosi pada berbagai penutup tanah seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh Penutup Tanah pada Erosi
No.
Penutup Tanah
Erosi Ton/ha/thn
Ratio thd hutan primer
1
Primary forest
0.09
1.0
2
Soft wood grassland
0.13
1.4
3
Imperata
0.18
2.0
4
New rice Kaingin
0.38
4.2
5
12 year old Kaingin
27.60
306.7
Erosi meningkat secara eksponensial dengan berkurangnya penutupan tanah. Pengelolaan tanaman penutup tanah secara intercropping dengan tanaman pohon dapat mengurangi erosi. Tanaman penutup tanah dapar berupa: Centrosema, Indegofera, Bahia grass, Guinea grass, Summer soy bean, Rice straw mulch. Hasilnya menunjukkan bahwa Bahia grass, Guinea grass dan Rice Straw mulch sangat efektif sekali untuk mencegah erosi dan run off.
Pengaruh berbagai penutup tanah, praktek-praktek pengelolaan penutup tanah dan praktek konservasi terhadap erosi pada perkebunan pisang dengan kemiringan yang cukup di Taiwan telah banyak ditel;iti oleh para peneliti. Barier rumput atau jalur-jalur mulsa mengurangi run-off. Tanpa adanya mulsa penutup tanah dengan indegofera atau bahia grass adalah sangat efektif dalam mengurangi run-off dan erosi. Pemangkasan selektif terhadap kelebatan pohon sebesar 40 % tidak menimbulkan erosi yang berarti. Akan tetapi penebangan hutan dimana pohon-pohonnya ditarik keluar akan menimbulkan erosi tanah
4. Bagaimana Vegetasi Dapat Mengkonservasi Tanah dan Air?
Vegetasi dapat berfungsi dalam konservasi tanah dan air karena ia memiliki beberapa manfaat yang mendukung terciptanya pertanian berkelanjutan. Vegetasi memeliki beberapa manfaat yang merupakan ciri pertanian berkelanjutan seperti konservasi, reklamasi dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
4.1. Aspek Konservasi
Aspek konservasi berupa konservasi tanah dan air melalui peningkatan infiltarasi, sehingga cadangan air tanah tersedia dan dapat mencegah terjadinya erosi baik oleh air karena aliran permukaan, maupun akibat angin dan salinasi. Secara umum infiltarasi dipengaruhi oleh:
(1) intensitas hujan atau irigasi,
(2) kandungan lengas tanah, dan
(3) faktor tanah.
Faktor tanah merupakan sifat internal tanah dan sifat lain yang dipengaruhi oleh cara pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah dapat mempengaruhi struktur tanah, keadaan dan bentuk permukaan tanah serta keadaan tanaman.
Penutupan tanah dengan vegetasi dapat meningkatkan infiltrasi karena perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah, disamping itu juga mempengaruhi aktifitas mikroorganisme yang berakibat pada meningkatkan porositas tanah (Harsono, 1995). Selanjutnya air masuk melalui infiltrasi tetap tersimpan karena tertahan oleh tanaman penutup di bawahnya atau sisa-sisa tanaman berupa daun yang sifatnya memiliki penutupan yang rapat sehingga menekan evaporasi. Demikian halnya dengan aspek konservasi tanah, vegetasi memiliki peranan penting karena dapat mengurangi peranan hujan dalam proses terjadinya erosi. Proses terjadinya erosi oleh hujan sebagai berikut :
(1). Pelepasan butiran tanah oleh hujan.
(2). Transportasi oleh hujan
(3). Pelepasan (penggerusan/scouring) oleh run off.
(4). Transportasi oleh run off.
Usaha konservasi tanah pada hakekatnya adalah pengendalian energi dari akibat tetesan hujan maupun limpasan permukaan dalam proses terjadinya erosi. Prinsip pengendalian energi ini dengan usaha :
1. Melindungi tanah dari pukulan air hujan (erosi percik), dengan tanaman penutup tanah.
2. Mengurangi kecepatan energi kinetik tetesan air hujan, dengan tanaman pelindung, atau pelindung non-vegetatif lainnya.
3. Mengurangi energi kinetik limpasan permukaan.
4.2. Aspek Reklamasi.
Aspek reklamasi berupa penambahan unsur hara dari proses dekomposisi bahan organik, sehingga dapat memperbaiki ketersediaan hara. Kerusakan lahan banyak diakibatkan oleh erosi berupa hilangnya tanah dengan kandungan bahan organik dan hara yang sangat merugikan bagi tanaman. Penurunan kandungan hara tanah dapat diperbaiki dengan menggunaan pupuk, tetapi membutuhkan biaya yang besar. Namun dengan adanya sisa-sisa tanaman yang telah mengalami perombakan secara ekstensif dan tanah sampai perubahan lebih lanjut yang dikenal dengan humus dapat memperbaiki kandungan Nitrogen, Kalium, Karbon, Pospor, Sulfur, Calsium, dan Magnesium. Secara skematis, mekanisme pembentukan humus dalam perombakan sisa-sisa tanaman dalam tanah. Humus mengabsorbsi sejumlah besar air dan menunjukkan ciricirinya untuk mengembang dan menyusut. Humus merupakan faktor penting dalam pembentukan struktur tanah. Humus mempunyai ciri-ciri fisik lain dan sifat fisikokimia yang menjadikan humus merupakan unsur pokok tanah yang bernilai tinggi.
4.3. Aspek Ekonomi.
Dimana tanaman vegetasi penutup berupa tanaman agroforestry yang dikembangkan memiliki kontribusi produksi yang nyata sehingga dapat meningkatkan taraf kehidupan petani. Agroforestry memiliki fungsi ekonomi bagi suatu masyarakat. Peran utama bagi petani bukan hanya produksi bahan pangan melainkan juga sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal.
Pendapatan petani dari system agroforestri umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari dari hasil panen secara teratur seperti lateks, damar, kopi, kayu manis dan lain-lain. Selain itu juga dapat membantu menutupi pengeluaran tahunan dari hasil panen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh, pala dan lain-lain. Komoditas lainnya berupa kayu juga dapat menjadi sumber uang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Meskipun tidak memungkinkan akumulasi modal secara cepat dalam bentuk system-aset yang dapat segera diuangkan, namun diverifikasi tanaman merupakan jaminan petani terhadap ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga suatu komoditas, spesies ini dapat dengan mudah ditelantarkan, hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak menyebabkan gangguan ekologi terhadap system ini, dan bahkan komoditas tersebut akan tetap hidup dalam struktur kebun dan siap untuk dipanen sewaktu-waktu. Sementara komoditas lainnya tetap akan ada yang dapat dipanen, bahkan komoditas baru dapat diintroduksi tanpa merombak system produksi yang ada.
5. Untuk apa Vegetasi Dikembangkan pada Suatu DAS?
Teknologi vegetatif sesuai untuk diterapkan pada suatu DAS dengan distribusi debit sungai yang tidak seragam. Artinya perbedaan antara debit puncak dan aliran dasar sangat besar. Percobaan yang pernah dilakukan di Indonesia berupa membandingkan DAS untuk pertanian, dengan satu 25 % wilayahnya dihutankan kembali, dan yang lain lagi 100 % dihutankan kembali dengan Pinus mercusii, Tectona gandis, Swetenia macrophylla dan Eucalyptus alba. Hasil dilaporkan bahwa, daerah yang dihutankan kembali aliran sungainya secara terus-menerus dalam musim kering yang besarnya 2,5 kali lipat dari aliran sungai yang berasal dari DAS untuk pertanian (Hamilton, et al. 1997). Hutan yang tidak terganggu merupakan penutup tanah yang baik terhadap erosi. Sedimen yang tersuspensi pada 250 juta hektar hanya terjadi sebesar 0,4 ton/ha/thn (Pauler dan Heady, 1981 dalam Hamilton, et al. 1997). Pada hutan sekunder sedimen hanya terjadi sebesar 1,19 ton/ha/thn. Anderson (1978), mengamati bahwa erosi meningkat sebagai akibat hutan yang terbakar, sedimen terjadi sebesar 3,12 ton/ha/thn atau 5-8 kali daripada hutan yang tidak terganggu di DAS Oregon USA.
Penebangan hutan memicu erosi dan tanah longsor (sumber: http://www.fotopedia.com/)
Pengelolaan secara vegetatif merupakan salah satu teknologi konservasi tanah dan air dalam rangka menuju pertanian berkelanjutan. Teknologi ini dapat memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dan penutupan lahan sehingga dapat meningkatkan infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi, memperbaiki hara tanah serta memiliki nilai ekonomi. Teknologi ini tepat diterapkan pada suatu DAS dengan distribusi aliran yang memiliki perbedaan yang cukup besar antara volume aliran puncak dan aliran dasar. Karena dengan menghutankan suatu DAS, maka aliran sungainya secara terus menerus dalam musim kering besarnya mencapai 2,5 kali lipat dari aliran sungai yang berasal dari DAS yang tidak berhutan.
Hutan yang tidak terganggu merupakan penutup tanah yang baik terhadap erosi. Sedimen yang tersuspensi pada 250 juta ha hanya terjadi sebesar 0,4 ton/ha/thn. Namun pada hutan yang terbakar mengakibatkan erosi meningkat, demikian halnya dengan sedimen terjadi sebesar 3,12 ton/ha/thn atau 5-8 kali daripada hutan yang tidak terganggu.
6. Jenis-Jenis Konservasi Tanah dan Air Secara Vegetatif
Teknik konservasi tanah secara vegetatif yang akan diuraikan dalam monograf ini adalah: penghutanan kembali (reforestation), wanatani (agroforestry) termasuk didalamnya adalah pertanaman lorong (alley cropping), pertanaman menurut strip (strip cropping), strip rumput (grass strip) barisan sisa tanaman, tanaman penutup tanah (cover crop), penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalah pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (intercropping), dan tumpang gilir (relay cropping) (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Alley cropping pada lahan miring dapat mengendalikan erosi dan limpasan permukaan (sumber: http://www.agnet.org/)
Dalam penerapannya, petani biasanya memodifikasi sendiri teknik-teknik tersebut sesuai dengan keinginan dan lingkungan agroekosistemnya sehingga teknik konservasi ini akan terus berkembang di lapangan. Keuntungan yang didapat dari sistem vegetatif ini adalah kemudahan dalam penerapannya, membantu melestarikan lingkungan, mencegah erosi dan menahan aliran permukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari pengembalian bahan organik tanaman, serta meningkatkan nilai tambah bagi petani dari hasil sampingan tanaman konservasi tersebut.
Sistem alley cropping antara pohon karet (double row) dan kopi. Pohon karet juga berfungsi sebagai pohon naungan bagi tanaman kopi (sumber: http://www.scielo.br/)
Radiasi matahari yang tersedia bagi tanaman kopi dipengaruhi oleh jaraknya dari pohon karet
Integrated alley cropping bio-intensive garden
nzdl.org
Sistem alley cropping terpadu (sumber: nzdl.org)
6.1. Penghutanan Kembali
Penghutanan kembali (reforestation) secara umum dimaksudkan untuk mengembalikan dan memperbaiki kondisi ekologi dan hidrologi suatu wilayah dengan tanaman pohon-pohonan. Penghutanan kembali juga berpotensi untuk peningkatan kadar bahan organik tanah dari serasah yang jauh di permukaan tanah dan sangat mendukung kesuburan tanah. Penghutanan kembali biasanya dilakukan pada lahan-lahan kritis yang diakibatkan oleh bencana alam misalnya kebakaran, erosi, abrasi, tanah longsor, dan aktivitas manusia seperti pertambangan, perladangan berpindah, dan penebangan hutan (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Hutan mempunyai fungsi tata air yang unik karena mampu menyimpan air dan meredam debit air pada saat musim penghujan dan menyediakan air secara terkendali pada saat musim kemarau (sponge effect). Penghutanan kembali dengan maksud untuk mengembalikan fungsi tata air, efektif dilakukan pada lahan dengan kedalaman tanah >3 m. Tanah dengan kedalaman <3 m mempunyai aliran permukaan yang cukup tinggi karena keterbatasan kapasitas tanah dalam menyimpan air (Agus et al., 2002). Pengembalian fungsi hutan akan memakan waktu 20-50 tahun sampai tajuk terbentuk sempurna. Jenis tanaman yang digunakan sebaiknya berasal dari jenis yang mudah beradaptasi terhadap lingkungan baru, cepat berkembang biak, mempunyai perakaran yang kuat, dan kanopi yang rapat/rindang.
Penelitian tentang kondisi biofisik lahan sangat penting untuk menentukan jenis tanaman yang akan dipergunakan dengan tujuan penghutanan kembali terutama untuk hutan monokultur. Beberapa tanaman tahunan mempunyai intersepsi dan evaporasi yang tinggi sehingga akan banyak mengkonsumsi air. Penelitian terhadap tanaman pinus (Pinus merkusii) yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor dan Universitas Brawijaya/ Unibraw (Priyono dan Siswamartana, 2002), menyimpulkan bahwa tanaman pinus akan aman jika ditanam pada daerah yang mempunyai curah hujan di atas 2.000 mm/tahun. Pada daerah yang mempunyai curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun disarankan agar penanaman pinus dicampur dengan tanaman lain yang mempunyai intersepsi dan evaporasi lebih rendah misalnya Puspa atau Agatis. Sedangkan untuk daerah yang mempunyai curah hujan 1.500 mm/tahun atau kurang disarankan untuk tidak menanam pinus karena akan menimbulkan kekurangan (deficit) air.
6.2. Wanatani
Wanatani (agroforestry) adalah salah satu bentuk usaha konservasi tanah yang menggabungkan antara tanaman pohonpohonan, atau tanaman tahunan dengan tanaman komoditas lain yang ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian. Penggunaan tanaman tahunan mampu mengurangi erosi lebih baik daripada tanaman komoditas pertanian khususnya tanaman semusim. Tanaman tahunan mempunyai luas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam menahan energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran batang (stemflow) dan aliran tembus (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu besar. Sedangkan tanaman semusim mampu memberikan efek penutupan dan perlindungan tanah yang baik dari butiran hujan yang mempunyai energi perusak. Penggabungan keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan ganda baik dari tanaman tahunan maupun dari tanaman semusim.
Sistem hidrologi vegetasi pohon (sumber: http://adaptation.nrcan.gc.ca/ )
Penerapan wanatani pada lahan dengan lereng curam atau agak curam mampu mengurangi tingkat erosi dan memperbaiki kualitas tanah, dibandingkan apabila lahan tersebut gundul atau hanya ditanami tanaman semusim. Proporsi tanaman tahunan dan semusim yang ideal tergantung pada kemiringan lahan dan sistem wanatani (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Secara umum proporsi tanaman tahunan makin banyak pada lereng yang semakin curam demikian juga sebaliknya.
Tanaman semusim memerlukan pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman yang lebih intensif dibandingkan dengan tanaman tahunan. Pengolahan tanah pada tanaman semusim biasanya dilakukan dengan cara mencangkul, mengaduk tanah, maupun cara lain yang mengakibatkan hancurnya agregat tanah, sehingga tanah mudah tererosi. Semakin besar kelerengan suatu lahan, maka risiko erosi akibat pengolahan tanah juga semakin besar.
Penanaman tanaman tahunan tidak memerlukan pengolahan tanah secara intensif. Perakaran yang dalam dan penutupan tanah yang rapat mampu melindungi tanah dari erosi. Tanaman tahunan yang dipilih sebaiknya dari jenis yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani dari hasil buah maupun kayunya. Selain dapat menghasilkan keuntungan dengan lebih cepat dan lebih besar, wanatani ini juga merupakan sistem yang sangat baik dalam mencegah erosi tanah.
Sistem wanatani telah lama dikenal di masyarakat Indonesia dan berkembang menjadi beberapa macam, yaitu pertanaman sela, pertanaman lorong, talun hutan rakyat, kebun campuran, pekarangan, tanaman pelindung/multistrata, dan silvopastural.
Sistem agroforestry yang melibatkan beragam tipe tajuk tanaman, mampu melindungi muka lahan dari ancaman erosi dan runoff (sumber: http://madurugala.blogspot.com/)
(1). Pertanaman sela
Pertanaman sela adalah pertanaman campuran antara tanaman tahunan dengan tanaman semusim. Sistem ini banyak dijumpai di daerah hutan atau kebun yang dekat dengan lokasi permukiman. Tanaman sela juga banyak diterapkan di daerah perkebunan, pekarangan rumah tangga maupun usaha pertanian tanaman tahunan lainnya. Dari segi konservasi tanah, pertanaman sela bertujuan untuk meningkatkan intersepsi dan intensitas penutupan permukaan tanah terhadap terpaan butir-butir air hujan secara langsung sehingga memperkecil risiko tererosi. Sebelum kanopi tanaman tahunan menutupi tanah, lahan di antara tanaman tahunan tersebut digunakan untuk tanaman semusim.
Di beberapa wilayah hutan jati daerah Jawa Tengah, ketika pohon jati masih pendek dan belum terbentuk kanopi, sebagian lahannya ditanami dengan tanaman semusim berupa jagung, padi gogo, kedelai, kacang-kacangan, dan empon-empon seperti jahe (Zingiber officinale), temulawak (Curcuma xanthorrizha), kencur (Kaemtoria galanga), kunir (Curcuma longa), dan laos (Alpinia galanga). Pilihan teknik konservasi ini sangat baik untuk diterapkan oleh petani karena mampu memberikan nilai tambah bagi petani, mempertinggi intensitas penutupan lahan, membantu perawatan tanaman tahunan dan melindungi dari erosi (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Penanaman tanaman semusim bisa berkali-kali tergantung dari pertumbuhan tanaman tahunan. Sebagai tanaman pupuk hijau sebaiknya dipilih dari tanaman legum seperti Leucaena leucocephala, Glyricidia sepium, Cajanus cajan, Tephrosia candida, dan lain sebagainya. Jarak antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan secara periodik dilebarkan (lahan tanaman semusim semakin sempit) dengan maksud untuk mencegah kompetisi hara, pengaruh allelopati dari tanaman tahunan, dan kontak penyakit.
Interaksi sinergistik antara pohon, tanaman semusim dan ternak dalam system agroforestry (sumber: http://www.agnet.org/)
(2). Pertanaman lorong
Sistem pertanaman lorong atau alley cropping adalah suatu sistem dimana tanaman pagar pengontrol erosi berupa barisan tanaman yang ditanam rapat mengikuti garis kontur, sehingga membentuk lorong-lorong dan tanaman semusim berada di antara tanaman pagar . Sistem ini sesuai untuk diterapkan pada lahan kering dengan kelerengan 3-40%. Dari hasil penelitian Haryati et al. (1995) tentang sistem budi daya tanaman lorong di Ungaran pada tanah Typic Eutropepts, dilaporkan bahwa sistem ini merupakan teknik konservasi yang cukup murah dan efektif dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan serta mampu mempertahankan produktivitas tanah.
Penanaman tanaman pagar akan mengurangi 5-20% luas lahan efektif untuk budi daya tanaman sehingga untuk tanaman pagar dipilih dari jenis tanaman yang memenuhi persyaratan di bawah ini (Agus et al., 1999):
a. Merupakan tanaman yang mampu mengembalikan unsur hara ke dalam tanah, misalnya tanaman penambat nitrogen (N2) dari udara.
b. Menghasilkan banyak bahan hijauan.
c. Tahan terhadap pemangkasan dan dapat tumbuh kembali secara cepat sesudah pemangkasan.
d. Tingkat persaingan terhadap kebutuhan hara, air, sinar matahari dan ruang tumbuh dengan tanaman lorong tidak begitu tinggi.
e. Tidak bersifat alelopati (mengeluarkan zat beracun) bagi tanaman utama.
f. Sebaiknya mempunyai manfaat ganda seperti untuk pakan ternak, kayu bakar, dan penghasil buah sehingga mudah diadopsi petani.
Sistem pertanaman lorong (alley cropping) dengan barisan rangkap tanaman pagarnya (sumber: http://www.greenstone.org/)
Alley cropping dengan rumput dan/atau tanaman hijauan pakan perdu atau pohon. Tanaman pagar yang memnghasilkan hijauan pakan (misalnya Desmodium rensonii, Leucaena leucocephala, Gliricidia septum, Flemingia congesta) ditanam menurut garis kontur dengan interval tertentu. Alleys di antara tanaman pagar dapat ditanami rumput atau hijauan pakan. Pemangkasan rumput dan hijauan digunakan untuk suplai pakan ternak dengan metode cut-and-carry.
Karakteristik tanaman pagar adalah
· Mudah ditabnam dan tumbuh berkembang (dari bji atau stek)
· Pertumbuhannya cepat
· Kemampuannya coppicing bagus
· Mampu ememfiksasi nitrogen
· Perakarannya dalam dan multiguna (sumber pangan, kayu bakar dan hijauan pakan, dll.)
Beberapa jenis tanaman pagar:
· Gliricidseptum
· Flemingia congesta
· Leucaena leucocephala
· Desmodium rensonni Cassia spectabilis Calliandra calothyrsus
· Desmanthus sp.
· Beberapa jenis rumput seperti Pennisetum purpureum, Vetiveria zizanoides, Panicum maximum dan Setaria sp.
Sistem alley cropping yang emelibatkan aneka jenis tanaman legume (sumber: http://www.greenstone.org/)
Karakteristik pohon untuk tanaman pagar (sumber: http://www.fao.org/)
Penelitian-penelitian tentang pertanaman lorong (Puslittanak, 1991) menyimpulkan, bahwa sistem budi daya lorong merupakan salah satu cara untuk mempertahankan produktivitas lahan kering yang miskin hara dan mempunyai KTK yang rendah. Hasil epenelitian Suwardjo et al. (1987) menunjukkan bahwa kandungan bahan organik tanah Podsolik di Jambi, Sumatera meningkat dari 1,8% menjadi 2,2% setelah 1 tahun ditanami dengan tanaman lorong Flemingia. Pada tahun kedua kandungan bahan organik semakin bertambah dengan nilai 2,8%. Sistem pertanaman lorong juga dapat mempertahankan sifat fisik tanah dan hasil tanaman pangan dalam jangka panjang. Dari hasil kajiannya pada penerapan pertanaman lorong (Alley cropping) di beberapa negara yang tergabung dalam ASIALAND sloping land project yang meliputi Indonesia, Phillipines, Laos dan Vietnam, Irawan (2002) melaporkan bahwa alley cropping mampu mengurangi kehilangan hara akibat erosi senilai US $ 4,1-85,5/ ha/tahun.
Manfaat ganda pohon sebagai tanaman pagar dalam sistem alley cropping (sumber: http://www.winrock.org/fnrm/factnet/)
Flemingia mempunyai kemampuan yang tinggi untuk tumbuh dan bertunas sehingga menghasilkan hasil pangkasan yang cenderung terus meningkat. Hasil pangkasan ini merupakan sumber bahan organik yang sangat penting. Dari reklamasi yang dilaksanakan pada tahun 1970 dan evaluasinya pada tahun 1984 pada tanah berskeletal vulkanik Gunung Merapi di Kali Gesik, Jawa Tengah, Sukmana et al. (1985) melaporkan bahwa setelah 14 tahun direklamasi dengan Flemingia congesta mampu menghasilkan serasah (kering udara) sebanyak 5,6 t/ha. Biomassa ini memberikan kontribusi terhadap peningkatan bahan organik tanah 2,65% yang sebelum direklamasi tidak mengandung bahan organik. Dibandingkan dengan vegetasi alami, Flemingia sangat besar kontribusinya dalam peningkatan bahan organik tanah. Bahan organik ini sangat penting dalam peningkatan kapasitas tanah menahan air (water holding capacity).
(3). Talun / Hutan Rakyat
Talun adalah lahan di luar wilayah permukiman penduduk yang ditanami aneka tanaman tahunan (mixed garden) yang dapat diambil kayu maupun buahnya. Sistem ini tidak memerlukan perawatan intensif dan hanya dibiarkan begitu saja sampai saatnya panen. Karena tumbuh sendiri secara spontan, maka jarak tanam sering tidak seragam, jenis tanaman sangat beragam dan kondisi umum lahan seperti hutan alami. Ditinjau dari segi konservasi tanah, talun hutan rakyat dengan tajuk multistrata yang rapat dapat mencegah erosi secara maksimal juga secara umum mempunyai fungsi seperti hutan.
Hutan rakyat adalah hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas tanah milik atau tanah adat; meskipun ada pula yang berada di atas tanah negara atau kawasan hutan negara. Secara teknik, hutan-hutan rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani; yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon. Baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks (agroforest) yang sangat mirip strukturnya dengan hutan alam.
Macam Hutan Rakyat
Ada beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya. Di antaranya:
1. Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa. Luasnya bervariasi, mulai dari seperempat hektare atau kurang, sampai sedemikian luas sehingga bisa menutupi seluruh desa dan bahkan melebihinya.
2. Hutan adat, atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas tanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat.
3. Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah.
Ada banyak bentuk-bentuk peralihan atau gabungan, yakni model-model pengelolaan hutan secara bermitra, misalnya antara perusahaan-perusahaan kehutanan (Perhutani, HPH, HPHTI) dengan warga masyarakat sekitar; atau juga antara pengusaha-pengusaha perkebunan dengan petani di sekitarnya. Model semacam ini, contohnya PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), biasanya juga tidak digolongkan sebagai hutan rakyat; terutama karena dominasi kepentingan pengusaha.
Produk-produk Hutan Rakyat
Hutan rakyat zaman sekarang telah banyak yang dikelola dengan orientasi komersial, untuk memenuhi kebutuhan pasar komoditas hasil hutan. Tidak seperti pada masa lampau, utamanya sebelum tahun 1980an, di mana kebanyakan hutan rakyat berorientasi subsisten, untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga petani sendiri. Pengelolaan hutan rakyat secara komersial telah dimulai semenjak beberapa ratus tahun yang silam, terutama dari wilayah-wilayah di luar Jawa. Hutan-hutan --atau tepatnya, kebun-kebun rakyat dalam rupa hutan-- ini menghasilkan aneka komoditas perdagangan dengan nilai yang beraneka ragam. Terutama hasil-hasil hutan non-kayu (HHNK). Beberapa contoh produk hutan-hutan rakyat dan wilayah penghasilnya, di antaranya:
Getah dan resin:
Karet (Hevea brasiliensis); terutama di Sumatra bagian timur dan Kalimantan
Jelutung (Dyera spp.); Sumatra dan Kalimantan
Nyatoh (Palaquium spp., Payena spp.); terutama Kalimantan
Damar mata-kucing (Hopea spp., Shorea javanica); Sumatera Selatan dan Lampung, terutama Lampung Barat
Damar batu (Shorea spp.); Sumatra dan Kalimantan
Kemenyan (Styrax benzoin); Sumatera Utara terutama Tapanuli Utara
Buah-buahan:
Durian (Durio spp., terutama D. zibethinus); Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Maluku.
Jambu mente (Anacardium occidentale); Sulawesi Tenggara dan Sumbawa
Kluwek atau kepayang (Pangium edule); banyak tempat, terutama di Jawa.
Kemiri (Aleurites moluccana); Sumatra, Sumbawa dan Sulawesi Selatan
Kopi (Coffea spp.); banyak tempat, termasuk Bali dan Lombok.
Lada (Piper nigrum); Sumatra, Kalimantan
Pala (Myristica fragrans); Aceh dan Maluku
Petai (Parkia speciosa); Sumatra, Kalimantan dan Jawa
Tengkawang (Shorea spp.); Kalimantan
Rempah-rempah lain:
Kulit manis atau kayu manis (Cinnamomum spp.); Sumatra, terutama Sumatera Barat dan Kerinci
Cengkeh (Syzygium aromaticum), banyak tempat.
Aneka jahe-jahean (empon-empon); Jawa.
Kayu-kayuan:
Jeunjing (Paraserianthes falcataria); Jawa, terutama Jawa Barat dan Jawa Tengah
Jati (Tectona grandis); Jawa, terutama Gunungkidul di Yogyakarta, Wonogiri di Jawa Tengah, Pacitan di Jawa Timur, dan Kuningan serta Indramayu di Jawa Barat; juga di Muna, Sulawesi Tenggara
Mahoni (Swietenia macrophylla); dari banyak tempat di Jawa Barat dan Jawa Tengah
Lain-lain:
Rotan (banyak jenis); Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi; terutama dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan
Cendana (Santalum album); Sumba dan Timor
Sagu (Metroxylon sago); Maluku dan Papua.
(4). Kebun campuran
Kebun campuran biasanya dirawat secara intensif oleh pemilik / pengelolanya untuk mendapatkan beragam hasil ekonomis sepanjang tahun. Tanaman yang ditanam adalah aneka jenis tanaman tahunan yang dimanfaatkan hasil buah, daun, dan kayunya. Kadang-kadang juga ditanam secara campuran dengan tanaman semusim. Apabila proporsi tanaman semusim lebih besar daripada tanaman tahunan, maka lahan tersebut disebut tegalan. Kebun campuran ini mampu mencegah erosi dengan baik karena kondisi penutupan tanah yang rapat sehingga butiran air hujan tidak langsung mengenai permukaan tanah. Kerapatan tanaman juga mampu mengurangi laju aliran permukaan. Hasil tanaman lain di luar tanaman semusim mampu mengurangi risiko akibat gagal panen dan meningkatkan nilai tambah bagi petani.
(5). Pekarangan
Pekarangan adalah lahan di sekitar rumah dengan berbagai jenis tanaman semusim dan tanaman tahunan. Lahan tersebut mempunyai manfaat tambahan bagi keluarga petani, dan secara umum merupakan gambaran kemampuan suatu keluarga dalam mendayagunakan potensi lahan secara optimal. Tanaman yang umumnya ditanam di lahan pekarangan petani adalah ubi kayu, sayuran, tanaman buah-buahan seperti tomat, pepaya, tanaman obat-obatan seperti kunyit, temulawak, dan tanaman lain yang umumnya bersifat subsisten.
(6). Tanaman Pelindung
Tanaman pelindung adalah tanaman tahunan yang ditanam di sela-sela tanaman pokok tahunan. Tanaman pelindung ini dimaksudkan untuk mengurangi intensitas penyinaran matahari, dan dapat melindungi tanaman pokok dari bahaya erosi terutama ketika tanaman pokok masih muda. Tanaman pelindung ini dapat dikelompokkan menjadi dua (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003) , yaitu:
a. Tanaman pelindung sejenis yang membentuk suatu sistem wanatani sederhana (simple agroforestry). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan satu jenis tanaman pelindung misalnya: gamal (Gliricidia sepium), dadap (Erythrina subumbrans), lamtoro (Leucaena leucocephala) atau kayu manis (Cinnamomum burmanii).
b. Tanaman pelindung yang beraneka ragam dan membentuk wanatani kompleks (complex agroforestry atau sistem multistrata). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan dua atau lebih tanaman pelindung misalnya: kemiri (Aleurites muluccana), jengkol (Pithecellobium jiringa), petai (Perkia speciosa), kayu manis, dadap, lamtoro, gamal, durian (Durio zibethinus), alpukat (Persea americana), nangka (Artocarpus heterophyllus), cempedak (Artocarpus integer), dan lain sebagainya.
Tajuk tanaman yang bertingkat menyebabkan sistem ini menyerupai hutan, yang mana hanya sebagian kecil air yang langsung menerpa permukaan tanah. Produksi serasah yang banyak juga menjadi keuntungan tersendiri dari sistem ini.
Pohon naungan dan sekaligus pelindung dalam sistem wanatani (sumber: electronic.districsides.com)
(7). Silvopastural
Sistem silvipastura sebenarnya adalah bentuk lain dari sistem tumpang sari, tetapi yang ditanam di sela-sela tanaman tahunan bukan tanaman pangan melainkan tanaman pakan ternak seperti rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja (Penniseitum purpoides), dan lain-lain (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Silvipastural umumnya berkembang di daerah yang mempunyai banyak hewan ruminansia. Hasil kotoran hewan ternak tersebut dapat dipergunakan sebagai pupuk kandang, sementara hasil hijauannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Sistem ini dapat dipakai untuk mengembangkan peternakan sebagai komoditas unggulan di suatu daerah.
Silvopastoral systems are designed to produce a high-value timber component, while providing short-term cash flow from the livestock component. The interactions among timber, forage and livestock are managed intensively to simultaneously produce timber commodities, a high quality forage resource and efficient livestock production. (sumber: http://www.unl.edu/nac/afnotes/sil-1/index.html)
(8). Pagar hidup
Pagar hidup adalah sistem pertanaman yang memanfaatkan tanaman sebagai pagar untuk melindungi tanaman pokok. Manfaat tanaman pagar antara lain adalah melindungi lahan dari bahaya erosi baik erosi air maupun angin (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Tanaman pagar sebaiknya tanaman yang mempunyai akar dalam dan kuat, menghasilkan nilai tambah bagi petani baik dari hijauan, buah maupun dari kayu bakarnya.
Untuk tanaman pagar dapat dipilih jenis pohon yang berfungsi sebagai sumber pakan ternak, jenis tanaman yang dapat menghasilkan kayu bakar, atau jenis-jenis lain yang memiliki manfaat ganda. Tanaman-tanaman tersebut ditanam dengan jarak yang rapat (< 10 cm). Karena tinggi tanaman bisa mencapai 1,5 – 2 m maka pemangkasan sebaiknya dilakukan 1-2 kali setahun (Agus et al., 1999).
Pohon ditanam di tengah lahan sawah (sumber: flickr.com)
6.3. Strip Rumput
Teknik konservasi dengan strip rumput (grass strip) biasanya menggunakan rumput yang didatangkan dari luar areal lahan, yang dikelola dan sengaja ditanam secara strip menurut garis kontur untuk mengurangi aliran permukaan dan sebagai sumber pakan ternak. Penelitian yang dilakukan oleh Suhardjo et al. (1997), Abdurachman et al. (1982), dan Abujamin (1978), membuktikan bahwa untuk lahan dengan lereng di bawah 20% sistem ini sangat efektif menahan partikel tanah yang tererosi dan menahan aliran permukaan. Tetapi apabila lahan mempunyai lereng di atas 20% dibutuhkan tindakan konservasi lainnya seperti alley cropping atau teras bangku. Rumput yang ditanam sebaiknya dipilih dari jenis yang berdaun vertikal sehingga tidak menghalangi kebutuhan sinar matahari bagi tanaman pokok, tidak banyak membutuhkan ruangan untuk pertumbuhan vegetatifnya, mempunyai perakaran kuat dan dalam, cepat tumbuh, tidak menjadi pesaing terhadap kebutuhan hara tanaman pokok dan mampu memperbaiki sifat tanah.
Penelitian selama 4 tahun di Bogor (250 m dpl) yang dilakukan oleh Abujamin et al. (1983) menggunakan rumput bede (Brachiaria decumbens) sebagai strip selebar 0,5 m dan rumput bahia (Paspalum notatum) sebagai strip selebar 1 m pada lahan dengan lereng 15-22%, menunjukkan bahwa penggunaan strip rumput dapat menekan tingkat erosi dengan baik. Strip rumput bahia selebar 1 m mampu menekan erosi sampai mendekati 0 t/ha pada tahun kedua setelah penanaman. Sedangkan strip rumput bahia selebar 0,5 m membutuhkan waktu hampir 4 tahun untuk dapat menekan erosi mendekati 0 t/ha. Aliran permukaan pada strip rumput bahia tahun keempat 189 m3/ha (1,03% curah hujan), lebih baik dibandingkan dengan strip rumput bede (760 m3/ha atau 4,16% curah hujan) pada tahun yang sama.
Faktor tumbuh tanaman rumput, jarak tanam dalam satu strip, dan jarak antar-strip sangat menentukan efektifitas pengendalian erosi. Penelitian terhadap efektifitas berbagai macam strip rumput yang dilakukan Suhardjo et al. (1997), menunjukkan bahwa tingkat erosi pada tahun pertama masih tinggi karena rumput belum tumbuh optimal. Pertumbuhan rumput yang lebih baik pada tahun kedua mampu menekan jumlah tanah tererosi antara 30-60% pada kemiringan di bawah 20%. Sedimen yang tertahan lama kelamaan akan mendekati bentuk datar sehingga menciptakan bidang teras alami. Abujamin et al. (1983) melaporkan bahwa setelah 4 tahun (1976/1977 sampai dengan 1979/1980) strip rumput bahia menghasilkan teras alami hasil endapan partikel tanah terangkut dengan ketinggian sekitar 25-30 cm, sedangkan pada strip rumput bede sekitar 50-60 cm.
Strip rumput di tepian saluran air (sumber: agry.purdue.edu)
Strip rumput sangat bagus jika dikombinasikan dengan usaha peternakan yang memanfaatkan hasil pangkasan rumputnya. Penelitian yang dilakukan oleh Watung et al. (2003) dan Subagyono et al. (2004) di sub-DAS Babon, Ungaran, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa integrasi penanaman rumput baik secara strip maupun ditanam pada sebagian bidang olah dengan penggemukan sapi terbukti memberikan alternatif yang dapat ditempuh untuk mewujudkan implementasi teknologi konservasi secara berkelanjutan. Hasil pangkasan rumput dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak sedangkan kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Di wilayah sentra produksi peternakan, teknik ini mudah diadopsi oleh peternak. Walaupun tingkat kebutuhan hijauan pakan ternak lebih besar daripada kontribusi pupuk kandang ke lahan pertanian, kondisi ini dapat diatasi dengan penanaman rumput secara khusus (padang rumput). Aspek keterjangkauan lahan dari permukiman penduduk desa juga perlu dipertimbangkan karena seringkali strip berupa pakan ternak tersebut dicuri. Kebutuhan tenaga kerja dalam penerapan sistem strip rumput cukup efisien dan lebih sedikit dibandingkan dengan sistem pertanaman lorong.
Untuk lebih meningkatkan efektifitasnya dalam mengendalikan erosi dan runoff, strip rumput dapat dikombinasikan dengan mulsa seresah atau sisa panen. Selain bertujuan untuk menahan erosi, sistem ini juga efektif dalam mempertahankan kelengasan tanah. Strip rumput dapat dikombinasikan dengan teknik konservasi secara mekanis seperti penerapan teras. Penanaman strip rumput di bibir teras sampai tampingan teras menghasilkan pengurangan tingkat erosi 30-50% dibandingkan bila strip rumput hanya ditanam di bibir teras saja. Menurut Suhardjo et al. (1997), pada tanah Inceptisols dengan curah hujan 1.441,8 mm/musim tanam maupun Entisols dengan curah hujan 1.625,5 mm/musim tanam, strip rumput yang ditanam di bibir teras saja ternyata masih menghasilkan erosi yang tinggi yaitu 20 t/ha/musim tanam.
6.4. Mulsa
Mulsa adalah bahan-bahan (sisa tanaman, serasah, sampah, plastik atau bahan-bahan lain) yang disebar atau menutup permukaan tanah untuk melindungi tanah dari kehilangan air melalui evaporasi. Mulsa juga dapat dimanfaatkan untuk melindungi permukan tanah dari pukulan langsung butiran hujan sehingga mengurangi terjadinya erosi percik (splash erosion), selain mengurangi laju dan volume limpasan permukaan. Bahan mulsa yang sudah melapuk akan menambah kandungan bahan organik tanah dan hara. Mulsa mampu menjaga stabilitas suhu tanah pada kondisi yang baik untuk aktivitas mikroorganisma. Relatif rendahnya evaporasi, berimplikasi pada stabilitas kelengasan tanah. Secara umum mulsa berperan dalam perbaikan sifat fisik tanah (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Pemanfaatan mulsa di lahan pertanian juga dimaksudkan untuk menekan pertumbuhan gulma.
Strip vetiver dan mulsa untuk mencegah erosi di lahan pertanaman jagung (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Mulsa sisa tanaman atau bahan-bahan lain dari tanaman yang berfungsi untuk konservasi tanah dan air diuraikan. Peran mulsa dalam menekan laju erosi sangat ditentukan oleh bahan mulsa, persentase penutupan tanah, tebal lapisan mulsa, dan daya tahan mulsa terhadap dekomposisi (Abdurachman dan Sutono, 2002). Menurut Suwardjo et al. (1989), dalam jangka panjang olah tanah minimum dan pemberian mulsa dapat menurunkan erosi hingga di bawah ambang batas yang dapat diabaikan (tolerable soil loss). Sebaliknya pada tanah yang diolah dan tanpa diberi mulsa, erosi terjadi semakin besar.
Hasil penelitian telah membuktikan bahwa pemberian mulsa mampu meningkatkan laju infiltrasi. Lal (1978) melaporkan bahwa pemberian mulsa sisa tanaman sebanyak 4-6 t/ha mampu mempertahankan laju infiltrasi, serta menurunkan kecepatan aliran permukaan dan erosi pada tingkat yang masih dapat diabaikan.
Menurut Kurnia et al. (1997), mulsa jerami ditambah dengan mulsa dari sisa tanaman sangat efektif dalam mengurangi erosi serta mengurangi konsentrasi sedimen dan hara yang hilang akibat erosi . Erfandi et al. (1994) melaporkan, bahwa hasil pangkasan rumput vetiver yang dijadikan mulsa pada tahun ketiga penelitian sebanyak 5-6 t/ha mampu meningkatkan kadar C dan N tanah masing-masing sebesar 37-70%. Dari penelitian tentang mulsa dan pupuk hijau Sonosiso (Dalbergia siso) yang dilakukan oleh Haryati et al. (1990) di Desa Gondanglegi, Kabupaten Boyolali dapat disimpulkan bahwa cara pemberian pupuk hijau dengan cara dimulsakan lebih efisien/menguntungkan dibandingkan dengan cara pembenaman ke dalam tanah.
Mulsa jerami ditempatkan di antara barisan tanaman (sumber: http://134.220.18.206/cs1965/shasea/)
Mulsa yang diberikan sebaiknya berupa sisa tanaman yang tidak mudah terdekomposisi misalnya jerami padi dan jagung dengan takaran yang disarankan adalah 6 t/ha atau lebih. Bahan mulsa sebaiknya dari bahan yang mudah diperoleh seperti sisa tanaman pada areal lahan masing-masing petani sehingga dapat menghemat biaya, mempermudah pembuangan limbah panen sekaligus mempertinggi produktivitas lahan.
6.5. Sistem Penanaman Menurut Strip
Penanaman menurut strip (strip cropping) adalah system pertanaman, dimana dalam satu bidang lahan ditanami tanaman dengan jarak tanam tertentu dan berselang-seling dengan jenis tanaman lainnya searah kontur. Misalnya penanaman jagung dalam satu strip searah kontur dengan lebar strip 3-5 m atau 5-10 m tergantung kemiringan lahan, di lereng bawahnya ditanam kacang tanah dengan sistem sama dengan penanaman jagung, strip rumput atau tanaman penutup tanah yang lain. Semakin curam lereng, maka strip yang dibuat akan semakin sempit sehingga jenis tanaman yang berselang-seling tampak lebih rapat. Sistem ini sangat efektif dalam mengurangi erosi hingga 70-75% (FAO, 1976) dan vegetasi yang ditanam (dari jenis legum) akan mampu memperbaiki sifat tanah walaupun terjadi pengurangan luas areal tanaman utama sekitar 30-50% (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Sistem pertanaman menurut strip searah kontur (Troeh et al., 1980)
Sistem ini biasa diterapkan di daerah dengan topografi berbukit sampai bergunung dan biasanya dikombinasikan dengan teknik konservasi lain seperti tanaman pagar, saluran pembuangan air, dan lain-lain. Penanaman menurut strip merupakan usaha pengaturan tanaman sehingga tidak memerlukan modal yang besar.
Contour Strip Cropping pada lahan yang kemiringannya tidak terlalu curam (sumber: http://www.takdangaralin.com)
Contour farming pada lahan yang miring curam (sumber: http://www.bensoninstitute.org)
6.6. Barisan Sisa Tanaman
Pada dasarnya, sistem barisan sisa tanaman (trash line) ini sama dengan sistem strip. Sistem ini adalah teknik konservasi tanah yang bersifat sementara dimana gulma/rumput/sisa tanaman yang disiangi ditumpuk berbaris. Untuk daerah berlereng biasanya ditumpuk mengikuti garis kontur. Penumpukan ini selain dapat megurangi erosi dan menahan laju aliran permukaan juga bisa berfungsi sebagai mulsa. Ketersediaan bahan sisa tanaman harus cukup banyak sehingga penumpukannya membentuk struktur yang lebih kuat. Sisa tanaman tersebut lemah dalam menahan gaya erosi air dan akan cepat terdekomposisi sehingga mudah hanyut. Penggunaan kayu-kayu pancang diperlukan untuk memperkuat barisan sisa tanaman ini. Sistem ini cukup bagus untuk mempertahankan ketersediaan hara melalui dekomposisi bahan organik dan melindungi tanah dari bahaya erosi sampai umur tanaman <5 bulan (Dariah et al., 1998).
Barisan sisa tanaman tidak memerlukan banyak tenaga kerja. Untuk pembuatan barisan sisa tanaman hanya memerlukan antara 10-30 HOK/ha (Agus et al., 1999). Pada tahun kedua perlu dibuat barisan sisa tanaman yang baru.
6.7. Tanaman Penutup Tanah
Tanaman penutup tanah (cover crop) adalah tanaman yang biasa ditanam pada lahan kering dan dapat menutup seluruh permukaan tanah. Tanaman yang dipilih sebagai tanaman penutup tanah umumnya tanaman semusim/tahunan dari jenis legum yang mampu tumbuh dengan cepat, tahan kekeringan, dapat memperbaiki sifat tanah (fisik, kimia, dan biologi) dan menghasilkan umbi, buah, dan daun. Menurut Lal (1978), tanaman penutup tanah mampu meningkatkan laju infiltrasi. Laju infiltrasi pada tanah bera (bare soil) atau belum ditanami, tanah bera alami (natural fallow), tanah yang ditanami Paspalum notatum, Stylosanthes gracilis, Bracharia ruziensis, Pueraria phaseoloides, Centrocema pubescens, dan Psophocarpus palustris masing-masing adalah 6; 7,5; 8; 18; 21; 25; dan 33 cm/jam, sedangkan kumulatif infiltrasi pada masing-masing perlakuan juga beragam.
Tanaman penutup tanah dibedakan menjadi empat (Agus et al., 1999), yaitu: (1) tanaman penutup tanah rendah seperti centrosema (Centrosema pubescens), pueraria (Pueraria javanica) dan benguk (Mucuna sp.); (2) tanaman penutup tanah sedang seperti lamtoro (Leucaena leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium); (3) tanaman penutup tanah tinggi seperti sengon (Periserianthes falcataria); dan (4) belukar lokal (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Tanaman penutup tanah rendah, dapat ditanam bersama tanaman pokok maupun menjelang tanaman pokok ditanam. Tanaman penutup tanah sedang dan tinggi pada dasarnya seperti tanaman sela dimana tanaman pokok ditanam di sela-sela tanaman penutup tanah. Dapat juga tanaman pokok ditanam setelah tanaman penutup tanah dipanen.
Tanaman penutup tanah berupa legume menjalar ditanam di antara residu (sisa panen) tanaman sebelumnya (sumber: http://www.uhdp.org/)
Tanaman penutup tanah dimaksudkan untuk menambah penghasilan petani dari hasil panennya, selain itu juga untuk memperbaiki sifat tanah karena mampu menambat N dari udara dan sisa tanamannya dapat dijadikan sumber bahan organik. Sebagai contoh tanaman penutup tanah dari jenis legum seperti Mucuna sp. sangat besar kontribusinya dalam memperbaiki produktivitas tanah. Selain mampu mengurangi pengaruh keracunan Al pada tanaman, Mucuna sp. juga merupakan sumber unsur hara bagi tanaman. Kandungan hara Mucuna sp. sebagai berikut: N=2,32%; P=0,20%; dan K=1,97% (Adiningsih dan Mulyadi, 1992). Ini berarti bahwa setiap pengembalian 1 t biomassa kering Mucuna sp. sebagai mulsa, maka akan diperoleh sekitar 23 kg N; 2 kg P dan 20 kg K yang setara dengan 52 kg urea; 10 kg TSP, dan 39 kg KCl. Hasil ini jelas akan memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi petani dalam memenuhi kebutuhan lahannya terhadap pupuk.
6.8. Penyiangan parsial
Penyiangan parsial merupakan teknik dimana lahan tidak disiangi seluruhnya yaitu dengan cara menyisakan sebagian rumput alami maupun tanaman penutup tanah (lebar sekitar 20-30 cm) sehingga di sekitar batang tanaman pokok akan bersih dari gulma (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Tanaman penutup tanah yang tidak disiangi akan berfungsi sebagai penahan erosi. Pada dasarnya teknik ini menyerupai strip rumput dimana vegetasi gulma mampu menahan aliran permukaan dan mengendapkan material terangkut. Hasil tanaman yang disiangi dikembalikan ke lahan atau ditumpuk sebagai barisan sisa tanaman sehingga dapat menambah bahan organik bagi tanah dan memperbaiki sifat tanah.
Teknik penyiangan yang termasuk dalam penyiangan parsial adalah:
(1). Strip tumbuhan alami (Natural Vegetative Strips = NVS)
Pada dasarnya teknik ini adalah menyisakan sebagian lahan yang tidak disiangi dan tidak ditanami sehingga rumput alami tumbuh membentuk strip yang kurang lebih sejajar dengan garis kontur. Teknik ini banyak diterapkan untuk tanaman semusim dan sudah berkembang di Mindanao Utara, Filipina (Agus et al., 2002). Meskipun teknik ini efektif mengurangi erosi, tetapi teknik ini juga mengurangi areal produktif lahan pertanian sekitar 5-15%.
Strip vegetasi alamiah untuk mengendalikan erosi, limpasan permukaan dan kesuburan tanah (sumber: lakesuperiorstreams.org)
Contour strip farming pada lahan miring (sumber: http://www.agnet.org/)
(2). Penyiangan sekeliling batang tanaman pokok
Teknik ini dapat diterapkan pada penyiangan dimana tanah tertutupi oleh gulma rumput maupun tanaman penutup tanah lain yang sengaja ditanam. Penyiangan dilakukan di sekeliling batang tanaman pokok dengan diameter sekitar 120 cm (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Dengan memanfatkan teknik penyiangan ini pada areal tanaman kopi umur satu tahun dengan kemiringan lereng 60% dan curah hujan sebesar 1.338 mm (selama 6 bulan dari tanggal 1 Mei sampai 30 Oktober 1980) tingkat aliran permukaan hanya sebesar 1,8% dari curah hujan dan erosi sebesar 1,9 t/ha. Sedangkan pada tanaman kopi umur 3 tahun dengan lereng 62-63% dan umur 16 tahun dengan kelerengan 46-49%, curah hujan yang sama menghasilkan aliran permukaan berturut-turut sebesar 3,4% dan 6,3% dari jumlah curah hujan dan erosi yang dihasilkan berturut-turut sebesar 1,6 dan 1,3 t/ha (Gintings, 1982 dalam Agus et al, 2002). Penyiangan sekeliling batang tanaman pokok ini juga dimaksudkan, untuk mencegah hama dan penyakit menyerang tanaman pokok dengan tetap memelihara keberadaan tanaman penutup tanah.
6.9. Penerapan Pola Tanam
Pola tanam adalah sistem pengaturan waktu tanam dan jenis tanaman sesuai dengan iklim, kesesuaian tanah dengan jenis tanaman, luas lahan, ketersediaan tenaga, modal, dan pemasaran. Pola tanam berfungsi meningkatkan intensitas penutupan tanah dan mengurangi terjadinya erosi. Biasanya petani sudah mempunyai pengetahuan tentang pola tanam yang cocok dengan keadaan biofisik dan sosial ekonomi keluarganya berdasarkan pengalaman dan kebiasaan pendahulunya. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam suatu usaha tani, erosi masih terjadi. Pemilihan pola tanam yang tepat dapat meningkatkan keuntungan bagi petani dan meningkatkan penutupan tanah sehingga erosi dapat dikurangi. Misalnya penanaman padi gogo yang disisipi jagung pada awal musim hujan, setelah panen disusul penanaman kedelai dan pada saat bera ditanami benguk (Mucuna sp.). Jenis tanaman dapat lebih bervariasi tergantung keinginan petani dan daya dukung lahannya (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Pertanaman majemuk yang merupakan salah satu bagian dalam pola tanam pada dasarnya merupakan sistem dimana satu bidang olah ditanami lebih dari satu jenis tanaman pangan. Misalnya dalam satu bidang olah ditanami sekaligus tanaman jagung, padi gogo, mukuna (benguk), dan kedelai. Sistem ini bertujuan untuk mempertinggi intensitas penggunaan lahan, dan dapat mengurangi risiko gagal panen untuk salah satu tanaman, meningkatkan nilai tambah bagi petani dan juga termasuk tindakan pengendalian hama dan pengendalian erosi. Pada tahun 1974, hasil penelitian IRRI membuktikan bahwa populasi hama penggerek jagung (Ostrinia nubilalis) pada penanaman tumpang sari antara jagung dan kacang tanah berada dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah populasi hama tersebut pada saat jagung ditanam secara monokultur.
Dengan penerapan pertanaman majemuk, penutupan tanah akan lebih rapat sehingga mampu melindungi tanah dari pukulan air hujan secara langsung dan menahan aliran permukaan. Sistem pertanaman yang termasuk sistem pertanaman majemuk adalah sistem pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (inter cropping), dan tumpang gilir (relay cropping).
(1). Pergiliran tanaman
Pergiliran tanaman (crop rotation) adalah sistem bercocok tanam dimana sebidang lahan ditanami dengan beberapa jenis tanaman secara bergantian. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk memutuskan siklus hama dan penyakit tanaman dan untuk meragamkan hasil tanaman. Pergantian tanaman ada yang dilakukan secara intensif dimana setelah panen tanaman pertama kemudian langsung ditanami tanaman kedua dan ada pula yang dibatasi periode bera. Daerah yang memiliki musim kering (MK) <4 bulan sangat baik untuk menerapkan sistem ini (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Secara umum ternyata erosi pada tanah Tropaqualfs dipengarujhi oleh pola pergiliran tanaman. Penggunaan sistem pergiliran tanaman intensif secara berurutan, antara tanaman pertama yang disusul tanaman kedua dan seterusnya mampu menekan erosi secara nyata dibandingkan lahan yang hanya diolah tanpa ditanami. Pengaruh nyata tersebut dihasilkan dari fungsi tanaman sebagai pengikat tanah (nilai C koefisien tanaman = 0,371) serta penambahan bahan organik dari sisa tanaman tersebut sebagai mulsa dan pembenah tanah sehingga tahan terhadap erosi. Penggunaan sistem ini disarankan untuk tetap menggunakan pupuk dan teknik konservasi tanah, sehingga hasil tanaman dapat maksimal dan lahan yang dipergunakan dapat terjaga produktivitasnya. Dari segi konservasi tanah, pergiliran tanaman memberikan peluang untuk mempertahankan penutupan tanah, karena tanaman kedua ditanam setelah tanaman pertama dipanen. Demikian seterusnya, sehingga sepanjang tahun intensitas penutupan tanah senantiasa dipertahankan. Kondisi ini akan mengurangi risiko tanah tererosi akibat terpaan butir-butir air hujan dan aliran permukaan.
The rotation of crops is not only necessary to offer a diverse "diet" to the soil micro organisms, but as they root at different soil depths, they are capable of exploring different soil layers for nutrients. Nutrients that have been leached to deeper layers and that are no longer available for the commercial crop, can be "recycled" by the crops in rotation. This way the rotation crops function as biological pumps. Furthermore, a diversity of crops in rotation leads to a diverse soil flora and fauna, as the roots excrete different organic substances that attract different types of bacteria and fungi, which in turn, play an important role in the transformation of these substances into plant available nutrients. Crop rotation also has an important phytosanitary function as it prevents the carry over of crop-specific pests and diseases from one crop to the next via crop residues.
Efek Rotasi Tanaman a.l.:
Diversitas yang lebih tinggi dalam produksi tanaman, sehingga gizi bagi manusia dan ternak juga lebih beragam.
Reduksi gangguan hama, penyakit dan gulma.
Lebih banyaknya ragam biopores dalam tanah yang diciptakan oelh beragam akar tanaman (beragam bentuk, ukuran dan kedalaman akar).
Lebih baiknya distribusi air dan hara dalam profil tanah.
Exploration for nutrients and water of diverse strata of the soil profile by roots of many different plant species resulting in a greater use of the available nutrients and water.
Increased nitrogen fixation through certain plant-soil biota symbionts and improved balance of N/P/K from both organic and mineral sources.
Peningkatan pembentukan humus.
Pola pergiliran (rotasi) tanaman dalam sehatun untuk menjaga kesuburan tanah (sumber: http://www.fao.org/ag/ca/1b.html)
(2). Tumpang sari
Tumpang sari (intercropping) adalah sistem bercocok tanam dengan menggunakan dua atau lebih jenis tanaman yang ditanam serentak/bersamaan pada sebidang tanah. Sistem tumpang sari sebagian besar dikelola pada pertanian lahan kering yang hanya menggantungkan air hujan sebagai sumber air utama. Sistem tumpang sari adalah salah satu usaha konservasi tanah yang efektif dalam memanfaatkan luas lahan. Tanaman yang ditanam dapat berupa jagung dengan kacang tanah, jagung dengan kedelai, dan sebagainya. Tanaman tersebut dapat berupa tanaman penambat nitrogen, berperakaran dalam maupun dangkal yang pada prinsipnya saling menguntungkan (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Kerapatan penutupan tanah akan sangat menguntungkan untuk pencegahan erosi, mempertahankan kadar lengas tanah karena evaporasi terhambat, memperbaiki kondisi tanah karena aktivitas perakaran mempertinggi bahan organik tanah. Hasil ganda yang diperoleh dalam satu luasan lahan dapat meningkatkan pendapatan petani. Setelah tanaman dalam tumpang sari tersebut dipanen sebaiknya tanah langsung ditanami dengan tanaman pangan lain ataupun tanaman penutup tanah yang mampu tumbuh cepat untuk melindungi tanah, sehingga erosi dapat dikurangi.
Tumpangsari pepaya dengan kacang-kacangan (sumber: http://koropedang.multiply.com/journal/item/20/Tumpangsari_)
(3). Tumpang gilir
Tumpang gilir (relay cropping) adalah cara bercocok tanam dimana satu bidang lahan ditanami dengan dua atau lebih jenis tanaman dengan pengaturan waktu panen dan tanam. Pada sistem ini, tanaman kedua ditanam menjelang panen tanaman musim pertama. Contohnya adalah tumpang gilir antara tanaman jagung yang ditanam pada awal musim hujan dan kacang tanah yang ditanam beberapa minggu sebelum panen jagung. Sistem ini diterapkan untuk mempertinggi intensitas penggunaan lahan. Penanaman tanaman kedua sebelum tanaman pertama dipanen dimaksudkan untuk mempercepat penanamannya dan masih mendapatkan air hujan yang cukup untuk pertumbuhan dan produksinya. Tanaman pertama tidak terlalu terpengaruh akibat kompetisi tanaman kedua karena tanaman pertama telah melewati fase pertumbuhan vegetatifnya. Begitu pula dengan tanaman kedua yang mendapatkan air dan hara yang cukup sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan vegetatifnya (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Dari segi konservasi, penutupan tanah yang rapat pada tumpang gilir mempunyai pengaruh yang cukup baik dalam menahan erosi. Penerapan teknik ini perlu diiringi dengan penerapan teknik konservasi tanah yang lain seperti penambahan bahan organik, penutup tanah dan jika perlu diterapkan tindakan sipil teknis. Mengingat intensitas tanaman yang tinggi, pemupukan juga perlu dilaksanakan. Penambahan sisa tanaman yang dijadikan mulsa akan mengoptimalkan kemampuan tanah dalam menahan erosi selain menyediakan kebutuhan tanaman akan hara. Pola tanam yang diintroduksikan harus mampu meningkatkan efektivitas penggunaan lahan dan penggunaan air melalui pertimbangan biofisik lahan dan sosial ekonomi suatu wilayah. Perbedaan pola tanam menghasilkan komoditas serta intensitas pertanaman yang berbeda. Pola tanam juga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan hara terutama jika pola tanam yang diintroduksi mencakup tanaman-tanaman dengan kedalaman perakaran yang berbeda.
Pola tanam dengan mempertimbangkan kondisi iklim dapat disajikan sebagai berikut (Agus et al., 1999):
a. Bila bulan kering dalam satu tahun tidak ada atau hanya satu bulan, dapat dilakukan pertanaman sepanjang tahun.
b. Bila bulan kering 2-3 bulan setahun, dapat dilakukan pertanaman sepanjang tahun tetapi dengan perencanaan lebih hati-hati terhadap teknik konservasi tanahnya, pemeliharaan, pemupukan, dan pemanenannya.
c. Bila bulan kering 4-6 bulan setahun, dapat dilakukan dua kali penanaman dengan tumpang gilir.
d. Bila bulan kering 7-9 bulan setahun, pertanaman dapat dilakukan sekali, selebihnya ditanami tanaman penutup tanah.
e. Bila bulan kering sepanjang tahun, daerah tersebut tidak cocok untuk tanaman pangan bila tanpa irigasi atau sistem pemanenan air.
Pola tanam bertumpu pada kondisi curah hujan (sumber: http://www.google.co.id/)
Pola tanam dalam setahun yang melibatkan padi dan palawija. Padi merupakan tanaman serealia utama, dan tanaman lainnya juga digunakan dalam pola tanam dengan anggapan untuk meningkatkan produksi hijauan pakan ternak. Tanaman palawija meliputi cowpeas, maize, groundnut, pigeon pea, sorghum dan ubijalar. Kriteria pemilihan tanaman sela adalah:
Jenis ternak yang dipelihara.
Komplementaritas tanaman pangan dan tanaman pakan.
Potensi menghasilkan hijauan dan biomasa residu (seresah)
Promosi kesuburan tanah.
Tahan kekeringan dan musim kering yang panjang.
Tahan naungan pada lahan kering.
Kebutuhan sumberdaya.
Penelitian tentang karakteristik curah hujan, karakteristik tanah, metode pemupukan, varietas unggul, pengendalian hama dan penyakit, pemasaran maupun sosial dan ekonomi pedesaan sangat diperlukan dalam menentukan pola tanam di suatu wilayah dan keberhasilan penerapannya oleh petani. Penerapan pola tanam tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik curah hujan, karena tiap-tiap tanaman memiliki respon yang berbeda terhadap ketersediaan air. Karena distribusi curah hujan tidak merata sepanjang tahun, maka model pola tanam yang didasari dengan distribusi curah hujan akan memberikan hasil yang lebih baik. Salah satu model pola tanam yang diterapkan di DAS Jratunseluna (P3HTA, 1988). Masing-masing adalah:
a. Model A: kacang tanah tumpang sari dengan jagung disisipi oleh ubi kayu dan diikuti oleh kacang tanah.
b. Model B: kacang tanah tumpang sari dengan jagung disisipi oleh ubi kayu dan diikuti oleh cabai.
c. Model C: kacang tanah tumpang sari dengan jagung disisipi oleh ubi kayu dan diikuti mentimun.
Hubungan curah hujan dan hari hujan dan beberapa alternatif pola tanam di Desa Kandangan, Semarang tahun 1986/1987 (P3HTA, 1988)
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman A., Sutono, dan I. Juarsah. 1997. Pengkayaan bahan organik tanah dalam upaya pelestarian usaha tani lahan kering di DAS bagian hulu.hlm. 89-105 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Makalah Review. Cisarua-Bogor, 4-6 Maret 1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Abdurachman, A., A. Barus, Undang Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian tanaman semusim. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 4:41-46.
Abdurachman, A., dan S. Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. hlm.103-145 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Abdurachman, A., S. Abujamin, dan Suwardjo. 1982. Beberapa cara konservasi tanah pada areal pertanian rakyat. Disampaikan pada Pertemuan Tahunan Perbaikan Rekomendasi Teknologi tgl. 13-15 April. Pusat Penelitian Tanah, Bogor (Tidak dipublikasikan).
Abujamin, S. 1978. Peranan rumput dalam usaha konservasi tanah. Seminar LP. Tanah, 8 Juli 1978 (Tidak dipublikasikan).
Abujamin, S., A. Adi, dan U. Kurnia. 1983. Strip rumput permanen sebagai salah satu cara konservasi tanah. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 1: 16-20.
Adiningsih, J.S. dan Mulyadi. 1992. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan alang-alang. hlm. 29-46 dalam Prosiding Seminar Lahan Alang-alang: Pemanfaatan Lahan Alang-alang untuk Usahatani Berkelanjutan. Bogor, 1 Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Agus, F., A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Tala’ohu, A Dariah, B.R. Prawiradiputra, B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Jakarta.
Agus, F., A.Ng. Ginting, dan M. van Noordwidjk. 2002. Pilihan Teknologi Agroforestri/Konservasi Tanah untuk Areal Pertanian Berbasis Kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. International Centre for Research in Agroforestry, Bogor.
Agus, F., A.Ng. Ginting, U. Kurnia, A. Abdurachman, and P. van der Poel. 1998. Soil erosion research in Indonesia: Past experience and future direction. pp. 255-267. In F.W.T. Penning de Vries, F. Agus, and J. Kerr (Eds.). Soil Erosion at Multiple Scales: Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. CAB International, Wallingford, UK.
Anonim, 1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi tanah. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Arsyad, S. 1976. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.
Bezkorowajnyi, P.G.; Gordon, A.M.; McBride, R.A. 1993. The effect of cattle foot traffic on soil compaction in a silvo-pastoral system. Agroforestry Systems. 21: 1-10.
Clason, T.R. 1995. Economic implications of silvipastures on southern pine plantation. Agroforestry Systems. 19: 227-238.
Dariah, A., S. Damanik, S.H. Tala'ohu, D. Erfandi, A. Rachman, dan N.L. Nurida. 1998. Studi teknik konservasi tanah pada lahan pertanaman akar wangi di Kecamatan Semarang, Kabupaten Garut. hlm. 185-197 dalam Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Alternatif dan Pendekatan Implementasi Teknologi Konservasi Tanah. Bogor, 27-28 Oktober 1998. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Erfandi, D., Ai Dariah, dan H. Suwardjo. 1989. Pengaruh Alley cropping terhadap erosi dan produktivitas tanah Haplothrox Citayam. hlm. 53-62 dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah Bidang Konservasi Tanah dan Air. Bogor, 22-24 Agustus 1989. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Erfandi, D., H. Suwardjo, dan O. Sopandi. 1994. Alternatif teknologi penanggulangan lahan kritis akibat perladangan berpindah di Propinsi Jambi. hlm. 1-10 dalam Risalah Hasil Penelitian Peningkatan Produktivitas dan Konservasi Tanah untuk Mengatasi Masalah Perladangan Berpindah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
FAO. 1976. Soil Conservation for Development Countries. Soil Bulletin No. 30.
Foth, H.D. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Foth, H.D., 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. (Fundamentals of Soil Science). Gadjah Mada Univesity Press. Yogyakarta.
Hamilton, L.S. dan P.N.King, 1997. Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika (Tropical Forested Watersheds). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Harsono, 1995. Hand Out Erosi dan Sedimentasi. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Haryati, U., Achmad Rachman, dan A. Abdurachman. 1990. Aplikasi mulsa dan pupuk hijau Sonosiso untuk pertanaman jagung pada tanah Usthorthents di Gondanglegi. hlm. 1-8 dalam Risalah Pembahasan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah. Tugu-Bogor, 11-13 Januari 1990. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (P3HTA), Salatiga, Departemen Pertanian.
Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman dengan berbagai teknik konservasi pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran, Jawa Tengah. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 13: 40-50.
Irawan. 2002. Investment analysis of Alley cropping for sustainable farming of sloping lands. p. 51-62. In Proceedings Management of Sloping Lands for Sustainable Agriculture Final Report of Asialand Sloping. Land Project, Phase 4.
Jaindl, R.G.; Sharrow, S.H. 1988. Oak/Douglas-fir/sheep: A three crop silvopastoral system. Agroforestry Systems. 6: 147-152.
Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia. 2003. TEKNIK KONSERVASI TANAH SECARA VEGETATIF. Seri Monograf No. 1. Sumber Daya Tanah Indonesia. BALAI PENELITIAN TANAH. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Killham, K. 1994. Soil Ecology. Cambridge University Press.
Kurnia, U., Ai Dariah, Suwarto, dan K. Subagyono. 1997. Degradasi lahan dan konservasi tanah di Indonesia: Kendala dan pemecahannya. hlm. 27-45 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat: Makalah Review. Cisarua-Bogor, 4-6 Maret 1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Kurnia, U., N. Sinukaban, F.G. Suratmo, H. Pawitan, dan H. Suwardjo, 1997. Pengaruh teknik rehabilitasi lahan terhadap produktivitas tanah dan kehilangan hara. Jurnal Tanah dan Iklim 15: 10-18.
Kurnia, U., Sudirman, dan H. Kusnadi. 2002. Teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan kering. hlm. 147-181 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Lal, R. 1978. Influence of tillage methods and residue mulches on soil structure and infiltration rate. p. 393-402. In Emerson, W.W., R.D. Bond, and A.R. Dexter (Eds.) Modification of Soil Structure. John Willey & Sons. Chichester, New York, Brisbane, Toronto.
Lewis, C.E.; Burton, G.W.; Monson, W.G.; McCormick, W.C. 1983. Integration of pines, pastures, and catte in south Georgia. Agroforestry Systems. 1: 277-297.
Mawardi, M., 1991. Hand Out Hidrologi Pertanian. Program Studi Mekanisasi Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
P3HTA. 1987. Penelitian Terapan Pertanian Lahan Kering dan Konservasi. hlm. 6. UACP-FSR. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
P3HTA. 1988. Laporan Tahunan 1986/1987. UACP-FSR. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Priyono, N.S. dan Siswamartana S. 2002. Hutan Pinus dan Hasil Air. Pusat Pengembangan Sumber Daya Hutan Perhutani, Cepu.
Puslittanak. 1991. Laporan Tahunan 1988/1989. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Rachman, A., A. Abdurachman, Umi Haryati, dan Soleh Sukmana. 1990. Hasil hijauan legum, panen tanaman pangan dan pembentukan teras dalam istem pertanaman lorong. hlm. 19-25 dalam Risalah Pembahasan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah. Tugu-Bogor, 11-13 Januari 1990. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (P3HTA), Salatiga. Departemen Pertanian.
Rachman, A., H. Suwardjo, R.L. Watung, dan H. Sembiring. 1989. Efisiensi teras bangku dan teras gulud dalam pengendalian erosi. hlm. 11- 17 dalam Risalah Diskusi Ilmiah Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah di Daerah Aliran Sungai. Batu- Malang, 1-3 Maret 1989. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (P3HTA), Salatiga. Departemen Pertanian.
Sharrow, S.H.; Fletcher, R.A. 1995. Trees and pastures: 40 years of agrosilvopastoral experience in western Oregon. In: Rietveld, W.J., tech. coord. Agroforestry and sustainable systems: Symposium proceedings; 1994 August 7-10; Fort Collins, CO. General Technical Report RM-GTR-261. Fort Collins, CO: U.S. Dept. of Agriculture, Forest Service, Rocky Mountain Forest and Range Experiment Station: 47-52.
Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Lestari dengan Konservasi. Faperta IPB. Bogor.
Sinukaban, N., 2003. Bahan Kuliah Teknologi Pengelolaan DAS. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Subagyono, K., T. Vadari, Sukristiyonubowo, R.L. Watung, and F. Agus. 2004. Land Management for Controlling Soil Erosion at Micro catchment Scale in Indonesia. p. 39-81. In Maglinao, A.R. and C. Valentin (Eds.) Community-Based Land and Water Management Systems for Sustainable Upland Development in Asia: MSEC Phase 2. 2003 Annual Report. International Water management Institute (IWMI). Southeast Asia Regional Office. Bangkok. Thailand.
Suhardjo, M., A. Abas Idjudin, dan Maswar. 1997. Evaluasi beberapa macam strip rumput dalam usaha pengendalian erosi pada lahan kering berteras di lereng perbukitan kritis D.I. Yogyakarta. hlm. 143-150 dalam Prosiding Seminar Rekayasa Teknologi Sistem Usahatani Konservasi. Bagian Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis Yogyakarta (YUADP Komponen-8). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sukirno, 1995. Hand Out Teknik Konservasi Tanah. Program Studi Teknik Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sukmana, S., H. Suwardjo, A. Abdurachman, and J. Dai. 1985. Prospect of Flemingia congesta Roxb. for reclamation and conservation of volcanic skeletal soils. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 4:50-54
Suwardjo, A. Abdurachman, and Sofijah Abujamin. 1989. The use of crop residue mulch to minimize tillage frequency. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk. 8: 31-37
Suwardjo, H., Z. Kadir, dan A. Abdurachman. 1987. Pengaruh cara pemanfaatan sisa tanaman terhdap kadar bahan organik dan erosi pada tanah Podsolik Merah Kuning di Lampung. hlm. 409-424 dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah. Cipayung, 21-
Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-Sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi FPS IPB. Bogor.
Thomson, L.M. 1957. Soil and Soil Fertility. Mc Graw-Hill Book Company Inc. New York.
Troeh, F.R., J.A. Hobbs, and R.L. Donahue. 1980. Soil and Water Conservation for Productivity and Environmental Protection. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. USA.
Watung, R.L., T. Vadari, Sukristiyonubowo, Subiharta, and F. Agus. 2003. Managing Soil Erosion in Kaligarang Catchment of Java, Indonesia. Phase 1 Project Completion Report. International Water management Institute (IWMI). Southeast Asia Regional Office. Bangkok. Thailand.
Wolters, G.L. 1981. Timber thinning and prescribed burning as methods to increase herbage in grazed and protected longleaf pine ranges. J. Range Management. 34: 494-497.
UNTUK
KONSERVASI TANAH DAN AIR
(MK. KONSERVASI LINGKUNGAN
VEGETASI
UNTUK
KONSERVASI
TANAH DAN AIR
(MK.
KONSERVASI LINGKUNGAN; smno.psdl.pdkl.ppsub.2013)
1.
Pendahuluan
Erosi
tanah adalah peristiwa terangkutnya tanah dari satu tempat ke tempat
lain oleh air atau angin. Pada
dasarnya ada tiga proses penyebab erosi yaitu pelepasan (detachment)
partikel tanah, pengangkutan (transportation),
dan pengendapan (sedimentation).
Erosi menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas (top
soil)
dan unsur hara yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Erosi
yang disebabkan oleh air hujan merupakan penyebab utama degradasi
lahan di daerah tropis termasuk Indonesia. Tanah-tanah di daerah
berlereng mempunyai risiko tererosi yang lebih besar daripada tanah
di daerah datar. Selain tidak stabil akibat pengaruh kemiringan, air
hujan yang jatuh akan terusmenerus memukul permukaan tanah sehingga
memperbesar risiko erosi. Berbeda dengan daerah datar, selain massa
tanah dalam posisi stabil, air hujan yang jatuh tidak selamanya
memukul permukaan tanah karena dengan cepat akan terlindungi oleh
genangan air.
Tanah
yang hilang akibat proses erosi tersebut terangkut oleh air sehingga
menyebabkan pendangkalan saluran drainase termasuk parit, sungai, dan
danau. Erosi yang telah berlanjut menyebabkan rusaknya ekosistem
sehingga penanganannya akan memakan waktu lama dan biaya yang mahal.
Menurut Kurnia et
al.
(2002), kerugian yang harus ditanggung akibat degradasi lahan tanpa
tindakan rehabilitasi lahan mencapai Rp 291.715,- /ha, sedangkan
apabila lahan dikonservasi secara vegetatif, maka kerugian akan jauh
lebih rendah. Pencegahan dengan teknik konservasi yang tepat sangat
diperlukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor penyebab erosi.
Kondisi
sosial ekonomi dan sumber daya masyarakat juga menjadi pertimbangan
sehingga tindakan konservasi yang dipilih diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas lahan, menambah pendapatan petani serta
memperkecil risiko degradasi lahan. Pada dasarnya teknik konservasi
dibedakan menjadi tiga yaitu: (a) vegetatif; (b) mekanik; dan (c)
kimia. Teknik konservasi mekanik dan vegetatif telah banyak diteliti
dan dikembangkan. Namun mengingat teknik mekanik umumnya mahal, maka
teknik vegetatif berpotensi untuk lebih diterima oleh masyarakat.
Teknik konservasi tanah secara vegetatif mempunyai beberapa
keunggulan dibandingkan dengan teknik konservasi tanah secara mekanis
maupun kimia, antara lain karena penerapannya relatif mudah, biaya
yang dibutuhkan relatif murah, mampu menyediakan tambahan hara bagi
tanaman, menghasilkan hijauan pakan ternak, kayu, buah maupun hasil
tanaman lainnya. Hal tersebut melatarbelakangi pentingnya informasi
mengenai teknologi konservasi tanah secara vegetatif.
Dalam
rangka pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengelolaan lahan
harus menerapkan suatu teknologi yang berwawasan konservasi. Suatu
teknologi pengelolaan lahan yang dapat mewujudkan pembangunan
pertanian berkelanjutan bilama memiliki ciri seperti : dapat
meningkatkan pendapatan petani, komoditi yang diusahakan sesuai
dengan kondisi bio fisik lahan dan dapat diterima oleh pasar, tidak
mengakibatkan degradasi lahan karena laju erosi kecil, dan teknologi
tersebut dapat diterapkan oleh masyarakat.
Ada
beberapa teknologi untuk merehabilitasi lahan dalam kaitannya dengan
pembangunan yang berkelanjutan (Sinukaban, 2003) yaitu :
a. Agronomi
yang meliputi teknis agronomis seperti TOT, minimum tillage, countur
farming, mulsa, pergiliran tanaman (crop rotation), pengelolaan
residu tanaman, dll.
b. Vegetatif
berupa agroforestry, alley cropping, penanaman rumput.
c. Struktur/konstruksi
yaitu bangunan konservasi seperti teras, tanggul, cek dam, Saluran,
dll.
d. Manajemen,
berupa perubahan penggunaan lahan.
Tanah
dengan penutup tanah yang baik berupa vegetasi, mulsa residu tanaman
akan memperkecil erosi dan limpasan permukaan. Harsono
(1995), lahan tertutup dengan hutan, padang rumput dapat mengurangi
erosi hingga kurang dari 1% dibandingkan dengan tanah terbuka.
Permukaan tanah dengan penutupan yang baik dapat berdampak
terhadap :
o
Menyediakan cadangan air tanah
o
Memperbaiki/menstabilkan struktur tanah,
o
Meningkatkan kandungan hara tanah, sehingga lebih produktif
o
Mempertahankan kondisi tanah dan air.
o
Memperbaiki ekonomi petani.
Teknologi
vegetatif (penghutanan) sering dipilih karena selain dapat menurunkan
erosi dan sedimentasi di sungai-sungai juga memiliki nilai ekonomi
(tanaman produktif) serta dapat memulihkan tata air suatu DAS.
Erosi
adalah peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah,
batuan, dan partikel lainnya) akibat transportasi angin,
air
atau es,
karakteristik hujan,
creep
pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh
makhluk hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut
bio-erosi.
Erosi tidak sama dengan pelapukan akibat cuaca, yang mana merupakan
proses penghancuran mineral batuan dengan proses kimiawi maupun
fisik, atau gabungan keduanya. Erosi sebenarnya merupakan proses
alami yang mudah dikenali, namun di kebanyakan tempat kejadian ini
diperparah oleh aktivitas manusia
dalam tata guna lahan yang buruk, penggundulan hutan,
kegiatan pertambangan,
perkebunan
dan perladangan,
kegiatan konstruksi / pembangunan yang tidak tertata dengan baik dan
pembangunan jalan.
Tanah yang digunakan untuk menghasilkan tanaman pertanian biasanya
mengalami erosi yang jauh lebih besar dari tanah dengan vegetasi
alaminya. Alih
fungsi hutan menjadi ladang pertanian meningkatkan erosi, karena
struktur akar tanaman hutan yang kuat mengikat tanah digantikan
dengan struktur akar tanaman pertanian yang lebih lemah.
Bagaimanapun, praktek tata guna lahan yang maju dapat membatasi
erosi, menggunakan teknik semisal terrace-building,
praktek konservasi ladang dan penanaman pohon.
Dampak
dari erosi adalah menipisnya lapisan permukaan tanah
bagian atas, yang akan menyebabkan menurunnnya kemampuan lahan
(degradasi lahan). Akibat
lain dari erosi adalah menurunnya kemampuan tanah untuk meresapkan
air (infiltrasi). Penurunan kemampuan lahan meresapkan air
ke dalam lapisan tanah akan meningkatkan limpasan air permukaan yang
akan mengakibatkan banjir
di sungai.
Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh aliran permukaan pada
akhirnya akan mengendap di sungai (sedimentasi) yang selanjutnya
akibat tingginya sedimentasi akan mengakibatkan pendangkalan sungai
sehingga akan mempengaruhi kelancaran jalur pelayaran.
Erosi
dalam jumlah tertentu sebenarnya merupakan kejadian yang alami, dan
baik untuk ekosistem.
Misalnya, kerikil secara berkala turun ke elevasi yang lebih rendah
melalui angkutan air. erosi yang berlebih, tentunya dapat menyebabkan
masalah, semisal dalam hal sedimentasi, kerusakan ekosistem dan
kehilangan air secara serentak. Banyaknya
erosi tergantung berbagai faktor. Faktor Iklim, termasuk besarnya dan
intensitas hujan / presipitasi, rata-rata dan rentang suhu, begitu
pula musim, kecepatan angin, frekuensi badai. faktor geologi termasuk
tipe sedimen, tipe batuan, porositas dan permeabilitasnya, kemiringn
lahan. Faktor biologis termasuk tutupan vegetasi lahan,makhluk yang
tinggal di lahan tersebut dan tata guna lahan ooleh manusia.
Umumnya,
dengan ekosistem dan vegetasi yang sama, area dengan curah hujan
tinggi, frekuensi hujan tinggi, lebih sering kena angin atau badai
tentunya lebih terkena erosi. Batuan induk Sedimen yang kaya pasir
atau debu, terletak pada area dengan kemiringan yang curam, lebih
mudah tererosi, begitu pula area dengan batuan lapuk atau batuan
pecah. porositas dan permeabilitas sedimen atau batuan berdampak pada
kecepatan erosi, berkaitan dengan mudah tidaknya air meresap ke dalam
tanah. Jika air bergerak di bawah tanah, limpasan permukaan yang
terbentuk lebih sedikit, sehingga mengurangi erosi permukaan. Sedimen
yang mengandung banyak lempung cenderung lebih mudah bererosi
daripada pasir atau silt.
Faktor
yang paling sering berubah-ubah adalah jumlah dan tipe tutupan lahan.
pada hutan yang tak terjamah, minerla tanah dilindungi oleh lapisan
humus dan lapisan organik. kedua lapisan ini melindungi tanah dengan
meredam dampak tetesan hujan. lapisan-lapisan beserta serasah di
dasar hutan bersifat porus dan mudah menyerap air hujan. Biasanya,
hanya hujan-hujan yang lebat (kadang disertai angin ribut) saja yang
akan mengakibatkan limpasan di permukaan tanah dalam hutan. bila
Pepohonan dihilangkan akibat kebakaran atau penebangan, derajat
peresapan air menjadi tinggi dan erosi menjadi rendah. Kebakaran yang
parah dapat menyebabkan peningkatan erosi secara menonjol jika
diikuti denga hujan lebat.
2.
Konservasi Tanah dan Air
Konservasi
tanah adalah penempatan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang
sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan
syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah.
Pemakaian istilah konservasi tanah sering diikuti dengan istilah
konservasi air. Meskipun keduanya berbeda tetapi saling terkait.
Ketika mempelajari masalah konservasi sering menggunakan kedua sudut
pandang ilmu konservasi tanah dan konservasi air. Secara umum, tujuan
konservasi tanah adalah meningkatkan produktivitas lahan secara
maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya
pencegahan kerusakan tanah akibat erosi. Sasaran konservasi tanah
meliputi keseluruhan sumber daya lahan, yang mencakup kelestarian
produktivitas tanah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
mendukung keseimbangan ekosistem.
Penelitian
tentang konservasi tanah telah dirintis sejak zaman Belanda tahun
1911, tetapi baru mulai berkembang pada tahun 1970- an, dengan
berdirinya Bagian Konservasi Tanah dan Air, Lembaga Penelitian Tanah,
Bogor (sekarang menjadi Kelompok Peneliti Konservasi Tanah dan
Pengelolaan Air, Balai Penelitian Tanah). Penelitian-penelitian yang
dilakukan bertujuan untuk mengetahui proses erosi mulai dari
pengelupasan tanah, pengangkutan sampai pengendapan material
terangkut beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya serta akibat
yang ditimbulkannya. Selanjutnya dilakukan pula penelitian dasar
tentang teknik-teknik pencegahan erosi. Lahan-lahan yang diteliti
sebagian besar berupa lahan dengan sifat tanah yang buruk (agregat
yang tidak stabil, aerasi buruk, permeabilitas rendah dan infiltrasi
tanah rendah, serta hara tersedia bagi tanaman rendah) dan lahan
dengan kemiringan yang curam yang rawan terhadap erosi. Lahan dengan
bentuk dan sifat tanah seperti di atas mendominasi keberadaan lahan
kritis di Indonesia (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang
Kurnia, 2003).
Umumnya,
hasil-hasil penelitian yang telah dicapai mampu memberikan informasi
praktis dalam perencanaan teknik konservasi tanah walaupun masih
harus disempurnakan, karena sebagian besar teknologi konservasi
dihasilkan dari penelitian pada skala petak kecil. Prediksi erosi
pada petak kecil akan memberikan angka yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dari
penelitiannya di Ungaran, Jawa Tengah, Agus et
al.
(2002) melaporkan bahwa besarnya erosi pada skala tampung mikro
dengan penggunaan lahan berupa tumpang sari tanaman pangan semusim
adalah sekitar 20 t/ha/tahun, pada penggunaan lahan rambutan sekitar
1,9 t/ha/tahun, dan campuran antara rambutan dan semak sebesar 1,7
t/ha/tahun. Sedangkan hasil penelitian dari Haryati et
al. (1995)
pada skala petak memberikan data erosi yang tiga kali lebih besar
pada jenis tanah dan iklim yang tidak jauh berbeda.
Fenomena
tersebut sangat menarik dan dapat dipergunakan untuk membantu
menerangkan, bahwa ekstrapolasi langsung dari skala petak ke tampung
mikro dan ke sub-DAS hasilnya akan bias. Oleh karena itu dalam
beberapa tahun terakhir penelitian mengenai prediksi erosi dan
pengaruh penggunaan lahan terhadap erosi diarahkan pada skala DAS
mikro (Watung et
al.,
2003; Subagyono et
al.,
2004), dengan tujuan untuk mendapatkan angka prediksi erosi yang
mewakili kondisi lapangan yang sangat penting dalam penetapan
rekomendasi teknik konservasi.
Teknik
konservasi tanah di Indonesia diarahkan pada tiga prinsip utama yaitu
perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butirbutir hujan,
meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah seperti pemberian bahan
organik atau dengan cara meningkatkan penyimpanan air, dan mengurangi
laju aliran permukaan sehingga menghambat material tanah dan hara
terhanyut (Agus et
al.,
1999).
Manusia
mempunyai keterbatasan dalam mengendalikan erosi sehingga perlu
ditetapkan kriteria tertentu yang diperlukan dalam tindakan
konservasi tanah. Salah satu pertimbangan yang harus disertakan dalam
merancang teknik konservasi tanah adalah nilai batas erosi yang masih
dapat diabaikan (tolerable
soil loss).
Beberapa sifatb dan kondisi tanah yang erat kaitannya dengan erosi
adalah kedalaman tanah, permeabilitas lapisan bawah dan kondisi
substratum. Karena pembentukan tanah di Indonesia yang termasuk
daerah beriklim tropika basah diperkirakan dua kali lebih besar dari
daerah beriklim sedang, maka penetapan erosi yang dapat diabaikan
juga memperhatikan banyak faktor. Jika besarnya erosi pada tanah
dengan sifat-sifat tersebut lebih besar daripada angka erosi yang
masih dapat diabaikan, maka tindakan konservasi sangat diperlukan.
Ketiga
teknik konservasi tanah secara vegetatif, mekanis dan kimia pada
prinsipnya memiliki tujuan yang sama yaitu mengendalikan laju erosi,
namun efektifitas, persyaratan dan kelayakan untuk diterapkan sangat
berbeda. Oleh karena itu pemilihan teknik konservasi yang tepat
sangat diperlukan (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang
Kurnia, 2003).
Restorasi
lahan kering kritis di dataran tinggi dilakukan dengan cara
penghutanan kembali secara alamiah (sumber: http://www.snh.org.uk/
uplandpathwork/4.5.shtml)
3.
Teknik
Vegetatif
Teknik
konservasi tanah secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan
tanaman/vegetasi maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung
tanah dari erosi, penghambat laju aliran permukaan, peningkatan
kandungan lengas tanah, serta perbaikan sifat-sifat tanah, baik sifat
fisik, kimia maupun biologi (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan
Undang Kurnia, 2003). Pada dasarnya konservasi tanah secara vegetatif
adalah segala bentuk pemanfaatan tanaman ataupun sisa-sisa tanaman
untuk mengurangi erosi. Tanaman ataupun sisa-sisa tanaman berfungsi
sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air hujan maupun
terhadap daya angkut air aliran permukaan (runoff),
serta meningkatkan peresapan air ke dalam tanah.
Tajuk
tumbuhan berfungsi menahan laju butiran air hujan dan mengurangi
tenaga kinetik butiran air dan pelepasan partikel tanah sehingga
pukulan butiran air dapat dikurangi. Air yang masuk di sela-sela
kanopi (interception)
sebagian akan kembali ke atmosfer akibat evaporasi. Fungsi
perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butir air hujan
merupakan hal yang sangat penting karena erosi yang terjadi di
Indonesia penyebab utamanya adalah air hujan. Semakin rapat
penutupannya akan semakin kecil risiko hancurnya agregat tanah oleh
pukulan butiran air hujan. Batang tanaman juga menjadi penahan erosi
air hujan dengan cara merembeskan aliran air dari tajuk melewati
batang (stemflow)
menuju permukaan tanah sehingga energi kinetiknya jauh berkurang.
Batang juga berfungsi memecah dan menahan laju aliran permukaan. Jika
energi kinetik aliran permukaan berkurang, maka daya angkut
materialnya juga berkurang dan tanah mempunyai kesempatan yang
relatif tinggi untuk meresapkan air. Beberapa jenis tanaman yang
ditanam dengan jarak rapat, batangnya mampu membentuk pagar sehingga
memecah aliran permukaan. Partikel tanah yang ikut bersama aliran air
permukaan akan mengendap di bawah batang dan lama-kelamaan akan
membentuk bidang penahan aliran permukaan yang lebih stabil.
Keberadaan
perakaran mampu memperbaiki kondisi sifat tanah yang disebabkan oleh
penetrasi akar ke dalam tanah, menciptakan habitat yang baik bagi
organisme dalam tanah, sebagai sumber bahan organik bagi tanah dan
memperkuat daya cengkeram terhadap tanah (Foth, 1995, Killham, 1994,
Agus et
al.,
2002). Perakaran tanaman juga membantu mengurangi air tanah yang
jenuh oleh air hujan, memantapkan agregasi tanah sehingga lebih
mendukung pertumbuhan tanaman dan mencegah erosi, sehingga tanah
tidak mudah hanyut akibat aliran permukaan, meningkatkan infiltrasi,
dan kapasitas memegang air.
Apakah
Vegetasi dapat Mengkonservasi Tanah dan Air?
Teknik
konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara vegetatif dalam
bentuk pengelolaan tanaman berupa pohon atau semak, baik tanaman
tahunan maupun tanaman setahun dan rumput-rumputan. Teknologi
ini sering dipadukan dengan tindakan konservasi tanah dan air secara
pengelolaan.
Pengelolaan
tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan
tanah dan air karena memiliki sifat : (1) memelihara kestabilan
struktur tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi
tanah, (2) penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi
evaporasi, (3) disamping itu dapat meningkatkan aktifitas
mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah,
sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi.
Pengaruh
vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah: 1) Melindungi permukaan
tanah dari tumbukan air hujan (menurunkan kecepatan terminal dan
memperkecil diameter air hujan), 2) menurunkan kecepatan dan volume
air runoff, 3) menahan partikel-partikel tanah pada tempetnya melelui
sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan, dan 4) mempertahankan
kapasitas tanah dalam menyimpan air; dan 5) meningkatkan laju
infiltrasi dan perkolasi air dalam tanah.
Vegetasi
secara umum dapat mencegah erosi, namun setiap jenis tanaman dan
banyaknya tajuk terhadap erosi berbeda-beda. Pada tanaman yang rimbun
kemungkinan erosi lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh
jarang. Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi yaitu
intersepai air hujan oleh tanaman, mengurangi kecepatan aliran dan
energi perusak air serta meningkatkan efektivitas mikroorganisme yang
berperan dalam proses humifikasi. Juga dapat menigkatkan agregasi
dimana akar-akar tanaman dengan selaput koloidnya menyebabkan agregat
menjadi stabil dan pengaruh traspirasi dimana terjadi peningkatan
kehilangan air tanah melalui penguapan sehingga kemampuan menyerap
air meningkat.
Sruktur
tajuk taumbuhan pada suatu areal tertentu, jika berlapis dengan
tanaman penutup tanah dan serasah akan memberikan ketahanan berganda
terhadap pukulan butiran hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Menurut
Soemarwoto (1983) bahwa selain berfungsi menghalangi pukulan
langsung air hujan kepermukaan tanah, vegetasi penutup lahan juga
menambah kandungan bahan organik tanah yang meningkatkan resistensi
terhadap erosi yang terjadi. Selanjutnya, menurut Hardjowigeno
(1987), pencegahan erosi dapat berlangsung secara efektif ap[abila
paling sedikit 70 % permukaan lahan tertutup oleh vegetasi.
Pengaruh
vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi terjadi melalui (a)
intersepsi hujan oleh tajuk tumbuhan, (b) mengurangi laju aliran
permukaan dan gaya dispersinya, (c) pengaruh akar dalam peningkatan
granulasi dan porositas, (d) kegiatan biologi dalam tanah yang
memperbaiki porositas, dan efek transpirasi yang mengeringkan tanah.
Fungsi
lain vegetasi berupa tanaman kehutanan yang tak kalah pentingnya
yaitu memiliki nilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan
petani. Efek penutup tanah dapat dikelompokkan menjadi lima kategori
:
1.
Intersepsi terhadap curah hujan
2.
Mengurangi kecepatan run off
3.
Perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah.
4.
Mempengaruhi aktifitas mikro organisme yang berakibat pada
meninhkatkan porositas tanah.
5.
Transpirasi tanaman akan berpengaruh pada lengas tanah pada hari
berikutnya.
Hasil-hasil
penelitian oleh Kelman (1969) dalam Hamilton, et al. (1997) di Mount
APO Mindanau pada kemiringan 20% mengenai erosi pada berbagai penutup
tanah seperti pada Tabel 1.
Tabel
1. Pengaruh Penutup Tanah pada Erosi
No.
|
Penutup
Tanah
|
Erosi
Ton/ha/thn
|
Ratio
thd hutan primer
|
1
|
Primary
forest
|
0.09
|
1.0
|
2
|
Soft
wood grassland
|
0.13
|
1.4
|
3
|
Imperata
|
0.18
|
2.0
|
4
|
New
rice Kaingin
|
0.38
|
4.2
|
5
|
12
year old Kaingin
|
27.60
|
306.7
|
Erosi
meningkat secara eksponensial dengan berkurangnya penutupan tanah.
Pengelolaan tanaman penutup tanah secara intercropping dengan tanaman
pohon dapat mengurangi erosi. Tanaman penutup tanah dapar berupa:
Centrosema, Indegofera, Bahia grass, Guinea grass, Summer soy bean,
Rice straw mulch. Hasilnya menunjukkan bahwa Bahia grass, Guinea
grass dan Rice Straw mulch sangat efektif sekali untuk mencegah erosi
dan run off.
Pengaruh
berbagai penutup tanah, praktek-praktek pengelolaan penutup tanah dan
praktek konservasi terhadap erosi pada perkebunan pisang dengan
kemiringan yang cukup di Taiwan telah banyak ditel;iti oleh para
peneliti. Barier rumput atau jalur-jalur mulsa mengurangi run-off.
Tanpa adanya mulsa penutup tanah dengan indegofera atau bahia grass
adalah sangat efektif dalam mengurangi run-off dan erosi. Pemangkasan
selektif terhadap kelebatan pohon sebesar 40 % tidak menimbulkan
erosi yang berarti. Akan tetapi penebangan hutan dimana
pohon-pohonnya ditarik keluar akan menimbulkan erosi tanah
4.
Bagaimana Vegetasi Dapat Mengkonservasi Tanah dan Air?
Vegetasi
dapat berfungsi dalam konservasi tanah dan air karena ia memiliki
beberapa manfaat yang mendukung terciptanya pertanian berkelanjutan.
Vegetasi memeliki beberapa manfaat yang merupakan ciri pertanian
berkelanjutan seperti konservasi, reklamasi dan memiliki nilai
ekonomi yang tinggi.
4.1.
Aspek Konservasi
Aspek
konservasi berupa konservasi tanah dan air melalui peningkatan
infiltarasi, sehingga cadangan air tanah tersedia dan dapat mencegah
terjadinya erosi baik oleh air karena aliran permukaan, maupun akibat
angin dan salinasi. Secara
umum infiltarasi dipengaruhi oleh:
(1)
intensitas hujan atau irigasi,
(2)
kandungan lengas tanah, dan
(3)
faktor tanah.
Faktor
tanah merupakan sifat internal tanah dan sifat lain yang dipengaruhi
oleh cara pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah dapat mempengaruhi
struktur tanah, keadaan dan bentuk permukaan tanah serta keadaan
tanaman.
Penutupan
tanah dengan vegetasi dapat meningkatkan infiltrasi karena perakaran
tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah, disamping itu
juga mempengaruhi aktifitas mikroorganisme yang berakibat pada
meningkatkan porositas tanah (Harsono, 1995). Selanjutnya air masuk
melalui infiltrasi tetap tersimpan karena tertahan oleh tanaman
penutup di bawahnya atau sisa-sisa tanaman berupa daun yang sifatnya
memiliki penutupan yang rapat sehingga menekan evaporasi. Demikian
halnya dengan aspek konservasi tanah, vegetasi memiliki peranan
penting karena dapat mengurangi peranan hujan dalam proses terjadinya
erosi. Proses
terjadinya erosi oleh hujan sebagai berikut :
(1).
Pelepasan butiran tanah oleh hujan.
(2).
Transportasi oleh hujan
(3).
Pelepasan (penggerusan/scouring) oleh run off.
(4).
Transportasi oleh run off.
Usaha
konservasi tanah pada hakekatnya adalah pengendalian energi dari
akibat tetesan hujan maupun limpasan permukaan dalam proses
terjadinya erosi. Prinsip pengendalian energi ini dengan usaha :
1.
Melindungi
tanah dari pukulan air hujan (erosi percik), dengan tanaman penutup
tanah.
2.
Mengurangi kecepatan energi kinetik tetesan air hujan, dengan
tanaman pelindung, atau pelindung non-vegetatif lainnya.
3.
Mengurangi energi kinetik limpasan permukaan.
4.2.
Aspek Reklamasi.
Aspek
reklamasi berupa penambahan unsur hara dari proses dekomposisi bahan
organik, sehingga dapat memperbaiki ketersediaan hara. Kerusakan
lahan banyak diakibatkan oleh erosi berupa hilangnya tanah dengan
kandungan bahan organik dan hara yang sangat merugikan bagi tanaman.
Penurunan kandungan hara tanah dapat diperbaiki dengan menggunaan
pupuk, tetapi membutuhkan biaya yang besar. Namun dengan adanya
sisa-sisa tanaman yang telah mengalami perombakan secara ekstensif
dan tanah sampai perubahan lebih lanjut yang dikenal dengan humus
dapat memperbaiki kandungan Nitrogen, Kalium, Karbon, Pospor, Sulfur,
Calsium, dan Magnesium. Secara skematis, mekanisme pembentukan humus
dalam perombakan sisa-sisa tanaman dalam tanah. Humus mengabsorbsi
sejumlah besar air dan menunjukkan ciricirinya untuk mengembang dan
menyusut. Humus
merupakan faktor penting dalam pembentukan struktur tanah. Humus
mempunyai ciri-ciri fisik lain dan sifat fisikokimia yang menjadikan
humus merupakan unsur pokok tanah yang bernilai tinggi.
4.3.
Aspek Ekonomi.
Dimana
tanaman vegetasi penutup berupa tanaman agroforestry yang
dikembangkan memiliki kontribusi produksi yang nyata sehingga dapat
meningkatkan taraf kehidupan petani. Agroforestry memiliki fungsi
ekonomi bagi suatu masyarakat. Peran utama bagi petani bukan hanya
produksi bahan pangan melainkan juga sebagai sumber penghasil
pemasukan uang dan modal.
Pendapatan
petani dari system agroforestri umumnya dapat menutupi kebutuhan
sehari-hari dari hasil panen secara teratur seperti lateks, damar,
kopi, kayu manis dan lain-lain. Selain itu juga dapat membantu
menutupi pengeluaran tahunan dari hasil panen secara musiman seperti
buah-buahan, cengkeh, pala dan lain-lain. Komoditas lainnya berupa
kayu juga dapat menjadi sumber uang cukup besar meskipun tidak tetap,
dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan
mendadak. Meskipun tidak memungkinkan akumulasi modal secara cepat
dalam bentuk system-aset yang dapat segera diuangkan, namun
diverifikasi tanaman merupakan jaminan petani terhadap ancaman
kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan
pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga suatu
komoditas, spesies ini dapat dengan mudah ditelantarkan, hingga suatu
saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak
menyebabkan gangguan ekologi terhadap system ini, dan bahkan
komoditas tersebut akan tetap hidup dalam struktur kebun dan siap
untuk dipanen sewaktu-waktu. Sementara komoditas lainnya tetap akan
ada yang dapat dipanen, bahkan komoditas baru dapat diintroduksi
tanpa merombak system produksi yang ada.
5.
Untuk apa Vegetasi Dikembangkan pada Suatu DAS?
Teknologi
vegetatif sesuai untuk diterapkan pada suatu DAS dengan distribusi
debit sungai yang tidak seragam. Artinya
perbedaan antara debit puncak dan aliran dasar sangat besar.
Percobaan yang pernah dilakukan di Indonesia berupa membandingkan DAS
untuk pertanian, dengan satu 25 % wilayahnya dihutankan kembali, dan
yang lain lagi 100 % dihutankan kembali dengan Pinus
mercusii, Tectona gandis, Swetenia macrophylla dan
Eucalyptus
alba.
Hasil dilaporkan bahwa, daerah yang dihutankan kembali aliran
sungainya secara terus-menerus dalam musim kering yang besarnya 2,5
kali lipat dari aliran sungai yang berasal dari DAS untuk pertanian
(Hamilton, et
al.
1997). Hutan yang tidak terganggu merupakan penutup tanah yang baik
terhadap erosi. Sedimen yang tersuspensi pada 250 juta hektar hanya
terjadi sebesar 0,4 ton/ha/thn (Pauler dan Heady, 1981 dalam
Hamilton, et
al.
1997). Pada hutan sekunder sedimen hanya terjadi sebesar 1,19
ton/ha/thn. Anderson (1978), mengamati bahwa erosi meningkat sebagai
akibat hutan yang terbakar, sedimen terjadi sebesar 3,12 ton/ha/thn
atau 5-8 kali daripada hutan yang tidak terganggu di DAS Oregon USA.
Penebangan
hutan memicu erosi dan tanah longsor (sumber:
http://www.fotopedia.com/)
Pengelolaan
secara vegetatif merupakan salah satu teknologi konservasi tanah dan
air dalam rangka menuju pertanian berkelanjutan. Teknologi ini dapat
memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dan
penutupan lahan sehingga dapat meningkatkan infiltrasi dan mencegah
terjadinya erosi, memperbaiki hara tanah serta memiliki nilai
ekonomi. Teknologi ini tepat diterapkan pada suatu DAS dengan
distribusi aliran yang memiliki perbedaan yang cukup besar antara
volume aliran puncak dan aliran dasar. Karena dengan menghutankan
suatu DAS, maka aliran sungainya secara terus menerus dalam musim
kering besarnya mencapai 2,5 kali lipat dari aliran sungai yang
berasal dari DAS yang tidak berhutan.
Hutan
yang tidak terganggu merupakan penutup tanah yang baik terhadap
erosi. Sedimen yang tersuspensi pada 250 juta ha hanya terjadi
sebesar 0,4 ton/ha/thn. Namun pada hutan yang terbakar mengakibatkan
erosi meningkat, demikian halnya dengan sedimen terjadi sebesar 3,12
ton/ha/thn atau 5-8 kali daripada hutan yang tidak terganggu.
6.
Jenis-Jenis
Konservasi Tanah dan Air Secara Vegetatif
Teknik
konservasi tanah secara vegetatif yang akan diuraikan dalam monograf
ini adalah: penghutanan kembali (reforestation),
wanatani (agroforestry)
termasuk didalamnya adalah pertanaman lorong (alley
cropping),
pertanaman menurut strip (strip
cropping),
strip rumput (grass
strip)
barisan sisa tanaman, tanaman penutup tanah (cover
crop),
penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalah pergiliran tanaman
(crop
rotation),
tumpang sari (intercropping),
dan tumpang gilir (relay
cropping)
(Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Alley
cropping pada lahan miring dapat mengendalikan erosi dan limpasan
permukaan (sumber: http://www.agnet.org/)
Dalam
penerapannya, petani biasanya memodifikasi sendiri teknik-teknik
tersebut sesuai dengan keinginan dan lingkungan agroekosistemnya
sehingga teknik konservasi ini akan terus berkembang di lapangan.
Keuntungan yang didapat dari sistem vegetatif ini adalah kemudahan
dalam penerapannya, membantu melestarikan lingkungan, mencegah erosi
dan menahan aliran permukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari
pengembalian bahan organik tanaman, serta meningkatkan nilai tambah
bagi petani dari hasil sampingan tanaman konservasi tersebut.
Sistem
alley cropping antara pohon karet (double row) dan kopi. Pohon karet
juga berfungsi sebagai pohon naungan bagi tanaman kopi (sumber:
http://www.scielo.br/)
Radiasi
matahari yang tersedia bagi tanaman kopi dipengaruhi oleh jaraknya
dari pohon karet
Integrated
alley
cropping
bio-intensive garden
nzdl.org
Sistem
alley cropping terpadu (sumber: nzdl.org)
6.1.
Penghutanan Kembali
Penghutanan
kembali (reforestation)
secara umum dimaksudkan untuk mengembalikan dan memperbaiki kondisi
ekologi dan hidrologi suatu wilayah dengan tanaman pohon-pohonan.
Penghutanan kembali juga berpotensi untuk peningkatan kadar bahan
organik tanah dari serasah yang jauh di permukaan tanah dan sangat
mendukung kesuburan tanah. Penghutanan kembali biasanya dilakukan
pada lahan-lahan kritis yang diakibatkan oleh bencana alam misalnya
kebakaran, erosi, abrasi, tanah longsor, dan aktivitas manusia
seperti pertambangan, perladangan berpindah, dan penebangan hutan
(Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Hutan
mempunyai fungsi tata air yang unik karena mampu menyimpan air dan
meredam debit air pada saat musim penghujan dan menyediakan air
secara terkendali pada saat musim kemarau (sponge
effect).
Penghutanan kembali dengan maksud untuk mengembalikan fungsi tata
air, efektif dilakukan pada lahan dengan kedalaman tanah >3 m.
Tanah dengan kedalaman <3 m mempunyai aliran permukaan yang cukup
tinggi karena keterbatasan kapasitas tanah dalam menyimpan air (Agus
et
al.,
2002). Pengembalian fungsi hutan akan memakan waktu 20-50 tahun
sampai tajuk terbentuk sempurna. Jenis tanaman yang digunakan
sebaiknya berasal dari jenis yang mudah beradaptasi terhadap
lingkungan baru, cepat berkembang biak, mempunyai perakaran yang
kuat, dan kanopi yang rapat/rindang.
Penelitian
tentang kondisi biofisik lahan sangat penting untuk menentukan jenis
tanaman yang akan dipergunakan dengan tujuan penghutanan kembali
terutama untuk hutan monokultur. Beberapa tanaman tahunan mempunyai
intersepsi dan evaporasi yang tinggi sehingga akan banyak
mengkonsumsi air. Penelitian terhadap tanaman pinus (Pinus
merkusii)
yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor
dan Universitas Brawijaya/ Unibraw (Priyono dan Siswamartana, 2002),
menyimpulkan bahwa tanaman pinus akan aman jika ditanam pada daerah
yang mempunyai curah hujan di atas 2.000 mm/tahun. Pada daerah yang
mempunyai curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun disarankan agar penanaman
pinus dicampur dengan tanaman lain yang mempunyai intersepsi dan
evaporasi lebih rendah misalnya Puspa atau Agatis. Sedangkan untuk
daerah yang mempunyai curah hujan 1.500 mm/tahun atau kurang
disarankan untuk tidak menanam pinus karena akan menimbulkan
kekurangan (deficit)
air.
6.2.
Wanatani
Wanatani
(agroforestry)
adalah salah satu bentuk usaha konservasi tanah yang menggabungkan
antara tanaman pohonpohonan, atau tanaman tahunan dengan tanaman
komoditas lain yang ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian.
Penggunaan tanaman tahunan mampu mengurangi erosi lebih baik daripada
tanaman komoditas pertanian khususnya tanaman semusim. Tanaman
tahunan mempunyai luas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam
menahan energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah
dalam bentuk aliran batang (stemflow)
dan aliran tembus (throughfall)
tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu besar. Sedangkan tanaman
semusim mampu memberikan efek penutupan dan perlindungan tanah yang
baik dari butiran hujan yang mempunyai energi perusak. Penggabungan
keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan ganda baik dari tanaman
tahunan maupun dari tanaman semusim.
Sistem
hidrologi vegetasi pohon (sumber: http://adaptation.nrcan.gc.ca/ )
Penerapan
wanatani pada lahan dengan lereng curam atau agak curam mampu
mengurangi tingkat erosi dan memperbaiki kualitas tanah, dibandingkan
apabila lahan tersebut gundul atau hanya ditanami tanaman semusim.
Proporsi tanaman tahunan dan semusim yang ideal tergantung pada
kemiringan lahan dan sistem wanatani (Kasdi Subagyono, Setiari
Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Secara umum proporsi tanaman
tahunan makin banyak pada lereng yang semakin curam demikian juga
sebaliknya.
Tanaman
semusim memerlukan pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman yang
lebih intensif dibandingkan dengan tanaman tahunan. Pengolahan tanah
pada tanaman semusim biasanya dilakukan dengan cara mencangkul,
mengaduk tanah, maupun cara lain yang mengakibatkan hancurnya agregat
tanah, sehingga tanah mudah tererosi. Semakin besar kelerengan suatu
lahan, maka risiko erosi akibat pengolahan tanah juga semakin besar.
Penanaman
tanaman tahunan tidak memerlukan pengolahan tanah secara intensif.
Perakaran yang dalam dan penutupan tanah yang rapat mampu melindungi
tanah dari erosi. Tanaman tahunan yang dipilih sebaiknya dari jenis
yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani dari hasil buah maupun
kayunya. Selain dapat menghasilkan keuntungan dengan lebih cepat dan
lebih besar, wanatani ini juga merupakan sistem yang sangat baik
dalam mencegah erosi tanah.
Sistem
wanatani telah lama dikenal di masyarakat Indonesia dan berkembang
menjadi beberapa macam, yaitu pertanaman sela, pertanaman lorong,
talun hutan rakyat, kebun campuran, pekarangan, tanaman
pelindung/multistrata, dan silvopastural.
Sistem
agroforestry yang melibatkan beragam tipe tajuk tanaman, mampu
melindungi muka lahan dari ancaman erosi dan runoff (sumber:
http://madurugala.blogspot.com/)
(1).
Pertanaman sela
Pertanaman
sela adalah pertanaman campuran antara tanaman tahunan dengan tanaman
semusim. Sistem ini banyak dijumpai di daerah hutan atau kebun yang
dekat dengan lokasi permukiman. Tanaman sela juga banyak diterapkan
di daerah perkebunan, pekarangan rumah tangga maupun usaha pertanian
tanaman tahunan lainnya. Dari segi konservasi tanah, pertanaman sela
bertujuan untuk meningkatkan intersepsi dan intensitas penutupan
permukaan tanah terhadap terpaan butir-butir air hujan secara
langsung sehingga memperkecil risiko tererosi. Sebelum kanopi tanaman
tahunan menutupi tanah, lahan di antara tanaman tahunan tersebut
digunakan untuk tanaman semusim.
Di
beberapa wilayah hutan jati daerah Jawa Tengah, ketika pohon jati
masih pendek dan belum terbentuk kanopi, sebagian lahannya ditanami
dengan tanaman semusim berupa jagung, padi gogo, kedelai,
kacang-kacangan, dan empon-empon seperti jahe (Zingiber
officinale),
temulawak (Curcuma
xanthorrizha),
kencur (Kaemtoria
galanga),
kunir (Curcuma
longa),
dan laos (Alpinia
galanga).
Pilihan teknik konservasi ini sangat baik untuk diterapkan oleh
petani karena mampu memberikan nilai tambah bagi petani, mempertinggi
intensitas penutupan lahan, membantu perawatan tanaman tahunan dan
melindungi dari erosi (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang
Kurnia, 2003).
Penanaman
tanaman semusim bisa berkali-kali tergantung dari pertumbuhan tanaman
tahunan. Sebagai tanaman pupuk hijau sebaiknya dipilih dari tanaman
legum seperti Leucaena
leucocephala,
Glyricidia
sepium,
Cajanus
cajan,
Tephrosia
candida,
dan lain sebagainya. Jarak antara tanaman semusim dengan tanaman
tahunan secara periodik dilebarkan (lahan tanaman semusim semakin
sempit) dengan maksud untuk mencegah kompetisi hara, pengaruh
allelopati dari tanaman tahunan, dan kontak penyakit.
Interaksi
sinergistik antara pohon, tanaman semusim dan ternak dalam system
agroforestry (sumber: http://www.agnet.org/)
(2).
Pertanaman lorong
Sistem
pertanaman lorong atau alley
cropping adalah
suatu sistem dimana tanaman pagar pengontrol erosi berupa barisan
tanaman yang ditanam rapat mengikuti garis kontur, sehingga membentuk
lorong-lorong dan tanaman semusim berada di antara tanaman pagar .
Sistem ini sesuai untuk diterapkan pada lahan kering dengan
kelerengan 3-40%. Dari hasil penelitian Haryati et
al.
(1995) tentang sistem budi daya tanaman lorong di Ungaran pada tanah
Typic Eutropepts, dilaporkan bahwa sistem ini merupakan teknik
konservasi yang cukup murah dan efektif dalam mengendalikan erosi dan
aliran permukaan serta mampu mempertahankan produktivitas tanah.
Penanaman
tanaman pagar akan mengurangi 5-20% luas lahan efektif untuk budi
daya tanaman sehingga untuk tanaman pagar dipilih dari jenis tanaman
yang memenuhi persyaratan di bawah ini (Agus et
al.,
1999):
a.
Merupakan tanaman yang mampu mengembalikan unsur hara ke dalam
tanah, misalnya tanaman penambat nitrogen (N2) dari udara.
b.
Menghasilkan banyak bahan hijauan.
c.
Tahan terhadap pemangkasan dan dapat tumbuh kembali secara cepat
sesudah pemangkasan.
d.
Tingkat persaingan terhadap kebutuhan hara, air, sinar matahari dan
ruang tumbuh dengan tanaman lorong tidak begitu tinggi.
e.
Tidak bersifat alelopati (mengeluarkan zat beracun) bagi tanaman
utama.
f.
Sebaiknya mempunyai manfaat ganda seperti untuk pakan ternak, kayu
bakar, dan penghasil buah sehingga mudah diadopsi petani.
Sistem
pertanaman lorong (alley cropping) dengan barisan rangkap tanaman
pagarnya (sumber: http://www.greenstone.org/)
Alley
cropping dengan rumput dan/atau tanaman hijauan pakan perdu atau
pohon. Tanaman pagar yang memnghasilkan hijauan pakan (misalnya
Desmodium rensonii, Leucaena leucocephala, Gliricidia septum,
Flemingia congesta) ditanam menurut garis kontur dengan interval
tertentu. Alleys di antara tanaman pagar dapat ditanami rumput atau
hijauan pakan. Pemangkasan rumput dan hijauan digunakan untuk suplai
pakan ternak dengan metode cut-and-carry.
Karakteristik
tanaman pagar adalah
·
Mudah ditabnam dan tumbuh berkembang (dari bji atau stek)
·
Pertumbuhannya cepat
·
Kemampuannya coppicing bagus
·
Mampu ememfiksasi nitrogen
·
Perakarannya dalam dan multiguna (sumber pangan, kayu bakar dan
hijauan pakan, dll.)
Beberapa
jenis tanaman pagar:
·
Gliricidseptum
·
Flemingia congesta
·
Leucaena leucocephala
·
Desmodium rensonni Cassia spectabilis Calliandra calothyrsus
·
Desmanthus sp.
·
Beberapa jenis rumput seperti Pennisetum purpureum, Vetiveria
zizanoides, Panicum maximum dan Setaria sp.
Sistem
alley cropping yang emelibatkan aneka jenis tanaman legume (sumber:
http://www.greenstone.org/)
Karakteristik
pohon untuk tanaman pagar (sumber: http://www.fao.org/)
Penelitian-penelitian
tentang pertanaman lorong (Puslittanak, 1991) menyimpulkan, bahwa
sistem budi daya lorong merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan produktivitas lahan kering yang miskin hara dan
mempunyai KTK yang rendah. Hasil epenelitian Suwardjo et
al.
(1987) menunjukkan bahwa kandungan bahan organik tanah Podsolik di
Jambi, Sumatera meningkat dari 1,8% menjadi 2,2% setelah 1 tahun
ditanami dengan tanaman lorong Flemingia. Pada tahun kedua kandungan
bahan organik semakin bertambah dengan nilai 2,8%. Sistem pertanaman
lorong juga dapat mempertahankan sifat fisik tanah dan hasil tanaman
pangan dalam jangka panjang. Dari hasil kajiannya pada penerapan
pertanaman lorong (Alley
cropping)
di beberapa negara yang tergabung dalam ASIALAND
sloping land project yang
meliputi Indonesia, Phillipines, Laos dan Vietnam, Irawan (2002)
melaporkan bahwa alley
cropping mampu
mengurangi kehilangan hara akibat erosi senilai US $ 4,1-85,5/
ha/tahun.
Manfaat
ganda pohon sebagai tanaman pagar dalam sistem alley cropping
(sumber: http://www.winrock.org/fnrm/factnet/)
Flemingia
mempunyai kemampuan yang tinggi untuk tumbuh dan bertunas sehingga
menghasilkan hasil pangkasan yang cenderung terus meningkat. Hasil
pangkasan ini merupakan sumber bahan organik yang sangat penting.
Dari reklamasi yang dilaksanakan pada tahun 1970 dan evaluasinya pada
tahun 1984 pada tanah berskeletal vulkanik Gunung Merapi di Kali
Gesik, Jawa Tengah, Sukmana et
al. (1985)
melaporkan bahwa setelah 14 tahun direklamasi dengan Flemingia
congesta mampu
menghasilkan serasah (kering udara) sebanyak 5,6 t/ha. Biomassa ini
memberikan kontribusi terhadap peningkatan bahan organik tanah 2,65%
yang sebelum direklamasi tidak mengandung bahan organik. Dibandingkan
dengan vegetasi alami, Flemingia sangat besar kontribusinya dalam
peningkatan bahan organik tanah. Bahan organik ini sangat penting
dalam peningkatan
kapasitas tanah menahan air (water
holding capacity).
(3).
Talun / Hutan Rakyat
Talun
adalah lahan di luar wilayah permukiman penduduk yang ditanami aneka
tanaman tahunan (mixed
garden)
yang dapat diambil kayu maupun buahnya. Sistem ini tidak memerlukan
perawatan intensif dan hanya dibiarkan begitu saja sampai saatnya
panen. Karena tumbuh sendiri secara spontan, maka jarak tanam sering
tidak seragam, jenis tanaman sangat beragam dan kondisi umum lahan
seperti hutan alami. Ditinjau dari segi konservasi tanah, talun hutan
rakyat dengan tajuk multistrata yang rapat dapat mencegah erosi
secara maksimal juga secara umum mempunyai fungsi seperti hutan.
Hutan
rakyat
adalah hutan-hutan
yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas
tanah
milik atau tanah
adat; meskipun ada pula yang berada di atas tanah
negara atau kawasan hutan negara. Secara teknik, hutan-hutan
rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani;
yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan
pohon. Baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks
(agroforest)
yang sangat mirip strukturnya dengan hutan
alam.
Macam
Hutan Rakyat
Ada
beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya. Di antaranya:
- Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah.
Ada
banyak bentuk-bentuk peralihan atau gabungan, yakni model-model
pengelolaan hutan secara bermitra, misalnya antara
perusahaan-perusahaan kehutanan (Perhutani,
HPH, HPHTI) dengan warga masyarakat sekitar; atau juga antara
pengusaha-pengusaha perkebunan dengan petani di sekitarnya. Model
semacam ini, contohnya PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat),
biasanya juga tidak
digolongkan
sebagai hutan rakyat; terutama karena dominasi kepentingan pengusaha.
Produk-produk
Hutan Rakyat
Hutan
rakyat zaman sekarang telah banyak yang dikelola dengan orientasi
komersial, untuk
memenuhi kebutuhan pasar komoditas
hasil hutan. Tidak seperti pada masa lampau, utamanya sebelum tahun
1980an, di mana kebanyakan hutan rakyat berorientasi subsisten,
untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga petani sendiri. Pengelolaan
hutan rakyat secara komersial telah dimulai semenjak beberapa ratus
tahun yang silam, terutama dari wilayah-wilayah di luar Jawa.
Hutan-hutan --atau tepatnya, kebun-kebun rakyat dalam rupa hutan--
ini menghasilkan aneka komoditas perdagangan dengan nilai yang
beraneka ragam. Terutama hasil-hasil
hutan non-kayu
(HHNK). Beberapa contoh produk hutan-hutan rakyat dan wilayah
penghasilnya, di antaranya:
Getah
dan resin:
- Damar mata-kucing (Hopea spp., Shorea javanica); Sumatera Selatan dan Lampung, terutama Lampung Barat
Buah-buahan:
Rempah-rempah
lain:
- Aneka jahe-jahean (empon-empon); Jawa.
Kayu-kayuan:
- Jati (Tectona grandis); Jawa, terutama Gunungkidul di Yogyakarta, Wonogiri di Jawa Tengah, Pacitan di Jawa Timur, dan Kuningan serta Indramayu di Jawa Barat; juga di Muna, Sulawesi Tenggara
Lain-lain:
- Rotan (banyak jenis); Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi; terutama dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan
(4).
Kebun campuran
Kebun
campuran biasanya dirawat secara intensif oleh pemilik / pengelolanya
untuk mendapatkan beragam hasil ekonomis sepanjang tahun. Tanaman
yang ditanam adalah aneka jenis tanaman tahunan yang dimanfaatkan
hasil buah, daun, dan kayunya. Kadang-kadang juga ditanam secara
campuran dengan tanaman semusim. Apabila proporsi tanaman semusim
lebih besar daripada tanaman tahunan, maka lahan tersebut disebut
tegalan. Kebun campuran ini mampu mencegah erosi dengan baik karena
kondisi penutupan tanah yang rapat sehingga butiran air hujan tidak
langsung mengenai permukaan tanah. Kerapatan
tanaman juga mampu mengurangi laju aliran permukaan. Hasil tanaman
lain di luar tanaman semusim mampu mengurangi risiko akibat gagal
panen dan meningkatkan nilai tambah bagi petani.
(5).
Pekarangan
Pekarangan
adalah lahan di sekitar rumah dengan berbagai jenis tanaman semusim
dan tanaman tahunan. Lahan tersebut mempunyai manfaat tambahan bagi
keluarga petani, dan secara umum merupakan gambaran kemampuan suatu
keluarga dalam mendayagunakan potensi lahan secara optimal. Tanaman
yang umumnya ditanam di lahan pekarangan petani adalah ubi kayu,
sayuran, tanaman buah-buahan seperti tomat, pepaya, tanaman
obat-obatan seperti kunyit, temulawak, dan tanaman lain yang umumnya
bersifat subsisten.
(6).
Tanaman Pelindung
Tanaman
pelindung adalah tanaman tahunan yang ditanam di sela-sela tanaman
pokok tahunan. Tanaman pelindung ini dimaksudkan untuk mengurangi
intensitas penyinaran matahari, dan dapat melindungi tanaman pokok
dari bahaya erosi terutama ketika tanaman pokok masih muda. Tanaman
pelindung ini dapat dikelompokkan menjadi dua (Kasdi Subagyono,
Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003) , yaitu:
a.
Tanaman pelindung sejenis yang membentuk suatu sistem wanatani
sederhana (simple
agroforestry).
Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan satu jenis tanaman
pelindung misalnya: gamal (Gliricidia
sepium),
dadap (Erythrina
subumbrans),
lamtoro (Leucaena
leucocephala)
atau kayu manis (Cinnamomum
burmanii).
b.
Tanaman pelindung yang beraneka ragam dan membentuk wanatani kompleks
(complex
agroforestry atau
sistem multistrata). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi
dengan dua atau lebih tanaman pelindung misalnya: kemiri (Aleurites
muluccana),
jengkol (Pithecellobium
jiringa),
petai (Perkia
speciosa),
kayu manis, dadap, lamtoro, gamal, durian (Durio
zibethinus),
alpukat (Persea
americana),
nangka (Artocarpus
heterophyllus),
cempedak (Artocarpus
integer),
dan lain sebagainya.
Tajuk
tanaman yang bertingkat menyebabkan sistem ini menyerupai hutan, yang
mana hanya sebagian kecil air yang langsung menerpa permukaan tanah.
Produksi serasah yang banyak juga menjadi keuntungan tersendiri dari
sistem ini.
Pohon
naungan dan sekaligus pelindung dalam sistem wanatani (sumber:
electronic.districsides.com)
(7).
Silvopastural
Sistem
silvipastura sebenarnya adalah bentuk lain dari sistem tumpang sari,
tetapi yang ditanam di sela-sela tanaman tahunan bukan tanaman pangan
melainkan tanaman pakan ternak seperti rumput gajah (Pennisetum
purpureum),
rumput raja (Penniseitum
purpoides),
dan lain-lain (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia,
2003). Silvipastural umumnya berkembang di daerah yang mempunyai
banyak hewan ruminansia. Hasil kotoran hewan ternak tersebut dapat
dipergunakan sebagai pupuk kandang, sementara hasil hijauannya dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Sistem ini dapat dipakai
untuk mengembangkan peternakan sebagai komoditas unggulan di suatu
daerah.
Silvopastoral
systems are designed to produce a high-value timber component, while
providing short-term cash flow from the livestock component. The
interactions among timber, forage and livestock are managed
intensively to simultaneously produce timber commodities, a high
quality forage resource and efficient livestock production. (sumber:
http://www.unl.edu/nac/afnotes/sil-1/index.html)
(8).
Pagar hidup
Pagar
hidup adalah sistem pertanaman yang memanfaatkan tanaman sebagai
pagar untuk melindungi tanaman pokok. Manfaat tanaman pagar antara
lain adalah melindungi lahan dari bahaya erosi baik erosi air maupun
angin (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Tanaman
pagar sebaiknya tanaman yang mempunyai akar dalam dan kuat,
menghasilkan nilai tambah bagi petani baik dari hijauan, buah maupun
dari kayu bakarnya.
Untuk
tanaman pagar dapat dipilih jenis pohon yang berfungsi sebagai sumber
pakan ternak, jenis tanaman yang dapat menghasilkan kayu bakar, atau
jenis-jenis lain yang memiliki manfaat ganda. Tanaman-tanaman
tersebut ditanam dengan jarak yang rapat (< 10 cm). Karena tinggi
tanaman bisa mencapai 1,5 – 2 m maka pemangkasan sebaiknya
dilakukan 1-2 kali setahun (Agus et
al.,
1999).
Pohon
ditanam di tengah lahan sawah (sumber: flickr.com)
6.3.
Strip Rumput
Teknik
konservasi dengan strip rumput (grass
strip)
biasanya menggunakan rumput yang didatangkan dari luar areal lahan,
yang dikelola dan sengaja ditanam secara strip menurut garis kontur
untuk mengurangi aliran permukaan dan sebagai sumber pakan ternak.
Penelitian
yang dilakukan oleh Suhardjo et
al.
(1997), Abdurachman et
al.
(1982), dan Abujamin (1978), membuktikan bahwa untuk lahan dengan
lereng di bawah 20% sistem ini sangat efektif menahan partikel tanah
yang tererosi dan menahan aliran permukaan. Tetapi apabila lahan
mempunyai lereng di atas 20% dibutuhkan tindakan konservasi lainnya
seperti alley
cropping atau
teras bangku. Rumput yang ditanam sebaiknya dipilih dari jenis yang
berdaun vertikal sehingga tidak menghalangi kebutuhan sinar matahari
bagi tanaman pokok, tidak banyak membutuhkan ruangan untuk
pertumbuhan vegetatifnya, mempunyai perakaran kuat dan dalam, cepat
tumbuh, tidak menjadi pesaing terhadap kebutuhan hara tanaman pokok
dan mampu memperbaiki sifat tanah.
Penelitian
selama 4 tahun di Bogor (250 m dpl) yang dilakukan oleh Abujamin et
al.
(1983) menggunakan rumput bede (Brachiaria
decumbens)
sebagai strip selebar 0,5 m dan rumput bahia (Paspalum
notatum)
sebagai strip selebar 1 m pada lahan dengan lereng 15-22%,
menunjukkan bahwa penggunaan strip rumput dapat menekan tingkat erosi
dengan baik. Strip rumput bahia selebar 1 m mampu menekan erosi
sampai mendekati 0 t/ha pada tahun kedua setelah penanaman. Sedangkan
strip rumput bahia selebar 0,5 m membutuhkan waktu hampir 4 tahun
untuk dapat menekan erosi mendekati 0 t/ha. Aliran permukaan pada
strip rumput bahia tahun keempat 189 m3/ha (1,03% curah hujan), lebih
baik dibandingkan dengan strip rumput bede (760 m3/ha atau 4,16%
curah hujan) pada tahun yang sama.
Faktor
tumbuh tanaman rumput, jarak tanam dalam satu strip, dan jarak
antar-strip sangat menentukan efektifitas pengendalian erosi.
Penelitian terhadap efektifitas berbagai macam strip rumput yang
dilakukan Suhardjo et
al.
(1997),
menunjukkan bahwa tingkat erosi pada tahun pertama masih tinggi
karena rumput belum tumbuh optimal. Pertumbuhan rumput yang lebih
baik pada tahun kedua mampu menekan jumlah tanah tererosi antara
30-60% pada kemiringan di bawah 20%. Sedimen
yang tertahan lama kelamaan akan mendekati bentuk datar sehingga
menciptakan bidang teras alami. Abujamin
et
al.
(1983) melaporkan bahwa setelah 4 tahun (1976/1977 sampai dengan
1979/1980) strip rumput bahia menghasilkan teras alami hasil endapan
partikel tanah terangkut dengan ketinggian sekitar 25-30 cm,
sedangkan pada strip rumput bede sekitar 50-60 cm.
Strip
rumput di tepian saluran air (sumber: agry.purdue.edu)
Strip
rumput sangat bagus jika dikombinasikan dengan usaha peternakan yang
memanfaatkan hasil pangkasan rumputnya. Penelitian
yang dilakukan oleh Watung et
al. (2003)
dan Subagyono et
al. (2004)
di sub-DAS Babon, Ungaran, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa integrasi
penanaman rumput baik secara strip maupun ditanam pada sebagian
bidang olah dengan penggemukan sapi terbukti memberikan alternatif
yang dapat ditempuh untuk mewujudkan implementasi teknologi
konservasi secara berkelanjutan. Hasil pangkasan rumput dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak sedangkan kotoran ternak dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Di wilayah sentra produksi
peternakan, teknik ini mudah diadopsi oleh peternak. Walaupun tingkat
kebutuhan hijauan pakan ternak lebih besar daripada kontribusi pupuk
kandang ke lahan pertanian, kondisi ini dapat diatasi dengan
penanaman rumput secara khusus (padang rumput). Aspek keterjangkauan
lahan dari permukiman penduduk desa juga perlu dipertimbangkan karena
seringkali strip berupa pakan ternak tersebut dicuri. Kebutuhan
tenaga kerja dalam penerapan sistem strip rumput cukup efisien dan
lebih sedikit dibandingkan dengan sistem pertanaman lorong.
Untuk
lebih meningkatkan efektifitasnya dalam mengendalikan erosi dan
runoff, strip rumput dapat dikombinasikan dengan mulsa seresah atau
sisa panen. Selain bertujuan untuk menahan erosi, sistem ini juga
efektif dalam mempertahankan kelengasan tanah. Strip
rumput dapat dikombinasikan dengan teknik konservasi secara mekanis
seperti penerapan teras. Penanaman strip rumput di bibir teras sampai
tampingan teras menghasilkan pengurangan tingkat erosi 30-50%
dibandingkan bila strip rumput hanya ditanam di bibir teras saja.
Menurut
Suhardjo et
al.
(1997), pada tanah Inceptisols dengan curah hujan 1.441,8 mm/musim
tanam maupun Entisols dengan curah hujan 1.625,5 mm/musim tanam,
strip rumput yang ditanam di bibir teras saja ternyata masih
menghasilkan erosi yang tinggi yaitu 20 t/ha/musim tanam.
6.4.
Mulsa
Mulsa
adalah bahan-bahan (sisa tanaman, serasah, sampah, plastik atau
bahan-bahan lain) yang disebar atau menutup permukaan tanah untuk
melindungi tanah dari kehilangan air melalui evaporasi. Mulsa juga
dapat dimanfaatkan untuk melindungi permukan tanah dari pukulan
langsung butiran hujan sehingga mengurangi terjadinya erosi percik
(splash
erosion),
selain mengurangi laju dan volume limpasan permukaan. Bahan mulsa
yang sudah melapuk akan menambah kandungan bahan organik tanah dan
hara. Mulsa mampu menjaga stabilitas suhu tanah pada kondisi yang
baik untuk aktivitas mikroorganisma. Relatif rendahnya evaporasi,
berimplikasi pada stabilitas kelengasan tanah. Secara umum mulsa
berperan dalam perbaikan sifat fisik tanah (Kasdi Subagyono, Setiari
Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Pemanfaatan
mulsa di lahan pertanian juga dimaksudkan untuk menekan pertumbuhan
gulma.
Strip
vetiver dan mulsa untuk mencegah erosi di lahan pertanaman jagung
(Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Mulsa
sisa tanaman atau bahan-bahan lain dari tanaman yang berfungsi untuk
konservasi tanah dan air diuraikan. Peran mulsa dalam menekan laju
erosi sangat ditentukan oleh bahan mulsa, persentase penutupan tanah,
tebal lapisan mulsa, dan daya tahan mulsa terhadap dekomposisi
(Abdurachman dan Sutono, 2002). Menurut Suwardjo et
al.
(1989), dalam jangka panjang olah tanah minimum dan pemberian mulsa
dapat menurunkan erosi hingga di bawah ambang batas yang dapat
diabaikan (tolerable
soil loss).
Sebaliknya pada tanah yang diolah dan tanpa diberi mulsa, erosi
terjadi semakin besar.
Hasil
penelitian telah membuktikan bahwa pemberian mulsa mampu meningkatkan
laju infiltrasi. Lal (1978) melaporkan bahwa pemberian mulsa sisa
tanaman sebanyak 4-6 t/ha mampu mempertahankan laju infiltrasi, serta
menurunkan kecepatan aliran permukaan dan erosi pada tingkat yang
masih dapat diabaikan.
Menurut
Kurnia et
al.
(1997), mulsa jerami ditambah dengan mulsa dari sisa tanaman sangat
efektif dalam mengurangi erosi serta mengurangi konsentrasi sedimen
dan hara yang hilang akibat erosi . Erfandi et
al. (1994)
melaporkan, bahwa hasil pangkasan rumput vetiver yang dijadikan mulsa
pada tahun ketiga penelitian sebanyak 5-6 t/ha mampu meningkatkan
kadar C dan N tanah masing-masing sebesar 37-70%. Dari penelitian
tentang mulsa dan pupuk hijau Sonosiso (Dalbergia
siso)
yang dilakukan oleh Haryati et
al.
(1990) di Desa Gondanglegi, Kabupaten Boyolali dapat disimpulkan
bahwa cara pemberian pupuk hijau dengan cara dimulsakan lebih
efisien/menguntungkan dibandingkan dengan cara pembenaman ke dalam
tanah.
Mulsa
jerami ditempatkan di antara barisan tanaman (sumber:
http://134.220.18.206/cs1965/shasea/)
Mulsa
yang diberikan sebaiknya berupa sisa tanaman yang tidak mudah
terdekomposisi misalnya jerami padi dan jagung dengan takaran yang
disarankan adalah 6 t/ha atau lebih. Bahan mulsa sebaiknya dari bahan
yang mudah diperoleh seperti sisa tanaman pada areal lahan
masing-masing petani sehingga dapat menghemat biaya, mempermudah
pembuangan limbah panen sekaligus mempertinggi produktivitas lahan.
6.5.
Sistem Penanaman Menurut Strip
Penanaman
menurut strip (strip
cropping)
adalah system pertanaman, dimana dalam satu bidang lahan ditanami
tanaman dengan jarak tanam tertentu dan berselang-seling dengan jenis
tanaman lainnya searah kontur. Misalnya penanaman jagung dalam satu
strip searah kontur dengan lebar strip 3-5 m atau 5-10 m tergantung
kemiringan lahan, di lereng bawahnya ditanam kacang tanah dengan
sistem sama dengan penanaman jagung, strip rumput atau tanaman
penutup tanah yang lain. Semakin curam lereng, maka strip yang dibuat
akan semakin sempit sehingga jenis tanaman yang berselang-seling
tampak lebih rapat. Sistem ini sangat efektif dalam mengurangi erosi
hingga 70-75% (FAO, 1976) dan vegetasi yang ditanam (dari jenis
legum) akan mampu memperbaiki sifat tanah walaupun terjadi
pengurangan luas areal tanaman utama sekitar 30-50% (Kasdi Subagyono,
Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Sistem
pertanaman menurut strip searah kontur (Troeh et
al.,
1980)
Sistem
ini biasa diterapkan di daerah dengan topografi berbukit sampai
bergunung dan biasanya dikombinasikan dengan teknik konservasi lain
seperti tanaman pagar, saluran pembuangan air, dan lain-lain.
Penanaman menurut strip merupakan usaha pengaturan tanaman sehingga
tidak memerlukan modal yang besar.
Contour Strip
Cropping pada lahan yang kemiringannya tidak terlalu curam (sumber:
http://www.takdangaralin.com)
Contour
farming pada lahan yang miring curam (sumber:
http://www.bensoninstitute.org)
6.6.
Barisan Sisa Tanaman
Pada
dasarnya, sistem barisan sisa tanaman (trash
line)
ini sama dengan sistem strip. Sistem ini adalah teknik konservasi
tanah yang bersifat sementara dimana gulma/rumput/sisa tanaman yang
disiangi ditumpuk berbaris. Untuk daerah berlereng biasanya ditumpuk
mengikuti garis kontur. Penumpukan
ini selain dapat megurangi erosi dan menahan laju aliran permukaan
juga bisa berfungsi sebagai mulsa. Ketersediaan bahan sisa tanaman
harus cukup banyak sehingga penumpukannya membentuk struktur yang
lebih kuat. Sisa tanaman tersebut lemah dalam menahan gaya erosi air
dan akan cepat terdekomposisi sehingga mudah hanyut. Penggunaan
kayu-kayu pancang diperlukan untuk memperkuat barisan sisa tanaman
ini. Sistem ini cukup bagus untuk mempertahankan ketersediaan hara
melalui dekomposisi bahan organik dan melindungi tanah dari bahaya
erosi sampai umur tanaman <5 bulan (Dariah et
al.,
1998).
Barisan
sisa tanaman tidak memerlukan banyak tenaga kerja. Untuk pembuatan
barisan sisa tanaman hanya memerlukan antara 10-30 HOK/ha (Agus et
al.,
1999). Pada tahun kedua perlu dibuat barisan sisa tanaman yang baru.
6.7.
Tanaman Penutup Tanah
Tanaman
penutup tanah (cover
crop)
adalah tanaman yang biasa ditanam pada lahan kering dan dapat menutup
seluruh permukaan tanah. Tanaman yang dipilih sebagai tanaman penutup
tanah umumnya tanaman semusim/tahunan dari jenis legum yang mampu
tumbuh dengan cepat, tahan kekeringan, dapat memperbaiki sifat tanah
(fisik, kimia, dan biologi) dan menghasilkan umbi, buah, dan daun.
Menurut Lal (1978), tanaman penutup tanah mampu meningkatkan laju
infiltrasi. Laju infiltrasi pada tanah bera (bare
soil)
atau belum ditanami, tanah bera alami (natural
fallow),
tanah yang ditanami Paspalum
notatum, Stylosanthes gracilis, Bracharia ruziensis, Pueraria
phaseoloides, Centrocema pubescens,
dan Psophocarpus
palustris masing-masing
adalah 6; 7,5; 8; 18; 21; 25; dan 33 cm/jam, sedangkan kumulatif
infiltrasi pada masing-masing perlakuan juga beragam.
Tanaman
penutup tanah dibedakan menjadi empat (Agus et
al.,
1999), yaitu: (1) tanaman penutup tanah rendah seperti centrosema
(Centrosema
pubescens),
pueraria (Pueraria
javanica)
dan benguk (Mucuna
sp.);
(2) tanaman penutup tanah sedang seperti lamtoro (Leucaena
leucocephala)
dan gamal (Gliricidia
sepium);
(3) tanaman penutup tanah tinggi seperti sengon (Periserianthes
falcataria);
dan (4) belukar lokal (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang
Kurnia, 2003).
Tanaman
penutup tanah rendah, dapat ditanam bersama tanaman pokok maupun
menjelang tanaman pokok ditanam. Tanaman penutup tanah sedang dan
tinggi pada dasarnya seperti tanaman sela dimana tanaman pokok
ditanam di sela-sela tanaman penutup tanah. Dapat juga tanaman pokok
ditanam setelah tanaman penutup tanah dipanen.
Tanaman
penutup tanah berupa legume menjalar ditanam di antara residu (sisa
panen) tanaman sebelumnya (sumber: http://www.uhdp.org/)
Tanaman
penutup tanah dimaksudkan untuk menambah penghasilan petani dari
hasil panennya, selain itu juga untuk memperbaiki sifat tanah karena
mampu menambat N dari udara dan sisa tanamannya dapat dijadikan
sumber bahan organik. Sebagai contoh tanaman penutup tanah dari jenis
legum seperti Mucuna
sp.
sangat besar kontribusinya dalam memperbaiki produktivitas tanah.
Selain mampu mengurangi pengaruh keracunan Al pada tanaman, Mucuna
sp.
juga merupakan sumber unsur hara bagi tanaman. Kandungan hara Mucuna
sp.
sebagai berikut: N=2,32%; P=0,20%; dan K=1,97% (Adiningsih dan
Mulyadi, 1992). Ini berarti bahwa setiap pengembalian 1 t biomassa
kering Mucuna
sp.
sebagai mulsa, maka akan diperoleh sekitar 23 kg N; 2 kg P dan 20 kg
K yang setara dengan 52 kg urea; 10 kg TSP, dan 39 kg KCl. Hasil ini
jelas akan memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi petani dalam
memenuhi kebutuhan lahannya terhadap pupuk.
6.8.
Penyiangan parsial
Penyiangan
parsial merupakan teknik dimana lahan tidak disiangi seluruhnya yaitu
dengan cara menyisakan sebagian rumput alami maupun tanaman penutup
tanah (lebar sekitar 20-30 cm) sehingga di sekitar batang tanaman
pokok akan bersih dari gulma (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan
Undang Kurnia, 2003). Tanaman penutup tanah yang tidak disiangi akan
berfungsi sebagai penahan erosi. Pada dasarnya teknik ini menyerupai
strip rumput dimana vegetasi gulma mampu menahan aliran permukaan dan
mengendapkan material terangkut. Hasil tanaman yang disiangi
dikembalikan ke lahan atau ditumpuk sebagai barisan sisa tanaman
sehingga dapat menambah bahan organik bagi tanah dan memperbaiki
sifat tanah.
Teknik
penyiangan yang termasuk dalam penyiangan parsial adalah:
(1).
Strip
tumbuhan alami (Natural
Vegetative Strips =
NVS)
Pada
dasarnya teknik ini adalah menyisakan sebagian lahan yang tidak
disiangi dan tidak ditanami sehingga rumput alami tumbuh membentuk
strip yang kurang lebih sejajar dengan garis kontur. Teknik
ini banyak diterapkan untuk tanaman semusim dan sudah berkembang di
Mindanao Utara, Filipina (Agus et
al.,
2002). Meskipun teknik ini efektif mengurangi erosi, tetapi teknik
ini juga mengurangi areal produktif lahan pertanian sekitar 5-15%.
Strip
vegetasi alamiah untuk mengendalikan erosi, limpasan permukaan dan
kesuburan tanah (sumber: lakesuperiorstreams.org)
(2).
Penyiangan
sekeliling batang tanaman pokok
Teknik
ini dapat diterapkan pada penyiangan dimana tanah tertutupi oleh
gulma rumput maupun tanaman penutup tanah lain yang sengaja ditanam.
Penyiangan dilakukan di sekeliling batang tanaman pokok dengan
diameter sekitar 120 cm (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan
Undang Kurnia, 2003).
Dengan
memanfatkan teknik penyiangan ini pada areal tanaman kopi umur satu
tahun dengan kemiringan lereng 60% dan curah hujan sebesar 1.338 mm
(selama 6 bulan dari tanggal 1 Mei sampai 30 Oktober 1980) tingkat
aliran permukaan hanya sebesar 1,8% dari curah hujan dan erosi
sebesar 1,9 t/ha. Sedangkan pada tanaman kopi umur 3 tahun dengan
lereng 62-63% dan umur 16 tahun dengan kelerengan 46-49%, curah hujan
yang sama menghasilkan aliran permukaan berturut-turut sebesar 3,4%
dan 6,3% dari jumlah curah hujan dan erosi yang dihasilkan
berturut-turut sebesar 1,6 dan 1,3 t/ha (Gintings, 1982 dalam
Agus
et
al,
2002). Penyiangan sekeliling batang tanaman pokok ini juga
dimaksudkan, untuk mencegah hama dan penyakit menyerang tanaman pokok
dengan tetap memelihara keberadaan tanaman penutup tanah.
6.9.
Penerapan Pola Tanam
Pola
tanam adalah sistem pengaturan waktu tanam dan jenis tanaman sesuai
dengan iklim, kesesuaian tanah dengan jenis tanaman, luas lahan,
ketersediaan tenaga, modal, dan pemasaran. Pola tanam berfungsi
meningkatkan intensitas penutupan tanah dan mengurangi terjadinya
erosi. Biasanya petani sudah mempunyai pengetahuan tentang pola tanam
yang cocok dengan keadaan biofisik dan sosial ekonomi keluarganya
berdasarkan pengalaman dan kebiasaan pendahulunya. Pengalaman
menunjukkan bahwa dalam suatu usaha tani, erosi masih terjadi.
Pemilihan pola tanam yang tepat dapat meningkatkan keuntungan bagi
petani dan meningkatkan penutupan tanah sehingga erosi dapat
dikurangi. Misalnya penanaman padi gogo yang disisipi jagung pada
awal musim hujan, setelah panen disusul penanaman kedelai dan pada
saat bera ditanami benguk (Mucuna
sp.).
Jenis tanaman dapat lebih bervariasi tergantung keinginan petani dan
daya dukung lahannya (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang
Kurnia, 2003).
Pertanaman
majemuk yang merupakan salah satu bagian dalam pola tanam pada
dasarnya merupakan sistem dimana satu bidang olah ditanami lebih dari
satu jenis tanaman pangan. Misalnya dalam satu bidang olah ditanami
sekaligus tanaman jagung, padi gogo, mukuna (benguk), dan kedelai.
Sistem ini bertujuan untuk mempertinggi intensitas penggunaan lahan,
dan dapat mengurangi risiko gagal panen untuk salah satu tanaman,
meningkatkan nilai tambah bagi petani dan juga termasuk tindakan
pengendalian hama dan pengendalian erosi. Pada tahun 1974, hasil
penelitian IRRI membuktikan bahwa populasi hama penggerek jagung
(Ostrinia
nubilalis)
pada penanaman tumpang sari antara jagung dan kacang tanah berada
dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah populasi
hama tersebut pada saat jagung ditanam secara monokultur.
Dengan
penerapan pertanaman majemuk, penutupan tanah akan lebih rapat
sehingga mampu melindungi tanah dari pukulan air hujan secara
langsung dan menahan aliran permukaan. Sistem pertanaman yang
termasuk sistem pertanaman majemuk adalah sistem pergiliran tanaman
(crop
rotation),
tumpang sari (inter
cropping),
dan tumpang gilir (relay
cropping).
(1).
Pergiliran tanaman
Pergiliran
tanaman (crop
rotation)
adalah sistem bercocok tanam dimana sebidang lahan ditanami dengan
beberapa jenis tanaman secara bergantian. Tujuan utama dari sistem
ini adalah untuk memutuskan siklus hama dan penyakit tanaman dan
untuk meragamkan hasil tanaman. Pergantian tanaman ada yang dilakukan
secara intensif dimana setelah panen tanaman pertama kemudian
langsung ditanami tanaman kedua dan ada pula yang dibatasi periode
bera. Daerah yang memiliki musim kering (MK) <4 bulan sangat baik
untuk menerapkan sistem ini (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan
Undang Kurnia, 2003).
Secara
umum ternyata erosi pada tanah Tropaqualfs dipengarujhi oleh pola
pergiliran tanaman. Penggunaan sistem pergiliran tanaman intensif
secara berurutan, antara tanaman pertama yang disusul tanaman kedua
dan seterusnya mampu menekan erosi secara nyata dibandingkan lahan
yang hanya diolah tanpa ditanami. Pengaruh nyata tersebut dihasilkan
dari fungsi tanaman sebagai pengikat tanah (nilai C koefisien tanaman
= 0,371) serta penambahan bahan organik dari sisa tanaman tersebut
sebagai mulsa dan pembenah tanah sehingga tahan terhadap erosi.
Penggunaan sistem ini disarankan untuk tetap menggunakan pupuk dan
teknik konservasi tanah, sehingga hasil tanaman dapat maksimal dan
lahan yang dipergunakan dapat terjaga produktivitasnya. Dari segi
konservasi tanah, pergiliran tanaman memberikan peluang untuk
mempertahankan penutupan tanah, karena tanaman kedua ditanam setelah
tanaman pertama dipanen. Demikian
seterusnya, sehingga sepanjang tahun intensitas penutupan tanah
senantiasa dipertahankan. Kondisi ini akan mengurangi risiko tanah
tererosi akibat terpaan butir-butir air hujan dan aliran permukaan.
The
rotation of crops is not only necessary to offer a diverse "diet"
to the soil micro organisms, but as they root at different soil
depths, they are capable of exploring different soil layers for
nutrients. Nutrients that have been leached to deeper layers and that
are no longer available for the commercial crop, can be "recycled"
by the crops in rotation. This way the rotation crops function as
biological pumps. Furthermore, a diversity of crops in rotation leads
to a diverse soil flora and fauna, as the roots excrete different
organic substances that attract different types of bacteria and
fungi, which in turn, play an important role in the transformation of
these substances into plant available nutrients. Crop rotation also
has an important phytosanitary function as it prevents the carry over
of crop-specific pests and diseases from one crop to the next via
crop residues.
Efek
Rotasi Tanaman a.l.:
- Diversitas yang lebih tinggi dalam produksi tanaman, sehingga gizi bagi manusia dan ternak juga lebih beragam.
- Reduksi gangguan hama, penyakit dan gulma.
- Lebih banyaknya ragam biopores dalam tanah yang diciptakan oelh beragam akar tanaman (beragam bentuk, ukuran dan kedalaman akar).
- Lebih baiknya distribusi air dan hara dalam profil tanah.
- Exploration for nutrients and water of diverse strata of the soil profile by roots of many different plant species resulting in a greater use of the available nutrients and water.
- Increased nitrogen fixation through certain plant-soil biota symbionts and improved balance of N/P/K from both organic and mineral sources.
- Peningkatan pembentukan humus.
Pola
pergiliran (rotasi) tanaman dalam sehatun untuk menjaga kesuburan
tanah (sumber: http://www.fao.org/ag/ca/1b.html)
(2).
Tumpang sari
Tumpang
sari (intercropping)
adalah sistem bercocok tanam dengan menggunakan dua atau lebih jenis
tanaman yang ditanam serentak/bersamaan pada sebidang tanah. Sistem
tumpang sari sebagian besar dikelola pada pertanian lahan kering yang
hanya menggantungkan air hujan sebagai sumber air utama. Sistem
tumpang sari adalah salah satu usaha konservasi tanah yang efektif
dalam memanfaatkan luas lahan. Tanaman
yang ditanam dapat berupa jagung dengan kacang tanah, jagung dengan
kedelai, dan sebagainya. Tanaman tersebut dapat berupa tanaman
penambat nitrogen, berperakaran dalam maupun dangkal yang pada
prinsipnya saling menguntungkan (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto,
dan Undang Kurnia, 2003).
Kerapatan
penutupan tanah akan sangat menguntungkan untuk pencegahan erosi,
mempertahankan kadar lengas tanah karena evaporasi terhambat,
memperbaiki kondisi tanah karena aktivitas perakaran mempertinggi
bahan organik tanah. Hasil ganda yang diperoleh dalam satu luasan
lahan dapat meningkatkan pendapatan petani. Setelah tanaman dalam
tumpang sari tersebut dipanen sebaiknya tanah langsung ditanami
dengan tanaman pangan lain ataupun tanaman penutup tanah yang mampu
tumbuh cepat untuk melindungi tanah, sehingga erosi dapat dikurangi.
Tumpangsari
pepaya dengan kacang-kacangan (sumber:
http://koropedang.multiply.com/journal/item/20/Tumpangsari_)
(3).
Tumpang gilir
Tumpang
gilir (relay
cropping)
adalah cara bercocok tanam dimana satu bidang lahan ditanami dengan
dua atau lebih jenis tanaman dengan pengaturan waktu panen dan tanam.
Pada sistem ini, tanaman kedua ditanam menjelang panen tanaman musim
pertama. Contohnya adalah tumpang gilir antara tanaman jagung yang
ditanam pada awal musim hujan dan kacang tanah yang ditanam beberapa
minggu sebelum panen jagung. Sistem ini diterapkan untuk mempertinggi
intensitas penggunaan lahan. Penanaman tanaman kedua sebelum tanaman
pertama dipanen dimaksudkan untuk mempercepat penanamannya dan masih
mendapatkan air hujan yang cukup untuk pertumbuhan dan produksinya.
Tanaman pertama tidak terlalu terpengaruh akibat kompetisi tanaman
kedua karena tanaman pertama telah melewati fase pertumbuhan
vegetatifnya. Begitu pula dengan tanaman kedua yang mendapatkan air
dan hara yang cukup sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan
vegetatifnya (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia,
2003).
Dari
segi konservasi, penutupan tanah yang rapat pada tumpang gilir
mempunyai pengaruh yang cukup baik dalam menahan erosi. Penerapan
teknik ini perlu diiringi dengan penerapan teknik konservasi tanah
yang lain seperti penambahan bahan organik, penutup tanah dan jika
perlu diterapkan tindakan sipil teknis. Mengingat intensitas tanaman
yang tinggi, pemupukan juga perlu dilaksanakan. Penambahan sisa
tanaman yang dijadikan mulsa akan mengoptimalkan kemampuan tanah
dalam menahan erosi selain menyediakan kebutuhan tanaman akan hara.
Pola tanam yang diintroduksikan harus mampu meningkatkan efektivitas
penggunaan lahan dan penggunaan air melalui pertimbangan biofisik
lahan dan sosial ekonomi suatu wilayah. Perbedaan
pola tanam menghasilkan komoditas serta intensitas pertanaman yang
berbeda. Pola tanam juga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan hara terutama jika pola tanam yang diintroduksi mencakup
tanaman-tanaman dengan kedalaman perakaran yang berbeda.
Pola
tanam dengan mempertimbangkan kondisi iklim dapat disajikan sebagai
berikut (Agus et
al.,
1999):
a.
Bila bulan kering dalam satu tahun tidak ada atau hanya satu bulan,
dapat dilakukan pertanaman sepanjang tahun.
b.
Bila bulan kering 2-3 bulan setahun, dapat dilakukan pertanaman
sepanjang tahun tetapi dengan perencanaan lebih hati-hati terhadap
teknik konservasi tanahnya, pemeliharaan, pemupukan, dan
pemanenannya.
c.
Bila bulan kering 4-6 bulan setahun, dapat dilakukan dua kali
penanaman dengan tumpang gilir.
d.
Bila bulan kering 7-9 bulan setahun, pertanaman dapat dilakukan
sekali, selebihnya ditanami tanaman penutup tanah.
e.
Bila bulan kering sepanjang tahun, daerah tersebut tidak cocok untuk
tanaman pangan bila tanpa irigasi atau sistem pemanenan air.
Pola
tanam dalam setahun yang melibatkan padi dan palawija. Padi merupakan
tanaman serealia utama, dan tanaman lainnya juga digunakan dalam pola
tanam dengan anggapan untuk meningkatkan produksi hijauan pakan
ternak.
Tanaman palawija meliputi cowpeas, maize, groundnut, pigeon pea,
sorghum dan ubijalar. Kriteria pemilihan tanaman sela adalah:
- Jenis ternak yang dipelihara.
- Komplementaritas tanaman pangan dan tanaman pakan.
- Potensi menghasilkan hijauan dan biomasa residu (seresah)
- Promosi kesuburan tanah.
- Tahan kekeringan dan musim kering yang panjang.
- Tahan naungan pada lahan kering.
- Kebutuhan sumberdaya.
Penelitian
tentang karakteristik curah hujan, karakteristik tanah, metode
pemupukan, varietas unggul, pengendalian hama dan penyakit, pemasaran
maupun sosial dan ekonomi pedesaan sangat diperlukan dalam menentukan
pola tanam di suatu wilayah dan keberhasilan penerapannya oleh
petani. Penerapan pola tanam tidak dapat dipisahkan dengan
karakteristik curah hujan, karena tiap-tiap tanaman memiliki respon
yang berbeda terhadap ketersediaan air. Karena distribusi curah hujan
tidak merata sepanjang tahun, maka model pola tanam yang didasari
dengan distribusi curah hujan akan memberikan hasil yang lebih baik.
Salah satu model pola tanam yang diterapkan di DAS Jratunseluna
(P3HTA, 1988). Masing-masing adalah:
a.
Model A: kacang tanah tumpang sari dengan jagung disisipi oleh ubi
kayu dan diikuti oleh kacang tanah.
b.
Model B: kacang tanah tumpang sari dengan jagung disisipi oleh ubi
kayu dan diikuti oleh cabai.
c.
Model C: kacang tanah tumpang sari dengan jagung disisipi oleh ubi
kayu dan diikuti mentimun.
Hubungan
curah hujan dan hari hujan dan beberapa alternatif pola tanam di Desa
Kandangan, Semarang tahun 1986/1987 (P3HTA, 1988)
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurachman
A., Sutono, dan I. Juarsah. 1997.
Pengkayaan bahan organik tanah dalam upaya pelestarian usaha tani
lahan kering di DAS bagian hulu.hlm. 89-105 dalam
Prosiding
Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Makalah
Review. Cisarua-Bogor, 4-6 Maret 1997. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Abdurachman,
A., A. Barus, Undang Kurnia, dan Sudirman. 1985.
Peranan pola tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian
tanaman semusim. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 4:41-46.
Abdurachman,
A., dan S. Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi lahan
berlereng. hlm.103-145 dalam
Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Abdurachman,
A., S. Abujamin, dan Suwardjo. 1982. Beberapa cara konservasi tanah
pada areal pertanian rakyat. Disampaikan pada Pertemuan
Tahunan Perbaikan Rekomendasi Teknologi tgl. 13-15 April. Pusat
Penelitian Tanah, Bogor (Tidak dipublikasikan).
Abujamin,
S. 1978. Peranan rumput dalam usaha konservasi tanah. Seminar LP.
Tanah, 8 Juli 1978 (Tidak dipublikasikan).
Abujamin,
S., A. Adi, dan U. Kurnia. 1983. Strip rumput permanen sebagai salah
satu cara konservasi tanah. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 1: 16-20.
Adiningsih,
J.S. dan Mulyadi. 1992. Alternatif teknik rehabilitasi dan
pemanfaatan lahan alang-alang. hlm. 29-46 dalam
Prosiding
Seminar Lahan Alang-alang: Pemanfaatan Lahan Alang-alang untuk
Usahatani Berkelanjutan. Bogor,
1 Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Agus,
F., A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Tala’ohu, A Dariah, B.R.
Prawiradiputra, B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi
Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan
Reboisasi Pusat. Jakarta.
Agus,
F., A.Ng. Ginting, dan M. van Noordwidjk. 2002. Pilihan Teknologi
Agroforestri/Konservasi Tanah untuk Areal Pertanian Berbasis Kopi di
Sumberjaya, Lampung Barat. International
Centre for Research in Agroforestry, Bogor.
Agus,
F., A.Ng. Ginting, U. Kurnia, A. Abdurachman, and P. van der Poel.
1998. Soil erosion research in Indonesia: Past experience and future
direction. pp. 255-267. In
F.W.T.
Penning de Vries, F. Agus, and J. Kerr (Eds.).
Soil Erosion at Multiple Scales: Principles and Methods for Assessing
Causes and Impacts. CAB International, Wallingford, UK.
Anonim,
1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi tanah. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
Arsyad,
S. 1976. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Arsyad,
S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.
Bezkorowajnyi,
P.G.; Gordon, A.M.; McBride, R.A. 1993. The effect of cattle foot
traffic on soil compaction in a silvo-pastoral system. Agroforestry
Systems. 21: 1-10.
Clason,
T.R. 1995. Economic implications of silvipastures on southern pine
plantation. Agroforestry Systems. 19: 227-238.
Dariah,
A., S. Damanik, S.H. Tala'ohu, D. Erfandi, A. Rachman, dan N.L.
Nurida. 1998.
Studi teknik konservasi tanah pada lahan pertanaman akar wangi di
Kecamatan Semarang, Kabupaten Garut. hlm. 185-197 dalam
Prosiding
Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai: Alternatif dan Pendekatan Implementasi Teknologi
Konservasi Tanah. Bogor, 27-28 Oktober 1998. Sekretariat Tim
Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Bogor.
Erfandi,
D., Ai Dariah, dan H. Suwardjo. 1989. Pengaruh Alley cropping
terhadap erosi dan produktivitas tanah Haplothrox Citayam. hlm. 53-62
dalam
Prosiding
Pertemuan Teknis Penelitian Tanah Bidang Konservasi Tanah dan Air.
Bogor, 22-24 Agustus 1989. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Erfandi,
D., H. Suwardjo, dan O. Sopandi. 1994. Alternatif teknologi
penanggulangan lahan kritis akibat perladangan berpindah di Propinsi
Jambi. hlm. 1-10 dalam
Risalah
Hasil Penelitian Peningkatan Produktivitas dan Konservasi Tanah untuk
Mengatasi Masalah Perladangan Berpindah. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
FAO.
1976. Soil Conservation for Development Countries. Soil Bulletin No.
30.
Foth,
H.D. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Foth,
H.D., 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. (Fundamentals of Soil Science).
Gadjah Mada Univesity Press. Yogyakarta.
Hamilton,
L.S. dan P.N.King, 1997. Daerah
Aliran Sungai Hutan Tropika (Tropical Forested Watersheds). Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Harsono,
1995. Hand Out Erosi dan Sedimentasi. Program Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Haryati,
U., Achmad Rachman, dan A. Abdurachman. 1990.
Aplikasi mulsa dan pupuk hijau Sonosiso untuk pertanaman jagung pada
tanah Usthorthents di Gondanglegi. hlm. 1-8 dalam
Risalah
Pembahasan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi
Tanah. Tugu-Bogor,
11-13 Januari 1990. Proyek
Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (P3HTA), Salatiga,
Departemen Pertanian.
Haryati,
U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995.
Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman dengan
berbagai teknik konservasi pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran,
Jawa Tengah. Pembrit.
Penel. Tanah dan Pupuk 13: 40-50.
Irawan.
2002. Investment analysis of Alley cropping for sustainable farming
of sloping lands. p. 51-62. In
Proceedings
Management of Sloping Lands for Sustainable Agriculture Final Report
of Asialand Sloping. Land Project, Phase 4.
Jaindl,
R.G.; Sharrow, S.H. 1988. Oak/Douglas-fir/sheep: A three crop
silvopastoral system. Agroforestry Systems. 6: 147-152.
Kasdi
Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia. 2003. TEKNIK
KONSERVASI TANAH SECARA VEGETATIF. Seri
Monograf No. 1. Sumber Daya Tanah Indonesia. BALAI
PENELITIAN TANAH. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Killham,
K. 1994. Soil Ecology. Cambridge University Press.
Kurnia,
U., Ai Dariah, Suwarto, dan K. Subagyono. 1997. Degradasi lahan dan
konservasi tanah di Indonesia: Kendala dan pemecahannya. hlm. 27-45
dalam
Prosiding
Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan
Agroklimat: Makalah Review. Cisarua-Bogor,
4-6 Maret 1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Kurnia,
U., N. Sinukaban, F.G. Suratmo, H. Pawitan, dan H. Suwardjo, 1997.
Pengaruh teknik rehabilitasi lahan terhadap produktivitas tanah dan
kehilangan hara. Jurnal Tanah dan Iklim 15: 10-18.
Kurnia,
U., Sudirman, dan H. Kusnadi. 2002. Teknologi rehabilitasi dan
reklamasi lahan kering. hlm. 147-181 dalam
Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Lal,
R. 1978. Influence
of tillage methods and residue mulches on soil structure and
infiltration rate. p. 393-402. In
Emerson,
W.W., R.D. Bond, and A.R. Dexter (Eds.)
Modification of Soil Structure. John Willey & Sons. Chichester,
New York, Brisbane, Toronto.
Lewis,
C.E.; Burton, G.W.; Monson, W.G.; McCormick, W.C. 1983. Integration
of pines, pastures, and catte in south Georgia. Agroforestry Systems.
1: 277-297.
Mawardi,
M., 1991. Hand Out Hidrologi Pertanian. Program
Studi Mekanisasi Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
P3HTA.
1987. Penelitian Terapan Pertanian Lahan Kering dan Konservasi. hlm.
6. UACP-FSR.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
P3HTA.
1988. Laporan Tahunan 1986/1987. UACP-FSR. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Priyono,
N.S. dan Siswamartana S. 2002. Hutan Pinus dan Hasil Air. Pusat
Pengembangan Sumber Daya Hutan Perhutani, Cepu.
Puslittanak.
1991. Laporan Tahunan 1988/1989. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Rachman,
A., A. Abdurachman, Umi Haryati, dan Soleh Sukmana. 1990. Hasil
hijauan legum, panen tanaman pangan dan pembentukan teras dalam istem
pertanaman lorong. hlm. 19-25 dalam
Risalah
Pembahasan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi
Tanah. Tugu-Bogor,
11-13 Januari 1990. Proyek
Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (P3HTA), Salatiga.
Departemen Pertanian.
Rachman,
A., H. Suwardjo, R.L. Watung, dan H. Sembiring. 1989.
Efisiensi teras bangku dan teras gulud dalam pengendalian erosi. hlm.
11- 17 dalam
Risalah
Diskusi Ilmiah Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi
Tanah di Daerah Aliran Sungai. Batu-
Malang, 1-3 Maret 1989. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah
dan Air (P3HTA), Salatiga. Departemen
Pertanian.
Sharrow,
S.H.; Fletcher, R.A. 1995. Trees and pastures: 40 years of
agrosilvopastoral experience in western Oregon. In: Rietveld, W.J.,
tech. coord. Agroforestry and sustainable systems: Symposium
proceedings; 1994 August 7-10; Fort Collins, CO. General Technical
Report RM-GTR-261. Fort Collins, CO: U.S. Dept. of Agriculture,
Forest Service, Rocky Mountain Forest and Range Experiment Station:
47-52.
Sinukaban,
N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Lestari dengan Konservasi.
Faperta IPB. Bogor.
Sinukaban,
N., 2003. Bahan Kuliah Teknologi Pengelolaan DAS. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Subagyono,
K., T. Vadari, Sukristiyonubowo, R.L. Watung, and F. Agus. 2004. Land
Management for Controlling Soil Erosion at Micro catchment Scale in
Indonesia. p. 39-81. In
Maglinao,
A.R. and C. Valentin (Eds.)
Community-Based Land and Water Management Systems for Sustainable
Upland Development in Asia: MSEC Phase 2. 2003 Annual Report.
International Water management Institute (IWMI). Southeast Asia
Regional Office. Bangkok.
Thailand.
Suhardjo,
M., A. Abas Idjudin, dan Maswar. 1997. Evaluasi beberapa macam strip
rumput dalam usaha pengendalian erosi pada lahan kering berteras di
lereng perbukitan kritis D.I. Yogyakarta. hlm. 143-150 dalam
Prosiding
Seminar Rekayasa Teknologi Sistem Usahatani Konservasi. Bagian
Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis
Yogyakarta (YUADP Komponen-8). Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Sukirno,
1995. Hand Out Teknik Konservasi Tanah. Program Studi Teknik
Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sukmana,
S., H. Suwardjo, A. Abdurachman, and J. Dai. 1985. Prospect of
Flemingia
congesta Roxb.
for reclamation and conservation of volcanic skeletal soils. Pembrit.
Penel. Tanah dan Pupuk 4:50-54
Suwardjo,
A. Abdurachman, and Sofijah Abujamin. 1989. The use of crop residue
mulch to minimize tillage frequency. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk.
8: 31-37
Suwardjo,
H., Z. Kadir, dan A. Abdurachman. 1987.
Pengaruh cara pemanfaatan sisa tanaman terhdap kadar bahan organik
dan erosi pada tanah Podsolik Merah Kuning di Lampung. hlm. 409-424
dalam
Prosiding
Pertemuan Teknis Penelitian Tanah. Cipayung,
21-
Suwardjo.
1981. Peranan Sisa-Sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada
Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi
FPS IPB. Bogor.
Thomson,
L.M. 1957. Soil and Soil Fertility. Mc Graw-Hill Book Company Inc.
New York.
Troeh,
F.R., J.A. Hobbs, and R.L. Donahue. 1980. Soil and Water Conservation
for Productivity and Environmental Protection. Prentice-Hall, Inc.,
Englewood Cliffs, New Jersey. USA.
Watung,
R.L., T. Vadari, Sukristiyonubowo, Subiharta, and F. Agus. 2003.
Managing Soil Erosion in Kaligarang Catchment of Java, Indonesia.
Phase 1 Project Completion Report. International Water management
Institute (IWMI). Southeast Asia Regional Office. Bangkok. Thailand.
Wolters,
G.L. 1981. Timber thinning and prescribed burning as methods to
increase herbage in grazed and protected longleaf pine ranges. J.
Range Management. 34: 494-497.
1.
Pendahuluan
Erosi
tanah adalah peristiwa terangkutnya tanah dari satu tempat ke tempat
lain oleh air atau angin. Pada
dasarnya ada tiga proses penyebab erosi yaitu pelepasan (detachment)
partikel tanah, pengangkutan (transportation),
dan pengendapan (sedimentation).
Erosi menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas (top
soil)
dan unsur hara yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Erosi
yang disebabkan oleh air hujan merupakan penyebab utama degradasi
lahan di daerah tropis termasuk Indonesia. Tanah-tanah di daerah
berlereng mempunyai risiko tererosi yang lebih besar daripada tanah
di daerah datar. Selain tidak stabil akibat pengaruh kemiringan, air
hujan yang jatuh akan terusmenerus memukul permukaan tanah sehingga
memperbesar risiko erosi. Berbeda dengan daerah datar, selain massa
tanah dalam posisi stabil, air hujan yang jatuh tidak selamanya
memukul permukaan tanah karena dengan cepat akan terlindungi oleh
genangan air.
Tanah
yang hilang akibat proses erosi tersebut terangkut oleh air sehingga
menyebabkan pendangkalan saluran drainase termasuk parit, sungai, dan
danau. Erosi yang telah berlanjut menyebabkan rusaknya ekosistem
sehingga penanganannya akan memakan waktu lama dan biaya yang mahal.
Menurut Kurnia et
al.
(2002), kerugian yang harus ditanggung akibat degradasi lahan tanpa
tindakan rehabilitasi lahan mencapai Rp 291.715,- /ha, sedangkan
apabila lahan dikonservasi secara vegetatif, maka kerugian akan jauh
lebih rendah. Pencegahan dengan teknik konservasi yang tepat sangat
diperlukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor penyebab erosi.
Kondisi
sosial ekonomi dan sumber daya masyarakat juga menjadi pertimbangan
sehingga tindakan konservasi yang dipilih diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas lahan, menambah pendapatan petani serta
memperkecil risiko degradasi lahan. Pada dasarnya teknik konservasi
dibedakan menjadi tiga yaitu: (a) vegetatif; (b) mekanik; dan (c)
kimia. Teknik konservasi mekanik dan vegetatif telah banyak diteliti
dan dikembangkan. Namun mengingat teknik mekanik umumnya mahal, maka
teknik vegetatif berpotensi untuk lebih diterima oleh masyarakat.
Teknik konservasi tanah secara vegetatif mempunyai beberapa
keunggulan dibandingkan dengan teknik konservasi tanah secara mekanis
maupun kimia, antara lain karena penerapannya relatif mudah, biaya
yang dibutuhkan relatif murah, mampu menyediakan tambahan hara bagi
tanaman, menghasilkan hijauan pakan ternak, kayu, buah maupun hasil
tanaman lainnya. Hal tersebut melatarbelakangi pentingnya informasi
mengenai teknologi konservasi tanah secara vegetatif.
Dalam
rangka pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengelolaan lahan
harus menerapkan suatu teknologi yang berwawasan konservasi. Suatu
teknologi pengelolaan lahan yang dapat mewujudkan pembangunan
pertanian berkelanjutan bilama memiliki ciri seperti : dapat
meningkatkan pendapatan petani, komoditi yang diusahakan sesuai
dengan kondisi bio fisik lahan dan dapat diterima oleh pasar, tidak
mengakibatkan degradasi lahan karena laju erosi kecil, dan teknologi
tersebut dapat diterapkan oleh masyarakat.
Ada
beberapa teknologi untuk merehabilitasi lahan dalam kaitannya dengan
pembangunan yang berkelanjutan (Sinukaban, 2003) yaitu :
a. Agronomi
yang meliputi teknis agronomis seperti TOT, minimum tillage, countur
farming, mulsa, pergiliran tanaman (crop rotation), pengelolaan
residu tanaman, dll.
b. Vegetatif
berupa agroforestry, alley cropping, penanaman rumput.
c. Struktur/konstruksi
yaitu bangunan konservasi seperti teras, tanggul, cek dam, Saluran,
dll.
d. Manajemen,
berupa perubahan penggunaan lahan.
Tanah
dengan penutup tanah yang baik berupa vegetasi, mulsa residu tanaman
akan memperkecil erosi dan limpasan permukaan. Harsono
(1995), lahan tertutup dengan hutan, padang rumput dapat mengurangi
erosi hingga kurang dari 1% dibandingkan dengan tanah terbuka.
Permukaan tanah dengan penutupan yang baik dapat berdampak
terhadap :
o
Menyediakan cadangan air tanah
o
Memperbaiki/menstabilkan struktur tanah,
o
Meningkatkan kandungan hara tanah, sehingga lebih produktif
o
Mempertahankan kondisi tanah dan air.
o
Memperbaiki ekonomi petani.
Teknologi
vegetatif (penghutanan) sering dipilih karena selain dapat menurunkan
erosi dan sedimentasi di sungai-sungai juga memiliki nilai ekonomi
(tanaman produktif) serta dapat memulihkan tata air suatu DAS.
Erosi
adalah peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah,
batuan, dan partikel lainnya) akibat transportasi angin,
air
atau es,
karakteristik hujan,
creep
pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh
makhluk hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut
bio-erosi.
Erosi tidak sama dengan pelapukan akibat cuaca, yang mana merupakan
proses penghancuran mineral batuan dengan proses kimiawi maupun
fisik, atau gabungan keduanya. Erosi sebenarnya merupakan proses
alami yang mudah dikenali, namun di kebanyakan tempat kejadian ini
diperparah oleh aktivitas manusia
dalam tata guna lahan yang buruk, penggundulan hutan,
kegiatan pertambangan,
perkebunan
dan perladangan,
kegiatan konstruksi / pembangunan yang tidak tertata dengan baik dan
pembangunan jalan.
Tanah yang digunakan untuk menghasilkan tanaman pertanian biasanya
mengalami erosi yang jauh lebih besar dari tanah dengan vegetasi
alaminya. Alih
fungsi hutan menjadi ladang pertanian meningkatkan erosi, karena
struktur akar tanaman hutan yang kuat mengikat tanah digantikan
dengan struktur akar tanaman pertanian yang lebih lemah.
Bagaimanapun, praktek tata guna lahan yang maju dapat membatasi
erosi, menggunakan teknik semisal terrace-building,
praktek konservasi ladang dan penanaman pohon.
Dampak
dari erosi adalah menipisnya lapisan permukaan tanah
bagian atas, yang akan menyebabkan menurunnnya kemampuan lahan
(degradasi lahan). Akibat
lain dari erosi adalah menurunnya kemampuan tanah untuk meresapkan
air (infiltrasi). Penurunan kemampuan lahan meresapkan air
ke dalam lapisan tanah akan meningkatkan limpasan air permukaan yang
akan mengakibatkan banjir
di sungai.
Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh aliran permukaan pada
akhirnya akan mengendap di sungai (sedimentasi) yang selanjutnya
akibat tingginya sedimentasi akan mengakibatkan pendangkalan sungai
sehingga akan mempengaruhi kelancaran jalur pelayaran.
Erosi
dalam jumlah tertentu sebenarnya merupakan kejadian yang alami, dan
baik untuk ekosistem.
Misalnya, kerikil secara berkala turun ke elevasi yang lebih rendah
melalui angkutan air. erosi yang berlebih, tentunya dapat menyebabkan
masalah, semisal dalam hal sedimentasi, kerusakan ekosistem dan
kehilangan air secara serentak. Banyaknya
erosi tergantung berbagai faktor. Faktor Iklim, termasuk besarnya dan
intensitas hujan / presipitasi, rata-rata dan rentang suhu, begitu
pula musim, kecepatan angin, frekuensi badai. faktor geologi termasuk
tipe sedimen, tipe batuan, porositas dan permeabilitasnya, kemiringn
lahan. Faktor biologis termasuk tutupan vegetasi lahan,makhluk yang
tinggal di lahan tersebut dan tata guna lahan ooleh manusia.
Umumnya,
dengan ekosistem dan vegetasi yang sama, area dengan curah hujan
tinggi, frekuensi hujan tinggi, lebih sering kena angin atau badai
tentunya lebih terkena erosi. Batuan induk Sedimen yang kaya pasir
atau debu, terletak pada area dengan kemiringan yang curam, lebih
mudah tererosi, begitu pula area dengan batuan lapuk atau batuan
pecah. porositas dan permeabilitas sedimen atau batuan berdampak pada
kecepatan erosi, berkaitan dengan mudah tidaknya air meresap ke dalam
tanah. Jika air bergerak di bawah tanah, limpasan permukaan yang
terbentuk lebih sedikit, sehingga mengurangi erosi permukaan. Sedimen
yang mengandung banyak lempung cenderung lebih mudah bererosi
daripada pasir atau silt.
Faktor
yang paling sering berubah-ubah adalah jumlah dan tipe tutupan lahan.
pada hutan yang tak terjamah, minerla tanah dilindungi oleh lapisan
humus dan lapisan organik. kedua lapisan ini melindungi tanah dengan
meredam dampak tetesan hujan. lapisan-lapisan beserta serasah di
dasar hutan bersifat porus dan mudah menyerap air hujan. Biasanya,
hanya hujan-hujan yang lebat (kadang disertai angin ribut) saja yang
akan mengakibatkan limpasan di permukaan tanah dalam hutan. bila
Pepohonan dihilangkan akibat kebakaran atau penebangan, derajat
peresapan air menjadi tinggi dan erosi menjadi rendah. Kebakaran yang
parah dapat menyebabkan peningkatan erosi secara menonjol jika
diikuti denga hujan lebat.
2.
Konservasi Tanah dan Air
Konservasi
tanah adalah penempatan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang
sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan
syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah.
Pemakaian istilah konservasi tanah sering diikuti dengan istilah
konservasi air. Meskipun keduanya berbeda tetapi saling terkait.
Ketika mempelajari masalah konservasi sering menggunakan kedua sudut
pandang ilmu konservasi tanah dan konservasi air. Secara umum, tujuan
konservasi tanah adalah meningkatkan produktivitas lahan secara
maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya
pencegahan kerusakan tanah akibat erosi. Sasaran konservasi tanah
meliputi keseluruhan sumber daya lahan, yang mencakup kelestarian
produktivitas tanah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
mendukung keseimbangan ekosistem.
Penelitian
tentang konservasi tanah telah dirintis sejak zaman Belanda tahun
1911, tetapi baru mulai berkembang pada tahun 1970- an, dengan
berdirinya Bagian Konservasi Tanah dan Air, Lembaga Penelitian Tanah,
Bogor (sekarang menjadi Kelompok Peneliti Konservasi Tanah dan
Pengelolaan Air, Balai Penelitian Tanah). Penelitian-penelitian yang
dilakukan bertujuan untuk mengetahui proses erosi mulai dari
pengelupasan tanah, pengangkutan sampai pengendapan material
terangkut beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya serta akibat
yang ditimbulkannya. Selanjutnya dilakukan pula penelitian dasar
tentang teknik-teknik pencegahan erosi. Lahan-lahan yang diteliti
sebagian besar berupa lahan dengan sifat tanah yang buruk (agregat
yang tidak stabil, aerasi buruk, permeabilitas rendah dan infiltrasi
tanah rendah, serta hara tersedia bagi tanaman rendah) dan lahan
dengan kemiringan yang curam yang rawan terhadap erosi. Lahan dengan
bentuk dan sifat tanah seperti di atas mendominasi keberadaan lahan
kritis di Indonesia (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang
Kurnia, 2003).
Umumnya,
hasil-hasil penelitian yang telah dicapai mampu memberikan informasi
praktis dalam perencanaan teknik konservasi tanah walaupun masih
harus disempurnakan, karena sebagian besar teknologi konservasi
dihasilkan dari penelitian pada skala petak kecil. Prediksi erosi
pada petak kecil akan memberikan angka yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dari
penelitiannya di Ungaran, Jawa Tengah, Agus et
al.
(2002) melaporkan bahwa besarnya erosi pada skala tampung mikro
dengan penggunaan lahan berupa tumpang sari tanaman pangan semusim
adalah sekitar 20 t/ha/tahun, pada penggunaan lahan rambutan sekitar
1,9 t/ha/tahun, dan campuran antara rambutan dan semak sebesar 1,7
t/ha/tahun. Sedangkan hasil penelitian dari Haryati et
al. (1995)
pada skala petak memberikan data erosi yang tiga kali lebih besar
pada jenis tanah dan iklim yang tidak jauh berbeda.
Fenomena
tersebut sangat menarik dan dapat dipergunakan untuk membantu
menerangkan, bahwa ekstrapolasi langsung dari skala petak ke tampung
mikro dan ke sub-DAS hasilnya akan bias. Oleh karena itu dalam
beberapa tahun terakhir penelitian mengenai prediksi erosi dan
pengaruh penggunaan lahan terhadap erosi diarahkan pada skala DAS
mikro (Watung et
al.,
2003; Subagyono et
al.,
2004), dengan tujuan untuk mendapatkan angka prediksi erosi yang
mewakili kondisi lapangan yang sangat penting dalam penetapan
rekomendasi teknik konservasi.
Teknik
konservasi tanah di Indonesia diarahkan pada tiga prinsip utama yaitu
perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butirbutir hujan,
meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah seperti pemberian bahan
organik atau dengan cara meningkatkan penyimpanan air, dan mengurangi
laju aliran permukaan sehingga menghambat material tanah dan hara
terhanyut (Agus et
al.,
1999).
Manusia
mempunyai keterbatasan dalam mengendalikan erosi sehingga perlu
ditetapkan kriteria tertentu yang diperlukan dalam tindakan
konservasi tanah. Salah satu pertimbangan yang harus disertakan dalam
merancang teknik konservasi tanah adalah nilai batas erosi yang masih
dapat diabaikan (tolerable
soil loss).
Beberapa sifatb dan kondisi tanah yang erat kaitannya dengan erosi
adalah kedalaman tanah, permeabilitas lapisan bawah dan kondisi
substratum. Karena pembentukan tanah di Indonesia yang termasuk
daerah beriklim tropika basah diperkirakan dua kali lebih besar dari
daerah beriklim sedang, maka penetapan erosi yang dapat diabaikan
juga memperhatikan banyak faktor. Jika besarnya erosi pada tanah
dengan sifat-sifat tersebut lebih besar daripada angka erosi yang
masih dapat diabaikan, maka tindakan konservasi sangat diperlukan.
Ketiga
teknik konservasi tanah secara vegetatif, mekanis dan kimia pada
prinsipnya memiliki tujuan yang sama yaitu mengendalikan laju erosi,
namun efektifitas, persyaratan dan kelayakan untuk diterapkan sangat
berbeda. Oleh karena itu pemilihan teknik konservasi yang tepat
sangat diperlukan (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang
Kurnia, 2003).
Restorasi
lahan kering kritis di dataran tinggi dilakukan dengan cara
penghutanan kembali secara alamiah (sumber: http://www.snh.org.uk/
uplandpathwork/4.5.shtml)
3.
Teknik
Vegetatif
Teknik
konservasi tanah secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan
tanaman/vegetasi maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung
tanah dari erosi, penghambat laju aliran permukaan, peningkatan
kandungan lengas tanah, serta perbaikan sifat-sifat tanah, baik sifat
fisik, kimia maupun biologi (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan
Undang Kurnia, 2003). Pada dasarnya konservasi tanah secara vegetatif
adalah segala bentuk pemanfaatan tanaman ataupun sisa-sisa tanaman
untuk mengurangi erosi. Tanaman ataupun sisa-sisa tanaman berfungsi
sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air hujan maupun
terhadap daya angkut air aliran permukaan (runoff),
serta meningkatkan peresapan air ke dalam tanah.
Tajuk
tumbuhan berfungsi menahan laju butiran air hujan dan mengurangi
tenaga kinetik butiran air dan pelepasan partikel tanah sehingga
pukulan butiran air dapat dikurangi. Air yang masuk di sela-sela
kanopi (interception)
sebagian akan kembali ke atmosfer akibat evaporasi. Fungsi
perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butir air hujan
merupakan hal yang sangat penting karena erosi yang terjadi di
Indonesia penyebab utamanya adalah air hujan. Semakin rapat
penutupannya akan semakin kecil risiko hancurnya agregat tanah oleh
pukulan butiran air hujan. Batang tanaman juga menjadi penahan erosi
air hujan dengan cara merembeskan aliran air dari tajuk melewati
batang (stemflow)
menuju permukaan tanah sehingga energi kinetiknya jauh berkurang.
Batang juga berfungsi memecah dan menahan laju aliran permukaan. Jika
energi kinetik aliran permukaan berkurang, maka daya angkut
materialnya juga berkurang dan tanah mempunyai kesempatan yang
relatif tinggi untuk meresapkan air. Beberapa jenis tanaman yang
ditanam dengan jarak rapat, batangnya mampu membentuk pagar sehingga
memecah aliran permukaan. Partikel tanah yang ikut bersama aliran air
permukaan akan mengendap di bawah batang dan lama-kelamaan akan
membentuk bidang penahan aliran permukaan yang lebih stabil.
Keberadaan
perakaran mampu memperbaiki kondisi sifat tanah yang disebabkan oleh
penetrasi akar ke dalam tanah, menciptakan habitat yang baik bagi
organisme dalam tanah, sebagai sumber bahan organik bagi tanah dan
memperkuat daya cengkeram terhadap tanah (Foth, 1995, Killham, 1994,
Agus et
al.,
2002). Perakaran tanaman juga membantu mengurangi air tanah yang
jenuh oleh air hujan, memantapkan agregasi tanah sehingga lebih
mendukung pertumbuhan tanaman dan mencegah erosi, sehingga tanah
tidak mudah hanyut akibat aliran permukaan, meningkatkan infiltrasi,
dan kapasitas memegang air.
Apakah
Vegetasi dapat Mengkonservasi Tanah dan Air?
Teknik
konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara vegetatif dalam
bentuk pengelolaan tanaman berupa pohon atau semak, baik tanaman
tahunan maupun tanaman setahun dan rumput-rumputan. Teknologi
ini sering dipadukan dengan tindakan konservasi tanah dan air secara
pengelolaan.
Pengelolaan
tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan
tanah dan air karena memiliki sifat : (1) memelihara kestabilan
struktur tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi
tanah, (2) penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi
evaporasi, (3) disamping itu dapat meningkatkan aktifitas
mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah,
sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi.
Pengaruh
vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah: 1) Melindungi permukaan
tanah dari tumbukan air hujan (menurunkan kecepatan terminal dan
memperkecil diameter air hujan), 2) menurunkan kecepatan dan volume
air runoff, 3) menahan partikel-partikel tanah pada tempetnya melelui
sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan, dan 4) mempertahankan
kapasitas tanah dalam menyimpan air; dan 5) meningkatkan laju
infiltrasi dan perkolasi air dalam tanah.
Vegetasi
secara umum dapat mencegah erosi, namun setiap jenis tanaman dan
banyaknya tajuk terhadap erosi berbeda-beda. Pada tanaman yang rimbun
kemungkinan erosi lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh
jarang. Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi yaitu
intersepai air hujan oleh tanaman, mengurangi kecepatan aliran dan
energi perusak air serta meningkatkan efektivitas mikroorganisme yang
berperan dalam proses humifikasi. Juga dapat menigkatkan agregasi
dimana akar-akar tanaman dengan selaput koloidnya menyebabkan agregat
menjadi stabil dan pengaruh traspirasi dimana terjadi peningkatan
kehilangan air tanah melalui penguapan sehingga kemampuan menyerap
air meningkat.
Sruktur
tajuk taumbuhan pada suatu areal tertentu, jika berlapis dengan
tanaman penutup tanah dan serasah akan memberikan ketahanan berganda
terhadap pukulan butiran hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Menurut
Soemarwoto (1983) bahwa selain berfungsi menghalangi pukulan
langsung air hujan kepermukaan tanah, vegetasi penutup lahan juga
menambah kandungan bahan organik tanah yang meningkatkan resistensi
terhadap erosi yang terjadi. Selanjutnya, menurut Hardjowigeno
(1987), pencegahan erosi dapat berlangsung secara efektif ap[abila
paling sedikit 70 % permukaan lahan tertutup oleh vegetasi.
Pengaruh
vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi terjadi melalui (a)
intersepsi hujan oleh tajuk tumbuhan, (b) mengurangi laju aliran
permukaan dan gaya dispersinya, (c) pengaruh akar dalam peningkatan
granulasi dan porositas, (d) kegiatan biologi dalam tanah yang
memperbaiki porositas, dan efek transpirasi yang mengeringkan tanah.
Fungsi
lain vegetasi berupa tanaman kehutanan yang tak kalah pentingnya
yaitu memiliki nilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan
petani. Efek penutup tanah dapat dikelompokkan menjadi lima kategori
:
1.
Intersepsi terhadap curah hujan
2.
Mengurangi kecepatan run off
3.
Perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah.
4.
Mempengaruhi aktifitas mikro organisme yang berakibat pada
meninhkatkan porositas tanah.
5.
Transpirasi tanaman akan berpengaruh pada lengas tanah pada hari
berikutnya.
Hasil-hasil
penelitian oleh Kelman (1969) dalam Hamilton, et al. (1997) di Mount
APO Mindanau pada kemiringan 20% mengenai erosi pada berbagai penutup
tanah seperti pada Tabel 1.
Tabel
1. Pengaruh Penutup Tanah pada Erosi
No.
|
Penutup
Tanah
|
Erosi
Ton/ha/thn
|
Ratio
thd hutan primer
|
1
|
Primary
forest
|
0.09
|
1.0
|
2
|
Soft
wood grassland
|
0.13
|
1.4
|
3
|
Imperata
|
0.18
|
2.0
|
4
|
New
rice Kaingin
|
0.38
|
4.2
|
5
|
12
year old Kaingin
|
27.60
|
306.7
|
Erosi
meningkat secara eksponensial dengan berkurangnya penutupan tanah.
Pengelolaan tanaman penutup tanah secara intercropping dengan tanaman
pohon dapat mengurangi erosi. Tanaman penutup tanah dapar berupa:
Centrosema, Indegofera, Bahia grass, Guinea grass, Summer soy bean,
Rice straw mulch. Hasilnya menunjukkan bahwa Bahia grass, Guinea
grass dan Rice Straw mulch sangat efektif sekali untuk mencegah erosi
dan run off.
Pengaruh
berbagai penutup tanah, praktek-praktek pengelolaan penutup tanah dan
praktek konservasi terhadap erosi pada perkebunan pisang dengan
kemiringan yang cukup di Taiwan telah banyak ditel;iti oleh para
peneliti. Barier rumput atau jalur-jalur mulsa mengurangi run-off.
Tanpa adanya mulsa penutup tanah dengan indegofera atau bahia grass
adalah sangat efektif dalam mengurangi run-off dan erosi. Pemangkasan
selektif terhadap kelebatan pohon sebesar 40 % tidak menimbulkan
erosi yang berarti. Akan tetapi penebangan hutan dimana
pohon-pohonnya ditarik keluar akan menimbulkan erosi tanah
4.
Bagaimana Vegetasi Dapat Mengkonservasi Tanah dan Air?
Vegetasi
dapat berfungsi dalam konservasi tanah dan air karena ia memiliki
beberapa manfaat yang mendukung terciptanya pertanian berkelanjutan.
Vegetasi memeliki beberapa manfaat yang merupakan ciri pertanian
berkelanjutan seperti konservasi, reklamasi dan memiliki nilai
ekonomi yang tinggi.
4.1.
Aspek Konservasi
Aspek
konservasi berupa konservasi tanah dan air melalui peningkatan
infiltarasi, sehingga cadangan air tanah tersedia dan dapat mencegah
terjadinya erosi baik oleh air karena aliran permukaan, maupun akibat
angin dan salinasi. Secara
umum infiltarasi dipengaruhi oleh:
(1)
intensitas hujan atau irigasi,
(2)
kandungan lengas tanah, dan
(3)
faktor tanah.
Faktor
tanah merupakan sifat internal tanah dan sifat lain yang dipengaruhi
oleh cara pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah dapat mempengaruhi
struktur tanah, keadaan dan bentuk permukaan tanah serta keadaan
tanaman.
Penutupan
tanah dengan vegetasi dapat meningkatkan infiltrasi karena perakaran
tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah, disamping itu
juga mempengaruhi aktifitas mikroorganisme yang berakibat pada
meningkatkan porositas tanah (Harsono, 1995). Selanjutnya air masuk
melalui infiltrasi tetap tersimpan karena tertahan oleh tanaman
penutup di bawahnya atau sisa-sisa tanaman berupa daun yang sifatnya
memiliki penutupan yang rapat sehingga menekan evaporasi. Demikian
halnya dengan aspek konservasi tanah, vegetasi memiliki peranan
penting karena dapat mengurangi peranan hujan dalam proses terjadinya
erosi. Proses
terjadinya erosi oleh hujan sebagai berikut :
(1).
Pelepasan butiran tanah oleh hujan.
(2).
Transportasi oleh hujan
(3).
Pelepasan (penggerusan/scouring) oleh run off.
(4).
Transportasi oleh run off.
Usaha
konservasi tanah pada hakekatnya adalah pengendalian energi dari
akibat tetesan hujan maupun limpasan permukaan dalam proses
terjadinya erosi. Prinsip pengendalian energi ini dengan usaha :
1.
Melindungi
tanah dari pukulan air hujan (erosi percik), dengan tanaman penutup
tanah.
2.
Mengurangi kecepatan energi kinetik tetesan air hujan, dengan
tanaman pelindung, atau pelindung non-vegetatif lainnya.
3.
Mengurangi energi kinetik limpasan permukaan.
4.2.
Aspek Reklamasi.
Aspek
reklamasi berupa penambahan unsur hara dari proses dekomposisi bahan
organik, sehingga dapat memperbaiki ketersediaan hara. Kerusakan
lahan banyak diakibatkan oleh erosi berupa hilangnya tanah dengan
kandungan bahan organik dan hara yang sangat merugikan bagi tanaman.
Penurunan kandungan hara tanah dapat diperbaiki dengan menggunaan
pupuk, tetapi membutuhkan biaya yang besar. Namun dengan adanya
sisa-sisa tanaman yang telah mengalami perombakan secara ekstensif
dan tanah sampai perubahan lebih lanjut yang dikenal dengan humus
dapat memperbaiki kandungan Nitrogen, Kalium, Karbon, Pospor, Sulfur,
Calsium, dan Magnesium. Secara skematis, mekanisme pembentukan humus
dalam perombakan sisa-sisa tanaman dalam tanah. Humus mengabsorbsi
sejumlah besar air dan menunjukkan ciricirinya untuk mengembang dan
menyusut. Humus
merupakan faktor penting dalam pembentukan struktur tanah. Humus
mempunyai ciri-ciri fisik lain dan sifat fisikokimia yang menjadikan
humus merupakan unsur pokok tanah yang bernilai tinggi.
4.3.
Aspek Ekonomi.
Dimana
tanaman vegetasi penutup berupa tanaman agroforestry yang
dikembangkan memiliki kontribusi produksi yang nyata sehingga dapat
meningkatkan taraf kehidupan petani. Agroforestry memiliki fungsi
ekonomi bagi suatu masyarakat. Peran utama bagi petani bukan hanya
produksi bahan pangan melainkan juga sebagai sumber penghasil
pemasukan uang dan modal.
Pendapatan
petani dari system agroforestri umumnya dapat menutupi kebutuhan
sehari-hari dari hasil panen secara teratur seperti lateks, damar,
kopi, kayu manis dan lain-lain. Selain itu juga dapat membantu
menutupi pengeluaran tahunan dari hasil panen secara musiman seperti
buah-buahan, cengkeh, pala dan lain-lain. Komoditas lainnya berupa
kayu juga dapat menjadi sumber uang cukup besar meskipun tidak tetap,
dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan
mendadak. Meskipun tidak memungkinkan akumulasi modal secara cepat
dalam bentuk system-aset yang dapat segera diuangkan, namun
diverifikasi tanaman merupakan jaminan petani terhadap ancaman
kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan
pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga suatu
komoditas, spesies ini dapat dengan mudah ditelantarkan, hingga suatu
saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak
menyebabkan gangguan ekologi terhadap system ini, dan bahkan
komoditas tersebut akan tetap hidup dalam struktur kebun dan siap
untuk dipanen sewaktu-waktu. Sementara komoditas lainnya tetap akan
ada yang dapat dipanen, bahkan komoditas baru dapat diintroduksi
tanpa merombak system produksi yang ada.
5.
Untuk apa Vegetasi Dikembangkan pada Suatu DAS?
Teknologi
vegetatif sesuai untuk diterapkan pada suatu DAS dengan distribusi
debit sungai yang tidak seragam. Artinya
perbedaan antara debit puncak dan aliran dasar sangat besar.
Percobaan yang pernah dilakukan di Indonesia berupa membandingkan DAS
untuk pertanian, dengan satu 25 % wilayahnya dihutankan kembali, dan
yang lain lagi 100 % dihutankan kembali dengan Pinus
mercusii, Tectona gandis, Swetenia macrophylla dan
Eucalyptus
alba.
Hasil dilaporkan bahwa, daerah yang dihutankan kembali aliran
sungainya secara terus-menerus dalam musim kering yang besarnya 2,5
kali lipat dari aliran sungai yang berasal dari DAS untuk pertanian
(Hamilton, et
al.
1997). Hutan yang tidak terganggu merupakan penutup tanah yang baik
terhadap erosi. Sedimen yang tersuspensi pada 250 juta hektar hanya
terjadi sebesar 0,4 ton/ha/thn (Pauler dan Heady, 1981 dalam
Hamilton, et
al.
1997). Pada hutan sekunder sedimen hanya terjadi sebesar 1,19
ton/ha/thn. Anderson (1978), mengamati bahwa erosi meningkat sebagai
akibat hutan yang terbakar, sedimen terjadi sebesar 3,12 ton/ha/thn
atau 5-8 kali daripada hutan yang tidak terganggu di DAS Oregon USA.
Penebangan
hutan memicu erosi dan tanah longsor (sumber:
http://www.fotopedia.com/)
Pengelolaan
secara vegetatif merupakan salah satu teknologi konservasi tanah dan
air dalam rangka menuju pertanian berkelanjutan. Teknologi ini dapat
memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dan
penutupan lahan sehingga dapat meningkatkan infiltrasi dan mencegah
terjadinya erosi, memperbaiki hara tanah serta memiliki nilai
ekonomi. Teknologi ini tepat diterapkan pada suatu DAS dengan
distribusi aliran yang memiliki perbedaan yang cukup besar antara
volume aliran puncak dan aliran dasar. Karena dengan menghutankan
suatu DAS, maka aliran sungainya secara terus menerus dalam musim
kering besarnya mencapai 2,5 kali lipat dari aliran sungai yang
berasal dari DAS yang tidak berhutan.
Hutan
yang tidak terganggu merupakan penutup tanah yang baik terhadap
erosi. Sedimen yang tersuspensi pada 250 juta ha hanya terjadi
sebesar 0,4 ton/ha/thn. Namun pada hutan yang terbakar mengakibatkan
erosi meningkat, demikian halnya dengan sedimen terjadi sebesar 3,12
ton/ha/thn atau 5-8 kali daripada hutan yang tidak terganggu.
6.
Jenis-Jenis
Konservasi Tanah dan Air Secara Vegetatif
Teknik
konservasi tanah secara vegetatif yang akan diuraikan dalam monograf
ini adalah: penghutanan kembali (reforestation),
wanatani (agroforestry)
termasuk didalamnya adalah pertanaman lorong (alley
cropping),
pertanaman menurut strip (strip
cropping),
strip rumput (grass
strip)
barisan sisa tanaman, tanaman penutup tanah (cover
crop),
penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalah pergiliran tanaman
(crop
rotation),
tumpang sari (intercropping),
dan tumpang gilir (relay
cropping)
(Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Alley
cropping pada lahan miring dapat mengendalikan erosi dan limpasan
permukaan (sumber: http://www.agnet.org/)
Dalam
penerapannya, petani biasanya memodifikasi sendiri teknik-teknik
tersebut sesuai dengan keinginan dan lingkungan agroekosistemnya
sehingga teknik konservasi ini akan terus berkembang di lapangan.
Keuntungan yang didapat dari sistem vegetatif ini adalah kemudahan
dalam penerapannya, membantu melestarikan lingkungan, mencegah erosi
dan menahan aliran permukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari
pengembalian bahan organik tanaman, serta meningkatkan nilai tambah
bagi petani dari hasil sampingan tanaman konservasi tersebut.
Sistem
alley cropping antara pohon karet (double row) dan kopi. Pohon karet
juga berfungsi sebagai pohon naungan bagi tanaman kopi (sumber:
http://www.scielo.br/)
Radiasi
matahari yang tersedia bagi tanaman kopi dipengaruhi oleh jaraknya
dari pohon karet
Integrated
alley
cropping
bio-intensive garden
nzdl.org
Sistem
alley cropping terpadu (sumber: nzdl.org)
6.1.
Penghutanan Kembali
Penghutanan
kembali (reforestation)
secara umum dimaksudkan untuk mengembalikan dan memperbaiki kondisi
ekologi dan hidrologi suatu wilayah dengan tanaman pohon-pohonan.
Penghutanan kembali juga berpotensi untuk peningkatan kadar bahan
organik tanah dari serasah yang jauh di permukaan tanah dan sangat
mendukung kesuburan tanah. Penghutanan kembali biasanya dilakukan
pada lahan-lahan kritis yang diakibatkan oleh bencana alam misalnya
kebakaran, erosi, abrasi, tanah longsor, dan aktivitas manusia
seperti pertambangan, perladangan berpindah, dan penebangan hutan
(Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Hutan
mempunyai fungsi tata air yang unik karena mampu menyimpan air dan
meredam debit air pada saat musim penghujan dan menyediakan air
secara terkendali pada saat musim kemarau (sponge
effect).
Penghutanan kembali dengan maksud untuk mengembalikan fungsi tata
air, efektif dilakukan pada lahan dengan kedalaman tanah >3 m.
Tanah dengan kedalaman <3 m mempunyai aliran permukaan yang cukup
tinggi karena keterbatasan kapasitas tanah dalam menyimpan air (Agus
et
al.,
2002). Pengembalian fungsi hutan akan memakan waktu 20-50 tahun
sampai tajuk terbentuk sempurna. Jenis tanaman yang digunakan
sebaiknya berasal dari jenis yang mudah beradaptasi terhadap
lingkungan baru, cepat berkembang biak, mempunyai perakaran yang
kuat, dan kanopi yang rapat/rindang.
Penelitian
tentang kondisi biofisik lahan sangat penting untuk menentukan jenis
tanaman yang akan dipergunakan dengan tujuan penghutanan kembali
terutama untuk hutan monokultur. Beberapa tanaman tahunan mempunyai
intersepsi dan evaporasi yang tinggi sehingga akan banyak
mengkonsumsi air. Penelitian terhadap tanaman pinus (Pinus
merkusii)
yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor
dan Universitas Brawijaya/ Unibraw (Priyono dan Siswamartana, 2002),
menyimpulkan bahwa tanaman pinus akan aman jika ditanam pada daerah
yang mempunyai curah hujan di atas 2.000 mm/tahun. Pada daerah yang
mempunyai curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun disarankan agar penanaman
pinus dicampur dengan tanaman lain yang mempunyai intersepsi dan
evaporasi lebih rendah misalnya Puspa atau Agatis. Sedangkan untuk
daerah yang mempunyai curah hujan 1.500 mm/tahun atau kurang
disarankan untuk tidak menanam pinus karena akan menimbulkan
kekurangan (deficit)
air.
6.2.
Wanatani
Wanatani
(agroforestry)
adalah salah satu bentuk usaha konservasi tanah yang menggabungkan
antara tanaman pohonpohonan, atau tanaman tahunan dengan tanaman
komoditas lain yang ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian.
Penggunaan tanaman tahunan mampu mengurangi erosi lebih baik daripada
tanaman komoditas pertanian khususnya tanaman semusim. Tanaman
tahunan mempunyai luas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam
menahan energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah
dalam bentuk aliran batang (stemflow)
dan aliran tembus (throughfall)
tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu besar. Sedangkan tanaman
semusim mampu memberikan efek penutupan dan perlindungan tanah yang
baik dari butiran hujan yang mempunyai energi perusak. Penggabungan
keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan ganda baik dari tanaman
tahunan maupun dari tanaman semusim.
Sistem
hidrologi vegetasi pohon (sumber: http://adaptation.nrcan.gc.ca/ )
Penerapan
wanatani pada lahan dengan lereng curam atau agak curam mampu
mengurangi tingkat erosi dan memperbaiki kualitas tanah, dibandingkan
apabila lahan tersebut gundul atau hanya ditanami tanaman semusim.
Proporsi tanaman tahunan dan semusim yang ideal tergantung pada
kemiringan lahan dan sistem wanatani (Kasdi Subagyono, Setiari
Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Secara umum proporsi tanaman
tahunan makin banyak pada lereng yang semakin curam demikian juga
sebaliknya.
Tanaman
semusim memerlukan pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman yang
lebih intensif dibandingkan dengan tanaman tahunan. Pengolahan tanah
pada tanaman semusim biasanya dilakukan dengan cara mencangkul,
mengaduk tanah, maupun cara lain yang mengakibatkan hancurnya agregat
tanah, sehingga tanah mudah tererosi. Semakin besar kelerengan suatu
lahan, maka risiko erosi akibat pengolahan tanah juga semakin besar.
Penanaman
tanaman tahunan tidak memerlukan pengolahan tanah secara intensif.
Perakaran yang dalam dan penutupan tanah yang rapat mampu melindungi
tanah dari erosi. Tanaman tahunan yang dipilih sebaiknya dari jenis
yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani dari hasil buah maupun
kayunya. Selain dapat menghasilkan keuntungan dengan lebih cepat dan
lebih besar, wanatani ini juga merupakan sistem yang sangat baik
dalam mencegah erosi tanah.
Sistem
wanatani telah lama dikenal di masyarakat Indonesia dan berkembang
menjadi beberapa macam, yaitu pertanaman sela, pertanaman lorong,
talun hutan rakyat, kebun campuran, pekarangan, tanaman
pelindung/multistrata, dan silvopastural.
Sistem
agroforestry yang melibatkan beragam tipe tajuk tanaman, mampu
melindungi muka lahan dari ancaman erosi dan runoff (sumber:
http://madurugala.blogspot.com/)
(1).
Pertanaman sela
Pertanaman
sela adalah pertanaman campuran antara tanaman tahunan dengan tanaman
semusim. Sistem ini banyak dijumpai di daerah hutan atau kebun yang
dekat dengan lokasi permukiman. Tanaman sela juga banyak diterapkan
di daerah perkebunan, pekarangan rumah tangga maupun usaha pertanian
tanaman tahunan lainnya. Dari segi konservasi tanah, pertanaman sela
bertujuan untuk meningkatkan intersepsi dan intensitas penutupan
permukaan tanah terhadap terpaan butir-butir air hujan secara
langsung sehingga memperkecil risiko tererosi. Sebelum kanopi tanaman
tahunan menutupi tanah, lahan di antara tanaman tahunan tersebut
digunakan untuk tanaman semusim.
Di
beberapa wilayah hutan jati daerah Jawa Tengah, ketika pohon jati
masih pendek dan belum terbentuk kanopi, sebagian lahannya ditanami
dengan tanaman semusim berupa jagung, padi gogo, kedelai,
kacang-kacangan, dan empon-empon seperti jahe (Zingiber
officinale),
temulawak (Curcuma
xanthorrizha),
kencur (Kaemtoria
galanga),
kunir (Curcuma
longa),
dan laos (Alpinia
galanga).
Pilihan teknik konservasi ini sangat baik untuk diterapkan oleh
petani karena mampu memberikan nilai tambah bagi petani, mempertinggi
intensitas penutupan lahan, membantu perawatan tanaman tahunan dan
melindungi dari erosi (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang
Kurnia, 2003).
Penanaman
tanaman semusim bisa berkali-kali tergantung dari pertumbuhan tanaman
tahunan. Sebagai tanaman pupuk hijau sebaiknya dipilih dari tanaman
legum seperti Leucaena
leucocephala,
Glyricidia
sepium,
Cajanus
cajan,
Tephrosia
candida,
dan lain sebagainya. Jarak antara tanaman semusim dengan tanaman
tahunan secara periodik dilebarkan (lahan tanaman semusim semakin
sempit) dengan maksud untuk mencegah kompetisi hara, pengaruh
allelopati dari tanaman tahunan, dan kontak penyakit.
Interaksi
sinergistik antara pohon, tanaman semusim dan ternak dalam system
agroforestry (sumber: http://www.agnet.org/)
(2).
Pertanaman lorong
Sistem
pertanaman lorong atau alley
cropping adalah
suatu sistem dimana tanaman pagar pengontrol erosi berupa barisan
tanaman yang ditanam rapat mengikuti garis kontur, sehingga membentuk
lorong-lorong dan tanaman semusim berada di antara tanaman pagar .
Sistem ini sesuai untuk diterapkan pada lahan kering dengan
kelerengan 3-40%. Dari hasil penelitian Haryati et
al.
(1995) tentang sistem budi daya tanaman lorong di Ungaran pada tanah
Typic Eutropepts, dilaporkan bahwa sistem ini merupakan teknik
konservasi yang cukup murah dan efektif dalam mengendalikan erosi dan
aliran permukaan serta mampu mempertahankan produktivitas tanah.
Penanaman
tanaman pagar akan mengurangi 5-20% luas lahan efektif untuk budi
daya tanaman sehingga untuk tanaman pagar dipilih dari jenis tanaman
yang memenuhi persyaratan di bawah ini (Agus et
al.,
1999):
a.
Merupakan tanaman yang mampu mengembalikan unsur hara ke dalam
tanah, misalnya tanaman penambat nitrogen (N2) dari udara.
b.
Menghasilkan banyak bahan hijauan.
c.
Tahan terhadap pemangkasan dan dapat tumbuh kembali secara cepat
sesudah pemangkasan.
d.
Tingkat persaingan terhadap kebutuhan hara, air, sinar matahari dan
ruang tumbuh dengan tanaman lorong tidak begitu tinggi.
e.
Tidak bersifat alelopati (mengeluarkan zat beracun) bagi tanaman
utama.
f.
Sebaiknya mempunyai manfaat ganda seperti untuk pakan ternak, kayu
bakar, dan penghasil buah sehingga mudah diadopsi petani.
Sistem
pertanaman lorong (alley cropping) dengan barisan rangkap tanaman
pagarnya (sumber: http://www.greenstone.org/)
Alley
cropping dengan rumput dan/atau tanaman hijauan pakan perdu atau
pohon. Tanaman pagar yang memnghasilkan hijauan pakan (misalnya
Desmodium rensonii, Leucaena leucocephala, Gliricidia septum,
Flemingia congesta) ditanam menurut garis kontur dengan interval
tertentu. Alleys di antara tanaman pagar dapat ditanami rumput atau
hijauan pakan. Pemangkasan rumput dan hijauan digunakan untuk suplai
pakan ternak dengan metode cut-and-carry.
Karakteristik
tanaman pagar adalah
·
Mudah ditabnam dan tumbuh berkembang (dari bji atau stek)
·
Pertumbuhannya cepat
·
Kemampuannya coppicing bagus
·
Mampu ememfiksasi nitrogen
·
Perakarannya dalam dan multiguna (sumber pangan, kayu bakar dan
hijauan pakan, dll.)
Beberapa
jenis tanaman pagar:
·
Gliricidseptum
·
Flemingia congesta
·
Leucaena leucocephala
·
Desmodium rensonni Cassia spectabilis Calliandra calothyrsus
·
Desmanthus sp.
·
Beberapa jenis rumput seperti Pennisetum purpureum, Vetiveria
zizanoides, Panicum maximum dan Setaria sp.
Sistem
alley cropping yang emelibatkan aneka jenis tanaman legume (sumber:
http://www.greenstone.org/)
Karakteristik
pohon untuk tanaman pagar (sumber: http://www.fao.org/)
Penelitian-penelitian
tentang pertanaman lorong (Puslittanak, 1991) menyimpulkan, bahwa
sistem budi daya lorong merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan produktivitas lahan kering yang miskin hara dan
mempunyai KTK yang rendah. Hasil epenelitian Suwardjo et
al.
(1987) menunjukkan bahwa kandungan bahan organik tanah Podsolik di
Jambi, Sumatera meningkat dari 1,8% menjadi 2,2% setelah 1 tahun
ditanami dengan tanaman lorong Flemingia. Pada tahun kedua kandungan
bahan organik semakin bertambah dengan nilai 2,8%. Sistem pertanaman
lorong juga dapat mempertahankan sifat fisik tanah dan hasil tanaman
pangan dalam jangka panjang. Dari hasil kajiannya pada penerapan
pertanaman lorong (Alley
cropping)
di beberapa negara yang tergabung dalam ASIALAND
sloping land project yang
meliputi Indonesia, Phillipines, Laos dan Vietnam, Irawan (2002)
melaporkan bahwa alley
cropping mampu
mengurangi kehilangan hara akibat erosi senilai US $ 4,1-85,5/
ha/tahun.
Manfaat
ganda pohon sebagai tanaman pagar dalam sistem alley cropping
(sumber: http://www.winrock.org/fnrm/factnet/)
Flemingia
mempunyai kemampuan yang tinggi untuk tumbuh dan bertunas sehingga
menghasilkan hasil pangkasan yang cenderung terus meningkat. Hasil
pangkasan ini merupakan sumber bahan organik yang sangat penting.
Dari reklamasi yang dilaksanakan pada tahun 1970 dan evaluasinya pada
tahun 1984 pada tanah berskeletal vulkanik Gunung Merapi di Kali
Gesik, Jawa Tengah, Sukmana et
al. (1985)
melaporkan bahwa setelah 14 tahun direklamasi dengan Flemingia
congesta mampu
menghasilkan serasah (kering udara) sebanyak 5,6 t/ha. Biomassa ini
memberikan kontribusi terhadap peningkatan bahan organik tanah 2,65%
yang sebelum direklamasi tidak mengandung bahan organik. Dibandingkan
dengan vegetasi alami, Flemingia sangat besar kontribusinya dalam
peningkatan bahan organik tanah. Bahan organik ini sangat penting
dalam peningkatan
kapasitas tanah menahan air (water
holding capacity).
(3).
Talun / Hutan Rakyat
Talun
adalah lahan di luar wilayah permukiman penduduk yang ditanami aneka
tanaman tahunan (mixed
garden)
yang dapat diambil kayu maupun buahnya. Sistem ini tidak memerlukan
perawatan intensif dan hanya dibiarkan begitu saja sampai saatnya
panen. Karena tumbuh sendiri secara spontan, maka jarak tanam sering
tidak seragam, jenis tanaman sangat beragam dan kondisi umum lahan
seperti hutan alami. Ditinjau dari segi konservasi tanah, talun hutan
rakyat dengan tajuk multistrata yang rapat dapat mencegah erosi
secara maksimal juga secara umum mempunyai fungsi seperti hutan.
Hutan
rakyat
adalah hutan-hutan
yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas
tanah
milik atau tanah
adat; meskipun ada pula yang berada di atas tanah
negara atau kawasan hutan negara. Secara teknik, hutan-hutan
rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani;
yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan
pohon. Baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks
(agroforest)
yang sangat mirip strukturnya dengan hutan
alam.
Macam
Hutan Rakyat
Ada
beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya. Di antaranya:
- Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah.
Ada
banyak bentuk-bentuk peralihan atau gabungan, yakni model-model
pengelolaan hutan secara bermitra, misalnya antara
perusahaan-perusahaan kehutanan (Perhutani,
HPH, HPHTI) dengan warga masyarakat sekitar; atau juga antara
pengusaha-pengusaha perkebunan dengan petani di sekitarnya. Model
semacam ini, contohnya PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat),
biasanya juga tidak
digolongkan
sebagai hutan rakyat; terutama karena dominasi kepentingan pengusaha.
Produk-produk
Hutan Rakyat
Hutan
rakyat zaman sekarang telah banyak yang dikelola dengan orientasi
komersial, untuk
memenuhi kebutuhan pasar komoditas
hasil hutan. Tidak seperti pada masa lampau, utamanya sebelum tahun
1980an, di mana kebanyakan hutan rakyat berorientasi subsisten,
untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga petani sendiri. Pengelolaan
hutan rakyat secara komersial telah dimulai semenjak beberapa ratus
tahun yang silam, terutama dari wilayah-wilayah di luar Jawa.
Hutan-hutan --atau tepatnya, kebun-kebun rakyat dalam rupa hutan--
ini menghasilkan aneka komoditas perdagangan dengan nilai yang
beraneka ragam. Terutama hasil-hasil
hutan non-kayu
(HHNK). Beberapa contoh produk hutan-hutan rakyat dan wilayah
penghasilnya, di antaranya:
Getah
dan resin:
- Damar mata-kucing (Hopea spp., Shorea javanica); Sumatera Selatan dan Lampung, terutama Lampung Barat
Buah-buahan:
Rempah-rempah
lain:
- Aneka jahe-jahean (empon-empon); Jawa.
Kayu-kayuan:
- Jati (Tectona grandis); Jawa, terutama Gunungkidul di Yogyakarta, Wonogiri di Jawa Tengah, Pacitan di Jawa Timur, dan Kuningan serta Indramayu di Jawa Barat; juga di Muna, Sulawesi Tenggara
Lain-lain:
- Rotan (banyak jenis); Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi; terutama dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan
(4).
Kebun campuran
Kebun
campuran biasanya dirawat secara intensif oleh pemilik / pengelolanya
untuk mendapatkan beragam hasil ekonomis sepanjang tahun. Tanaman
yang ditanam adalah aneka jenis tanaman tahunan yang dimanfaatkan
hasil buah, daun, dan kayunya. Kadang-kadang juga ditanam secara
campuran dengan tanaman semusim. Apabila proporsi tanaman semusim
lebih besar daripada tanaman tahunan, maka lahan tersebut disebut
tegalan. Kebun campuran ini mampu mencegah erosi dengan baik karena
kondisi penutupan tanah yang rapat sehingga butiran air hujan tidak
langsung mengenai permukaan tanah. Kerapatan
tanaman juga mampu mengurangi laju aliran permukaan. Hasil tanaman
lain di luar tanaman semusim mampu mengurangi risiko akibat gagal
panen dan meningkatkan nilai tambah bagi petani.
(5).
Pekarangan
Pekarangan
adalah lahan di sekitar rumah dengan berbagai jenis tanaman semusim
dan tanaman tahunan. Lahan tersebut mempunyai manfaat tambahan bagi
keluarga petani, dan secara umum merupakan gambaran kemampuan suatu
keluarga dalam mendayagunakan potensi lahan secara optimal. Tanaman
yang umumnya ditanam di lahan pekarangan petani adalah ubi kayu,
sayuran, tanaman buah-buahan seperti tomat, pepaya, tanaman
obat-obatan seperti kunyit, temulawak, dan tanaman lain yang umumnya
bersifat subsisten.
(6).
Tanaman Pelindung
Tanaman
pelindung adalah tanaman tahunan yang ditanam di sela-sela tanaman
pokok tahunan. Tanaman pelindung ini dimaksudkan untuk mengurangi
intensitas penyinaran matahari, dan dapat melindungi tanaman pokok
dari bahaya erosi terutama ketika tanaman pokok masih muda. Tanaman
pelindung ini dapat dikelompokkan menjadi dua (Kasdi Subagyono,
Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003) , yaitu:
a.
Tanaman pelindung sejenis yang membentuk suatu sistem wanatani
sederhana (simple
agroforestry).
Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan satu jenis tanaman
pelindung misalnya: gamal (Gliricidia
sepium),
dadap (Erythrina
subumbrans),
lamtoro (Leucaena
leucocephala)
atau kayu manis (Cinnamomum
burmanii).
b.
Tanaman pelindung yang beraneka ragam dan membentuk wanatani kompleks
(complex
agroforestry atau
sistem multistrata). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi
dengan dua atau lebih tanaman pelindung misalnya: kemiri (Aleurites
muluccana),
jengkol (Pithecellobium
jiringa),
petai (Perkia
speciosa),
kayu manis, dadap, lamtoro, gamal, durian (Durio
zibethinus),
alpukat (Persea
americana),
nangka (Artocarpus
heterophyllus),
cempedak (Artocarpus
integer),
dan lain sebagainya.
Tajuk
tanaman yang bertingkat menyebabkan sistem ini menyerupai hutan, yang
mana hanya sebagian kecil air yang langsung menerpa permukaan tanah.
Produksi serasah yang banyak juga menjadi keuntungan tersendiri dari
sistem ini.
Pohon
naungan dan sekaligus pelindung dalam sistem wanatani (sumber:
electronic.districsides.com)
(7).
Silvopastural
Sistem
silvipastura sebenarnya adalah bentuk lain dari sistem tumpang sari,
tetapi yang ditanam di sela-sela tanaman tahunan bukan tanaman pangan
melainkan tanaman pakan ternak seperti rumput gajah (Pennisetum
purpureum),
rumput raja (Penniseitum
purpoides),
dan lain-lain (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia,
2003). Silvipastural umumnya berkembang di daerah yang mempunyai
banyak hewan ruminansia. Hasil kotoran hewan ternak tersebut dapat
dipergunakan sebagai pupuk kandang, sementara hasil hijauannya dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Sistem ini dapat dipakai
untuk mengembangkan peternakan sebagai komoditas unggulan di suatu
daerah.
Silvopastoral
systems are designed to produce a high-value timber component, while
providing short-term cash flow from the livestock component. The
interactions among timber, forage and livestock are managed
intensively to simultaneously produce timber commodities, a high
quality forage resource and efficient livestock production. (sumber:
http://www.unl.edu/nac/afnotes/sil-1/index.html)
(8).
Pagar hidup
Pagar
hidup adalah sistem pertanaman yang memanfaatkan tanaman sebagai
pagar untuk melindungi tanaman pokok. Manfaat tanaman pagar antara
lain adalah melindungi lahan dari bahaya erosi baik erosi air maupun
angin (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Tanaman
pagar sebaiknya tanaman yang mempunyai akar dalam dan kuat,
menghasilkan nilai tambah bagi petani baik dari hijauan, buah maupun
dari kayu bakarnya.
Untuk
tanaman pagar dapat dipilih jenis pohon yang berfungsi sebagai sumber
pakan ternak, jenis tanaman yang dapat menghasilkan kayu bakar, atau
jenis-jenis lain yang memiliki manfaat ganda. Tanaman-tanaman
tersebut ditanam dengan jarak yang rapat (< 10 cm). Karena tinggi
tanaman bisa mencapai 1,5 – 2 m maka pemangkasan sebaiknya
dilakukan 1-2 kali setahun (Agus et
al.,
1999).
Pohon
ditanam di tengah lahan sawah (sumber: flickr.com)
6.3.
Strip Rumput
Teknik
konservasi dengan strip rumput (grass
strip)
biasanya menggunakan rumput yang didatangkan dari luar areal lahan,
yang dikelola dan sengaja ditanam secara strip menurut garis kontur
untuk mengurangi aliran permukaan dan sebagai sumber pakan ternak.
Penelitian
yang dilakukan oleh Suhardjo et
al.
(1997), Abdurachman et
al.
(1982), dan Abujamin (1978), membuktikan bahwa untuk lahan dengan
lereng di bawah 20% sistem ini sangat efektif menahan partikel tanah
yang tererosi dan menahan aliran permukaan. Tetapi apabila lahan
mempunyai lereng di atas 20% dibutuhkan tindakan konservasi lainnya
seperti alley
cropping atau
teras bangku. Rumput yang ditanam sebaiknya dipilih dari jenis yang
berdaun vertikal sehingga tidak menghalangi kebutuhan sinar matahari
bagi tanaman pokok, tidak banyak membutuhkan ruangan untuk
pertumbuhan vegetatifnya, mempunyai perakaran kuat dan dalam, cepat
tumbuh, tidak menjadi pesaing terhadap kebutuhan hara tanaman pokok
dan mampu memperbaiki sifat tanah.
Penelitian
selama 4 tahun di Bogor (250 m dpl) yang dilakukan oleh Abujamin et
al.
(1983) menggunakan rumput bede (Brachiaria
decumbens)
sebagai strip selebar 0,5 m dan rumput bahia (Paspalum
notatum)
sebagai strip selebar 1 m pada lahan dengan lereng 15-22%,
menunjukkan bahwa penggunaan strip rumput dapat menekan tingkat erosi
dengan baik. Strip rumput bahia selebar 1 m mampu menekan erosi
sampai mendekati 0 t/ha pada tahun kedua setelah penanaman. Sedangkan
strip rumput bahia selebar 0,5 m membutuhkan waktu hampir 4 tahun
untuk dapat menekan erosi mendekati 0 t/ha. Aliran permukaan pada
strip rumput bahia tahun keempat 189 m3/ha (1,03% curah hujan), lebih
baik dibandingkan dengan strip rumput bede (760 m3/ha atau 4,16%
curah hujan) pada tahun yang sama.
Faktor
tumbuh tanaman rumput, jarak tanam dalam satu strip, dan jarak
antar-strip sangat menentukan efektifitas pengendalian erosi.
Penelitian terhadap efektifitas berbagai macam strip rumput yang
dilakukan Suhardjo et
al.
(1997),
menunjukkan bahwa tingkat erosi pada tahun pertama masih tinggi
karena rumput belum tumbuh optimal. Pertumbuhan rumput yang lebih
baik pada tahun kedua mampu menekan jumlah tanah tererosi antara
30-60% pada kemiringan di bawah 20%. Sedimen
yang tertahan lama kelamaan akan mendekati bentuk datar sehingga
menciptakan bidang teras alami. Abujamin
et
al.
(1983) melaporkan bahwa setelah 4 tahun (1976/1977 sampai dengan
1979/1980) strip rumput bahia menghasilkan teras alami hasil endapan
partikel tanah terangkut dengan ketinggian sekitar 25-30 cm,
sedangkan pada strip rumput bede sekitar 50-60 cm.
Strip
rumput di tepian saluran air (sumber: agry.purdue.edu)
Strip
rumput sangat bagus jika dikombinasikan dengan usaha peternakan yang
memanfaatkan hasil pangkasan rumputnya. Penelitian
yang dilakukan oleh Watung et
al. (2003)
dan Subagyono et
al. (2004)
di sub-DAS Babon, Ungaran, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa integrasi
penanaman rumput baik secara strip maupun ditanam pada sebagian
bidang olah dengan penggemukan sapi terbukti memberikan alternatif
yang dapat ditempuh untuk mewujudkan implementasi teknologi
konservasi secara berkelanjutan. Hasil pangkasan rumput dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak sedangkan kotoran ternak dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Di wilayah sentra produksi
peternakan, teknik ini mudah diadopsi oleh peternak. Walaupun tingkat
kebutuhan hijauan pakan ternak lebih besar daripada kontribusi pupuk
kandang ke lahan pertanian, kondisi ini dapat diatasi dengan
penanaman rumput secara khusus (padang rumput). Aspek keterjangkauan
lahan dari permukiman penduduk desa juga perlu dipertimbangkan karena
seringkali strip berupa pakan ternak tersebut dicuri. Kebutuhan
tenaga kerja dalam penerapan sistem strip rumput cukup efisien dan
lebih sedikit dibandingkan dengan sistem pertanaman lorong.
Untuk
lebih meningkatkan efektifitasnya dalam mengendalikan erosi dan
runoff, strip rumput dapat dikombinasikan dengan mulsa seresah atau
sisa panen. Selain bertujuan untuk menahan erosi, sistem ini juga
efektif dalam mempertahankan kelengasan tanah. Strip
rumput dapat dikombinasikan dengan teknik konservasi secara mekanis
seperti penerapan teras. Penanaman strip rumput di bibir teras sampai
tampingan teras menghasilkan pengurangan tingkat erosi 30-50%
dibandingkan bila strip rumput hanya ditanam di bibir teras saja.
Menurut
Suhardjo et
al.
(1997), pada tanah Inceptisols dengan curah hujan 1.441,8 mm/musim
tanam maupun Entisols dengan curah hujan 1.625,5 mm/musim tanam,
strip rumput yang ditanam di bibir teras saja ternyata masih
menghasilkan erosi yang tinggi yaitu 20 t/ha/musim tanam.
6.4.
Mulsa
Mulsa
adalah bahan-bahan (sisa tanaman, serasah, sampah, plastik atau
bahan-bahan lain) yang disebar atau menutup permukaan tanah untuk
melindungi tanah dari kehilangan air melalui evaporasi. Mulsa juga
dapat dimanfaatkan untuk melindungi permukan tanah dari pukulan
langsung butiran hujan sehingga mengurangi terjadinya erosi percik
(splash
erosion),
selain mengurangi laju dan volume limpasan permukaan. Bahan mulsa
yang sudah melapuk akan menambah kandungan bahan organik tanah dan
hara. Mulsa mampu menjaga stabilitas suhu tanah pada kondisi yang
baik untuk aktivitas mikroorganisma. Relatif rendahnya evaporasi,
berimplikasi pada stabilitas kelengasan tanah. Secara umum mulsa
berperan dalam perbaikan sifat fisik tanah (Kasdi Subagyono, Setiari
Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Pemanfaatan
mulsa di lahan pertanian juga dimaksudkan untuk menekan pertumbuhan
gulma.
Strip
vetiver dan mulsa untuk mencegah erosi di lahan pertanaman jagung
(Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Mulsa
sisa tanaman atau bahan-bahan lain dari tanaman yang berfungsi untuk
konservasi tanah dan air diuraikan. Peran mulsa dalam menekan laju
erosi sangat ditentukan oleh bahan mulsa, persentase penutupan tanah,
tebal lapisan mulsa, dan daya tahan mulsa terhadap dekomposisi
(Abdurachman dan Sutono, 2002). Menurut Suwardjo et
al.
(1989), dalam jangka panjang olah tanah minimum dan pemberian mulsa
dapat menurunkan erosi hingga di bawah ambang batas yang dapat
diabaikan (tolerable
soil loss).
Sebaliknya pada tanah yang diolah dan tanpa diberi mulsa, erosi
terjadi semakin besar.
Hasil
penelitian telah membuktikan bahwa pemberian mulsa mampu meningkatkan
laju infiltrasi. Lal (1978) melaporkan bahwa pemberian mulsa sisa
tanaman sebanyak 4-6 t/ha mampu mempertahankan laju infiltrasi, serta
menurunkan kecepatan aliran permukaan dan erosi pada tingkat yang
masih dapat diabaikan.
Menurut
Kurnia et
al.
(1997), mulsa jerami ditambah dengan mulsa dari sisa tanaman sangat
efektif dalam mengurangi erosi serta mengurangi konsentrasi sedimen
dan hara yang hilang akibat erosi . Erfandi et
al. (1994)
melaporkan, bahwa hasil pangkasan rumput vetiver yang dijadikan mulsa
pada tahun ketiga penelitian sebanyak 5-6 t/ha mampu meningkatkan
kadar C dan N tanah masing-masing sebesar 37-70%. Dari penelitian
tentang mulsa dan pupuk hijau Sonosiso (Dalbergia
siso)
yang dilakukan oleh Haryati et
al.
(1990) di Desa Gondanglegi, Kabupaten Boyolali dapat disimpulkan
bahwa cara pemberian pupuk hijau dengan cara dimulsakan lebih
efisien/menguntungkan dibandingkan dengan cara pembenaman ke dalam
tanah.
Mulsa
jerami ditempatkan di antara barisan tanaman (sumber:
http://134.220.18.206/cs1965/shasea/)
Mulsa
yang diberikan sebaiknya berupa sisa tanaman yang tidak mudah
terdekomposisi misalnya jerami padi dan jagung dengan takaran yang
disarankan adalah 6 t/ha atau lebih. Bahan mulsa sebaiknya dari bahan
yang mudah diperoleh seperti sisa tanaman pada areal lahan
masing-masing petani sehingga dapat menghemat biaya, mempermudah
pembuangan limbah panen sekaligus mempertinggi produktivitas lahan.
6.5.
Sistem Penanaman Menurut Strip
Penanaman
menurut strip (strip
cropping)
adalah system pertanaman, dimana dalam satu bidang lahan ditanami
tanaman dengan jarak tanam tertentu dan berselang-seling dengan jenis
tanaman lainnya searah kontur. Misalnya penanaman jagung dalam satu
strip searah kontur dengan lebar strip 3-5 m atau 5-10 m tergantung
kemiringan lahan, di lereng bawahnya ditanam kacang tanah dengan
sistem sama dengan penanaman jagung, strip rumput atau tanaman
penutup tanah yang lain. Semakin curam lereng, maka strip yang dibuat
akan semakin sempit sehingga jenis tanaman yang berselang-seling
tampak lebih rapat. Sistem ini sangat efektif dalam mengurangi erosi
hingga 70-75% (FAO, 1976) dan vegetasi yang ditanam (dari jenis
legum) akan mampu memperbaiki sifat tanah walaupun terjadi
pengurangan luas areal tanaman utama sekitar 30-50% (Kasdi Subagyono,
Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Sistem
pertanaman menurut strip searah kontur (Troeh et
al.,
1980)
Sistem
ini biasa diterapkan di daerah dengan topografi berbukit sampai
bergunung dan biasanya dikombinasikan dengan teknik konservasi lain
seperti tanaman pagar, saluran pembuangan air, dan lain-lain.
Penanaman menurut strip merupakan usaha pengaturan tanaman sehingga
tidak memerlukan modal yang besar.
Contour Strip
Cropping pada lahan yang kemiringannya tidak terlalu curam (sumber:
http://www.takdangaralin.com)
Contour
farming pada lahan yang miring curam (sumber:
http://www.bensoninstitute.org)
6.6.
Barisan Sisa Tanaman
Pada
dasarnya, sistem barisan sisa tanaman (trash
line)
ini sama dengan sistem strip. Sistem ini adalah teknik konservasi
tanah yang bersifat sementara dimana gulma/rumput/sisa tanaman yang
disiangi ditumpuk berbaris. Untuk daerah berlereng biasanya ditumpuk
mengikuti garis kontur. Penumpukan
ini selain dapat megurangi erosi dan menahan laju aliran permukaan
juga bisa berfungsi sebagai mulsa. Ketersediaan bahan sisa tanaman
harus cukup banyak sehingga penumpukannya membentuk struktur yang
lebih kuat. Sisa tanaman tersebut lemah dalam menahan gaya erosi air
dan akan cepat terdekomposisi sehingga mudah hanyut. Penggunaan
kayu-kayu pancang diperlukan untuk memperkuat barisan sisa tanaman
ini. Sistem ini cukup bagus untuk mempertahankan ketersediaan hara
melalui dekomposisi bahan organik dan melindungi tanah dari bahaya
erosi sampai umur tanaman <5 bulan (Dariah et
al.,
1998).
Barisan
sisa tanaman tidak memerlukan banyak tenaga kerja. Untuk pembuatan
barisan sisa tanaman hanya memerlukan antara 10-30 HOK/ha (Agus et
al.,
1999). Pada tahun kedua perlu dibuat barisan sisa tanaman yang baru.
6.7.
Tanaman Penutup Tanah
Tanaman
penutup tanah (cover
crop)
adalah tanaman yang biasa ditanam pada lahan kering dan dapat menutup
seluruh permukaan tanah. Tanaman yang dipilih sebagai tanaman penutup
tanah umumnya tanaman semusim/tahunan dari jenis legum yang mampu
tumbuh dengan cepat, tahan kekeringan, dapat memperbaiki sifat tanah
(fisik, kimia, dan biologi) dan menghasilkan umbi, buah, dan daun.
Menurut Lal (1978), tanaman penutup tanah mampu meningkatkan laju
infiltrasi. Laju infiltrasi pada tanah bera (bare
soil)
atau belum ditanami, tanah bera alami (natural
fallow),
tanah yang ditanami Paspalum
notatum, Stylosanthes gracilis, Bracharia ruziensis, Pueraria
phaseoloides, Centrocema pubescens,
dan Psophocarpus
palustris masing-masing
adalah 6; 7,5; 8; 18; 21; 25; dan 33 cm/jam, sedangkan kumulatif
infiltrasi pada masing-masing perlakuan juga beragam.
Tanaman
penutup tanah dibedakan menjadi empat (Agus et
al.,
1999), yaitu: (1) tanaman penutup tanah rendah seperti centrosema
(Centrosema
pubescens),
pueraria (Pueraria
javanica)
dan benguk (Mucuna
sp.);
(2) tanaman penutup tanah sedang seperti lamtoro (Leucaena
leucocephala)
dan gamal (Gliricidia
sepium);
(3) tanaman penutup tanah tinggi seperti sengon (Periserianthes
falcataria);
dan (4) belukar lokal (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang
Kurnia, 2003).
Tanaman
penutup tanah rendah, dapat ditanam bersama tanaman pokok maupun
menjelang tanaman pokok ditanam. Tanaman penutup tanah sedang dan
tinggi pada dasarnya seperti tanaman sela dimana tanaman pokok
ditanam di sela-sela tanaman penutup tanah. Dapat juga tanaman pokok
ditanam setelah tanaman penutup tanah dipanen.
Tanaman
penutup tanah berupa legume menjalar ditanam di antara residu (sisa
panen) tanaman sebelumnya (sumber: http://www.uhdp.org/)
Tanaman
penutup tanah dimaksudkan untuk menambah penghasilan petani dari
hasil panennya, selain itu juga untuk memperbaiki sifat tanah karena
mampu menambat N dari udara dan sisa tanamannya dapat dijadikan
sumber bahan organik. Sebagai contoh tanaman penutup tanah dari jenis
legum seperti Mucuna
sp.
sangat besar kontribusinya dalam memperbaiki produktivitas tanah.
Selain mampu mengurangi pengaruh keracunan Al pada tanaman, Mucuna
sp.
juga merupakan sumber unsur hara bagi tanaman. Kandungan hara Mucuna
sp.
sebagai berikut: N=2,32%; P=0,20%; dan K=1,97% (Adiningsih dan
Mulyadi, 1992). Ini berarti bahwa setiap pengembalian 1 t biomassa
kering Mucuna
sp.
sebagai mulsa, maka akan diperoleh sekitar 23 kg N; 2 kg P dan 20 kg
K yang setara dengan 52 kg urea; 10 kg TSP, dan 39 kg KCl. Hasil ini
jelas akan memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi petani dalam
memenuhi kebutuhan lahannya terhadap pupuk.
6.8.
Penyiangan parsial
Penyiangan
parsial merupakan teknik dimana lahan tidak disiangi seluruhnya yaitu
dengan cara menyisakan sebagian rumput alami maupun tanaman penutup
tanah (lebar sekitar 20-30 cm) sehingga di sekitar batang tanaman
pokok akan bersih dari gulma (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan
Undang Kurnia, 2003). Tanaman penutup tanah yang tidak disiangi akan
berfungsi sebagai penahan erosi. Pada dasarnya teknik ini menyerupai
strip rumput dimana vegetasi gulma mampu menahan aliran permukaan dan
mengendapkan material terangkut. Hasil tanaman yang disiangi
dikembalikan ke lahan atau ditumpuk sebagai barisan sisa tanaman
sehingga dapat menambah bahan organik bagi tanah dan memperbaiki
sifat tanah.
Teknik
penyiangan yang termasuk dalam penyiangan parsial adalah:
(1).
Strip
tumbuhan alami (Natural
Vegetative Strips =
NVS)
Pada
dasarnya teknik ini adalah menyisakan sebagian lahan yang tidak
disiangi dan tidak ditanami sehingga rumput alami tumbuh membentuk
strip yang kurang lebih sejajar dengan garis kontur. Teknik
ini banyak diterapkan untuk tanaman semusim dan sudah berkembang di
Mindanao Utara, Filipina (Agus et
al.,
2002). Meskipun teknik ini efektif mengurangi erosi, tetapi teknik
ini juga mengurangi areal produktif lahan pertanian sekitar 5-15%.
Strip
vegetasi alamiah untuk mengendalikan erosi, limpasan permukaan dan
kesuburan tanah (sumber: lakesuperiorstreams.org)
(2).
Penyiangan
sekeliling batang tanaman pokok
Teknik
ini dapat diterapkan pada penyiangan dimana tanah tertutupi oleh
gulma rumput maupun tanaman penutup tanah lain yang sengaja ditanam.
Penyiangan dilakukan di sekeliling batang tanaman pokok dengan
diameter sekitar 120 cm (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan
Undang Kurnia, 2003).
Dengan
memanfatkan teknik penyiangan ini pada areal tanaman kopi umur satu
tahun dengan kemiringan lereng 60% dan curah hujan sebesar 1.338 mm
(selama 6 bulan dari tanggal 1 Mei sampai 30 Oktober 1980) tingkat
aliran permukaan hanya sebesar 1,8% dari curah hujan dan erosi
sebesar 1,9 t/ha. Sedangkan pada tanaman kopi umur 3 tahun dengan
lereng 62-63% dan umur 16 tahun dengan kelerengan 46-49%, curah hujan
yang sama menghasilkan aliran permukaan berturut-turut sebesar 3,4%
dan 6,3% dari jumlah curah hujan dan erosi yang dihasilkan
berturut-turut sebesar 1,6 dan 1,3 t/ha (Gintings, 1982 dalam
Agus
et
al,
2002). Penyiangan sekeliling batang tanaman pokok ini juga
dimaksudkan, untuk mencegah hama dan penyakit menyerang tanaman pokok
dengan tetap memelihara keberadaan tanaman penutup tanah.
6.9.
Penerapan Pola Tanam
Pola
tanam adalah sistem pengaturan waktu tanam dan jenis tanaman sesuai
dengan iklim, kesesuaian tanah dengan jenis tanaman, luas lahan,
ketersediaan tenaga, modal, dan pemasaran. Pola tanam berfungsi
meningkatkan intensitas penutupan tanah dan mengurangi terjadinya
erosi. Biasanya petani sudah mempunyai pengetahuan tentang pola tanam
yang cocok dengan keadaan biofisik dan sosial ekonomi keluarganya
berdasarkan pengalaman dan kebiasaan pendahulunya. Pengalaman
menunjukkan bahwa dalam suatu usaha tani, erosi masih terjadi.
Pemilihan pola tanam yang tepat dapat meningkatkan keuntungan bagi
petani dan meningkatkan penutupan tanah sehingga erosi dapat
dikurangi. Misalnya penanaman padi gogo yang disisipi jagung pada
awal musim hujan, setelah panen disusul penanaman kedelai dan pada
saat bera ditanami benguk (Mucuna
sp.).
Jenis tanaman dapat lebih bervariasi tergantung keinginan petani dan
daya dukung lahannya (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang
Kurnia, 2003).
Pertanaman
majemuk yang merupakan salah satu bagian dalam pola tanam pada
dasarnya merupakan sistem dimana satu bidang olah ditanami lebih dari
satu jenis tanaman pangan. Misalnya dalam satu bidang olah ditanami
sekaligus tanaman jagung, padi gogo, mukuna (benguk), dan kedelai.
Sistem ini bertujuan untuk mempertinggi intensitas penggunaan lahan,
dan dapat mengurangi risiko gagal panen untuk salah satu tanaman,
meningkatkan nilai tambah bagi petani dan juga termasuk tindakan
pengendalian hama dan pengendalian erosi. Pada tahun 1974, hasil
penelitian IRRI membuktikan bahwa populasi hama penggerek jagung
(Ostrinia
nubilalis)
pada penanaman tumpang sari antara jagung dan kacang tanah berada
dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah populasi
hama tersebut pada saat jagung ditanam secara monokultur.
Dengan
penerapan pertanaman majemuk, penutupan tanah akan lebih rapat
sehingga mampu melindungi tanah dari pukulan air hujan secara
langsung dan menahan aliran permukaan. Sistem pertanaman yang
termasuk sistem pertanaman majemuk adalah sistem pergiliran tanaman
(crop
rotation),
tumpang sari (inter
cropping),
dan tumpang gilir (relay
cropping).
(1).
Pergiliran tanaman
Pergiliran
tanaman (crop
rotation)
adalah sistem bercocok tanam dimana sebidang lahan ditanami dengan
beberapa jenis tanaman secara bergantian. Tujuan utama dari sistem
ini adalah untuk memutuskan siklus hama dan penyakit tanaman dan
untuk meragamkan hasil tanaman. Pergantian tanaman ada yang dilakukan
secara intensif dimana setelah panen tanaman pertama kemudian
langsung ditanami tanaman kedua dan ada pula yang dibatasi periode
bera. Daerah yang memiliki musim kering (MK) <4 bulan sangat baik
untuk menerapkan sistem ini (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan
Undang Kurnia, 2003).
Secara
umum ternyata erosi pada tanah Tropaqualfs dipengarujhi oleh pola
pergiliran tanaman. Penggunaan sistem pergiliran tanaman intensif
secara berurutan, antara tanaman pertama yang disusul tanaman kedua
dan seterusnya mampu menekan erosi secara nyata dibandingkan lahan
yang hanya diolah tanpa ditanami. Pengaruh nyata tersebut dihasilkan
dari fungsi tanaman sebagai pengikat tanah (nilai C koefisien tanaman
= 0,371) serta penambahan bahan organik dari sisa tanaman tersebut
sebagai mulsa dan pembenah tanah sehingga tahan terhadap erosi.
Penggunaan sistem ini disarankan untuk tetap menggunakan pupuk dan
teknik konservasi tanah, sehingga hasil tanaman dapat maksimal dan
lahan yang dipergunakan dapat terjaga produktivitasnya. Dari segi
konservasi tanah, pergiliran tanaman memberikan peluang untuk
mempertahankan penutupan tanah, karena tanaman kedua ditanam setelah
tanaman pertama dipanen. Demikian
seterusnya, sehingga sepanjang tahun intensitas penutupan tanah
senantiasa dipertahankan. Kondisi ini akan mengurangi risiko tanah
tererosi akibat terpaan butir-butir air hujan dan aliran permukaan.
The
rotation of crops is not only necessary to offer a diverse "diet"
to the soil micro organisms, but as they root at different soil
depths, they are capable of exploring different soil layers for
nutrients. Nutrients that have been leached to deeper layers and that
are no longer available for the commercial crop, can be "recycled"
by the crops in rotation. This way the rotation crops function as
biological pumps. Furthermore, a diversity of crops in rotation leads
to a diverse soil flora and fauna, as the roots excrete different
organic substances that attract different types of bacteria and
fungi, which in turn, play an important role in the transformation of
these substances into plant available nutrients. Crop rotation also
has an important phytosanitary function as it prevents the carry over
of crop-specific pests and diseases from one crop to the next via
crop residues.
Efek
Rotasi Tanaman a.l.:
- Diversitas yang lebih tinggi dalam produksi tanaman, sehingga gizi bagi manusia dan ternak juga lebih beragam.
- Reduksi gangguan hama, penyakit dan gulma.
- Lebih banyaknya ragam biopores dalam tanah yang diciptakan oelh beragam akar tanaman (beragam bentuk, ukuran dan kedalaman akar).
- Lebih baiknya distribusi air dan hara dalam profil tanah.
- Exploration for nutrients and water of diverse strata of the soil profile by roots of many different plant species resulting in a greater use of the available nutrients and water.
- Increased nitrogen fixation through certain plant-soil biota symbionts and improved balance of N/P/K from both organic and mineral sources.
- Peningkatan pembentukan humus.
Pola
pergiliran (rotasi) tanaman dalam sehatun untuk menjaga kesuburan
tanah (sumber: http://www.fao.org/ag/ca/1b.html)
(2).
Tumpang sari
Tumpang
sari (intercropping)
adalah sistem bercocok tanam dengan menggunakan dua atau lebih jenis
tanaman yang ditanam serentak/bersamaan pada sebidang tanah. Sistem
tumpang sari sebagian besar dikelola pada pertanian lahan kering yang
hanya menggantungkan air hujan sebagai sumber air utama. Sistem
tumpang sari adalah salah satu usaha konservasi tanah yang efektif
dalam memanfaatkan luas lahan. Tanaman
yang ditanam dapat berupa jagung dengan kacang tanah, jagung dengan
kedelai, dan sebagainya. Tanaman tersebut dapat berupa tanaman
penambat nitrogen, berperakaran dalam maupun dangkal yang pada
prinsipnya saling menguntungkan (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto,
dan Undang Kurnia, 2003).
Kerapatan
penutupan tanah akan sangat menguntungkan untuk pencegahan erosi,
mempertahankan kadar lengas tanah karena evaporasi terhambat,
memperbaiki kondisi tanah karena aktivitas perakaran mempertinggi
bahan organik tanah. Hasil ganda yang diperoleh dalam satu luasan
lahan dapat meningkatkan pendapatan petani. Setelah tanaman dalam
tumpang sari tersebut dipanen sebaiknya tanah langsung ditanami
dengan tanaman pangan lain ataupun tanaman penutup tanah yang mampu
tumbuh cepat untuk melindungi tanah, sehingga erosi dapat dikurangi.
Tumpangsari
pepaya dengan kacang-kacangan (sumber:
http://koropedang.multiply.com/journal/item/20/Tumpangsari_)
(3).
Tumpang gilir
Tumpang
gilir (relay
cropping)
adalah cara bercocok tanam dimana satu bidang lahan ditanami dengan
dua atau lebih jenis tanaman dengan pengaturan waktu panen dan tanam.
Pada sistem ini, tanaman kedua ditanam menjelang panen tanaman musim
pertama. Contohnya adalah tumpang gilir antara tanaman jagung yang
ditanam pada awal musim hujan dan kacang tanah yang ditanam beberapa
minggu sebelum panen jagung. Sistem ini diterapkan untuk mempertinggi
intensitas penggunaan lahan. Penanaman tanaman kedua sebelum tanaman
pertama dipanen dimaksudkan untuk mempercepat penanamannya dan masih
mendapatkan air hujan yang cukup untuk pertumbuhan dan produksinya.
Tanaman pertama tidak terlalu terpengaruh akibat kompetisi tanaman
kedua karena tanaman pertama telah melewati fase pertumbuhan
vegetatifnya. Begitu pula dengan tanaman kedua yang mendapatkan air
dan hara yang cukup sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan
vegetatifnya (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia,
2003).
Dari
segi konservasi, penutupan tanah yang rapat pada tumpang gilir
mempunyai pengaruh yang cukup baik dalam menahan erosi. Penerapan
teknik ini perlu diiringi dengan penerapan teknik konservasi tanah
yang lain seperti penambahan bahan organik, penutup tanah dan jika
perlu diterapkan tindakan sipil teknis. Mengingat intensitas tanaman
yang tinggi, pemupukan juga perlu dilaksanakan. Penambahan sisa
tanaman yang dijadikan mulsa akan mengoptimalkan kemampuan tanah
dalam menahan erosi selain menyediakan kebutuhan tanaman akan hara.
Pola tanam yang diintroduksikan harus mampu meningkatkan efektivitas
penggunaan lahan dan penggunaan air melalui pertimbangan biofisik
lahan dan sosial ekonomi suatu wilayah. Perbedaan
pola tanam menghasilkan komoditas serta intensitas pertanaman yang
berbeda. Pola tanam juga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan hara terutama jika pola tanam yang diintroduksi mencakup
tanaman-tanaman dengan kedalaman perakaran yang berbeda.
Pola
tanam dengan mempertimbangkan kondisi iklim dapat disajikan sebagai
berikut (Agus et
al.,
1999):
a.
Bila bulan kering dalam satu tahun tidak ada atau hanya satu bulan,
dapat dilakukan pertanaman sepanjang tahun.
b.
Bila bulan kering 2-3 bulan setahun, dapat dilakukan pertanaman
sepanjang tahun tetapi dengan perencanaan lebih hati-hati terhadap
teknik konservasi tanahnya, pemeliharaan, pemupukan, dan
pemanenannya.
c.
Bila bulan kering 4-6 bulan setahun, dapat dilakukan dua kali
penanaman dengan tumpang gilir.
d.
Bila bulan kering 7-9 bulan setahun, pertanaman dapat dilakukan
sekali, selebihnya ditanami tanaman penutup tanah.
e.
Bila bulan kering sepanjang tahun, daerah tersebut tidak cocok untuk
tanaman pangan bila tanpa irigasi atau sistem pemanenan air.
Pola
tanam dalam setahun yang melibatkan padi dan palawija. Padi merupakan
tanaman serealia utama, dan tanaman lainnya juga digunakan dalam pola
tanam dengan anggapan untuk meningkatkan produksi hijauan pakan
ternak.
Tanaman palawija meliputi cowpeas, maize, groundnut, pigeon pea,
sorghum dan ubijalar. Kriteria pemilihan tanaman sela adalah:
- Jenis ternak yang dipelihara.
- Komplementaritas tanaman pangan dan tanaman pakan.
- Potensi menghasilkan hijauan dan biomasa residu (seresah)
- Promosi kesuburan tanah.
- Tahan kekeringan dan musim kering yang panjang.
- Tahan naungan pada lahan kering.
- Kebutuhan sumberdaya.
Penelitian
tentang karakteristik curah hujan, karakteristik tanah, metode
pemupukan, varietas unggul, pengendalian hama dan penyakit, pemasaran
maupun sosial dan ekonomi pedesaan sangat diperlukan dalam menentukan
pola tanam di suatu wilayah dan keberhasilan penerapannya oleh
petani. Penerapan pola tanam tidak dapat dipisahkan dengan
karakteristik curah hujan, karena tiap-tiap tanaman memiliki respon
yang berbeda terhadap ketersediaan air. Karena distribusi curah hujan
tidak merata sepanjang tahun, maka model pola tanam yang didasari
dengan distribusi curah hujan akan memberikan hasil yang lebih baik.
Salah satu model pola tanam yang diterapkan di DAS Jratunseluna
(P3HTA, 1988). Masing-masing adalah:
a.
Model A: kacang tanah tumpang sari dengan jagung disisipi oleh ubi
kayu dan diikuti oleh kacang tanah.
b.
Model B: kacang tanah tumpang sari dengan jagung disisipi oleh ubi
kayu dan diikuti oleh cabai.
c.
Model C: kacang tanah tumpang sari dengan jagung disisipi oleh ubi
kayu dan diikuti mentimun.
Hubungan
curah hujan dan hari hujan dan beberapa alternatif pola tanam di Desa
Kandangan, Semarang tahun 1986/1987 (P3HTA, 1988)
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurachman
A., Sutono, dan I. Juarsah. 1997.
Pengkayaan bahan organik tanah dalam upaya pelestarian usaha tani
lahan kering di DAS bagian hulu.hlm. 89-105 dalam
Prosiding
Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Makalah
Review. Cisarua-Bogor, 4-6 Maret 1997. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Abdurachman,
A., A. Barus, Undang Kurnia, dan Sudirman. 1985.
Peranan pola tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian
tanaman semusim. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 4:41-46.
Abdurachman,
A., dan S. Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi lahan
berlereng. hlm.103-145 dalam
Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Abdurachman,
A., S. Abujamin, dan Suwardjo. 1982. Beberapa cara konservasi tanah
pada areal pertanian rakyat. Disampaikan pada Pertemuan
Tahunan Perbaikan Rekomendasi Teknologi tgl. 13-15 April. Pusat
Penelitian Tanah, Bogor (Tidak dipublikasikan).
Abujamin,
S. 1978. Peranan rumput dalam usaha konservasi tanah. Seminar LP.
Tanah, 8 Juli 1978 (Tidak dipublikasikan).
Abujamin,
S., A. Adi, dan U. Kurnia. 1983. Strip rumput permanen sebagai salah
satu cara konservasi tanah. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 1: 16-20.
Adiningsih,
J.S. dan Mulyadi. 1992. Alternatif teknik rehabilitasi dan
pemanfaatan lahan alang-alang. hlm. 29-46 dalam
Prosiding
Seminar Lahan Alang-alang: Pemanfaatan Lahan Alang-alang untuk
Usahatani Berkelanjutan. Bogor,
1 Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Agus,
F., A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Tala’ohu, A Dariah, B.R.
Prawiradiputra, B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi
Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan
Reboisasi Pusat. Jakarta.
Agus,
F., A.Ng. Ginting, dan M. van Noordwidjk. 2002. Pilihan Teknologi
Agroforestri/Konservasi Tanah untuk Areal Pertanian Berbasis Kopi di
Sumberjaya, Lampung Barat. International
Centre for Research in Agroforestry, Bogor.
Agus,
F., A.Ng. Ginting, U. Kurnia, A. Abdurachman, and P. van der Poel.
1998. Soil erosion research in Indonesia: Past experience and future
direction. pp. 255-267. In
F.W.T.
Penning de Vries, F. Agus, and J. Kerr (Eds.).
Soil Erosion at Multiple Scales: Principles and Methods for Assessing
Causes and Impacts. CAB International, Wallingford, UK.
Anonim,
1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi tanah. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
Arsyad,
S. 1976. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Arsyad,
S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.
Bezkorowajnyi,
P.G.; Gordon, A.M.; McBride, R.A. 1993. The effect of cattle foot
traffic on soil compaction in a silvo-pastoral system. Agroforestry
Systems. 21: 1-10.
Clason,
T.R. 1995. Economic implications of silvipastures on southern pine
plantation. Agroforestry Systems. 19: 227-238.
Dariah,
A., S. Damanik, S.H. Tala'ohu, D. Erfandi, A. Rachman, dan N.L.
Nurida. 1998.
Studi teknik konservasi tanah pada lahan pertanaman akar wangi di
Kecamatan Semarang, Kabupaten Garut. hlm. 185-197 dalam
Prosiding
Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai: Alternatif dan Pendekatan Implementasi Teknologi
Konservasi Tanah. Bogor, 27-28 Oktober 1998. Sekretariat Tim
Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Bogor.
Erfandi,
D., Ai Dariah, dan H. Suwardjo. 1989. Pengaruh Alley cropping
terhadap erosi dan produktivitas tanah Haplothrox Citayam. hlm. 53-62
dalam
Prosiding
Pertemuan Teknis Penelitian Tanah Bidang Konservasi Tanah dan Air.
Bogor, 22-24 Agustus 1989. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Erfandi,
D., H. Suwardjo, dan O. Sopandi. 1994. Alternatif teknologi
penanggulangan lahan kritis akibat perladangan berpindah di Propinsi
Jambi. hlm. 1-10 dalam
Risalah
Hasil Penelitian Peningkatan Produktivitas dan Konservasi Tanah untuk
Mengatasi Masalah Perladangan Berpindah. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
FAO.
1976. Soil Conservation for Development Countries. Soil Bulletin No.
30.
Foth,
H.D. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Foth,
H.D., 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. (Fundamentals of Soil Science).
Gadjah Mada Univesity Press. Yogyakarta.
Hamilton,
L.S. dan P.N.King, 1997. Daerah
Aliran Sungai Hutan Tropika (Tropical Forested Watersheds). Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Harsono,
1995. Hand Out Erosi dan Sedimentasi. Program Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Haryati,
U., Achmad Rachman, dan A. Abdurachman. 1990.
Aplikasi mulsa dan pupuk hijau Sonosiso untuk pertanaman jagung pada
tanah Usthorthents di Gondanglegi. hlm. 1-8 dalam
Risalah
Pembahasan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi
Tanah. Tugu-Bogor,
11-13 Januari 1990. Proyek
Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (P3HTA), Salatiga,
Departemen Pertanian.
Haryati,
U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995.
Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman dengan
berbagai teknik konservasi pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran,
Jawa Tengah. Pembrit.
Penel. Tanah dan Pupuk 13: 40-50.
Irawan.
2002. Investment analysis of Alley cropping for sustainable farming
of sloping lands. p. 51-62. In
Proceedings
Management of Sloping Lands for Sustainable Agriculture Final Report
of Asialand Sloping. Land Project, Phase 4.
Jaindl,
R.G.; Sharrow, S.H. 1988. Oak/Douglas-fir/sheep: A three crop
silvopastoral system. Agroforestry Systems. 6: 147-152.
Kasdi
Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia. 2003. TEKNIK
KONSERVASI TANAH SECARA VEGETATIF. Seri
Monograf No. 1. Sumber Daya Tanah Indonesia. BALAI
PENELITIAN TANAH. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Killham,
K. 1994. Soil Ecology. Cambridge University Press.
Kurnia,
U., Ai Dariah, Suwarto, dan K. Subagyono. 1997. Degradasi lahan dan
konservasi tanah di Indonesia: Kendala dan pemecahannya. hlm. 27-45
dalam
Prosiding
Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan
Agroklimat: Makalah Review. Cisarua-Bogor,
4-6 Maret 1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Kurnia,
U., N. Sinukaban, F.G. Suratmo, H. Pawitan, dan H. Suwardjo, 1997.
Pengaruh teknik rehabilitasi lahan terhadap produktivitas tanah dan
kehilangan hara. Jurnal Tanah dan Iklim 15: 10-18.
Kurnia,
U., Sudirman, dan H. Kusnadi. 2002. Teknologi rehabilitasi dan
reklamasi lahan kering. hlm. 147-181 dalam
Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Lal,
R. 1978. Influence
of tillage methods and residue mulches on soil structure and
infiltration rate. p. 393-402. In
Emerson,
W.W., R.D. Bond, and A.R. Dexter (Eds.)
Modification of Soil Structure. John Willey & Sons. Chichester,
New York, Brisbane, Toronto.
Lewis,
C.E.; Burton, G.W.; Monson, W.G.; McCormick, W.C. 1983. Integration
of pines, pastures, and catte in south Georgia. Agroforestry Systems.
1: 277-297.
Mawardi,
M., 1991. Hand Out Hidrologi Pertanian. Program
Studi Mekanisasi Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
P3HTA.
1987. Penelitian Terapan Pertanian Lahan Kering dan Konservasi. hlm.
6. UACP-FSR.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
P3HTA.
1988. Laporan Tahunan 1986/1987. UACP-FSR. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Priyono,
N.S. dan Siswamartana S. 2002. Hutan Pinus dan Hasil Air. Pusat
Pengembangan Sumber Daya Hutan Perhutani, Cepu.
Puslittanak.
1991. Laporan Tahunan 1988/1989. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Rachman,
A., A. Abdurachman, Umi Haryati, dan Soleh Sukmana. 1990. Hasil
hijauan legum, panen tanaman pangan dan pembentukan teras dalam istem
pertanaman lorong. hlm. 19-25 dalam
Risalah
Pembahasan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi
Tanah. Tugu-Bogor,
11-13 Januari 1990. Proyek
Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (P3HTA), Salatiga.
Departemen Pertanian.
Rachman,
A., H. Suwardjo, R.L. Watung, dan H. Sembiring. 1989.
Efisiensi teras bangku dan teras gulud dalam pengendalian erosi. hlm.
11- 17 dalam
Risalah
Diskusi Ilmiah Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi
Tanah di Daerah Aliran Sungai. Batu-
Malang, 1-3 Maret 1989. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah
dan Air (P3HTA), Salatiga. Departemen
Pertanian.
Sharrow,
S.H.; Fletcher, R.A. 1995. Trees and pastures: 40 years of
agrosilvopastoral experience in western Oregon. In: Rietveld, W.J.,
tech. coord. Agroforestry and sustainable systems: Symposium
proceedings; 1994 August 7-10; Fort Collins, CO. General Technical
Report RM-GTR-261. Fort Collins, CO: U.S. Dept. of Agriculture,
Forest Service, Rocky Mountain Forest and Range Experiment Station:
47-52.
Sinukaban,
N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Lestari dengan Konservasi.
Faperta IPB. Bogor.
Sinukaban,
N., 2003. Bahan Kuliah Teknologi Pengelolaan DAS. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Subagyono,
K., T. Vadari, Sukristiyonubowo, R.L. Watung, and F. Agus. 2004. Land
Management for Controlling Soil Erosion at Micro catchment Scale in
Indonesia. p. 39-81. In
Maglinao,
A.R. and C. Valentin (Eds.)
Community-Based Land and Water Management Systems for Sustainable
Upland Development in Asia: MSEC Phase 2. 2003 Annual Report.
International Water management Institute (IWMI). Southeast Asia
Regional Office. Bangkok.
Thailand.
Suhardjo,
M., A. Abas Idjudin, dan Maswar. 1997. Evaluasi beberapa macam strip
rumput dalam usaha pengendalian erosi pada lahan kering berteras di
lereng perbukitan kritis D.I. Yogyakarta. hlm. 143-150 dalam
Prosiding
Seminar Rekayasa Teknologi Sistem Usahatani Konservasi. Bagian
Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis
Yogyakarta (YUADP Komponen-8). Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Sukirno,
1995. Hand Out Teknik Konservasi Tanah. Program Studi Teknik
Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sukmana,
S., H. Suwardjo, A. Abdurachman, and J. Dai. 1985. Prospect of
Flemingia
congesta Roxb.
for reclamation and conservation of volcanic skeletal soils. Pembrit.
Penel. Tanah dan Pupuk 4:50-54
Suwardjo,
A. Abdurachman, and Sofijah Abujamin. 1989. The use of crop residue
mulch to minimize tillage frequency. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk.
8: 31-37
Suwardjo,
H., Z. Kadir, dan A. Abdurachman. 1987.
Pengaruh cara pemanfaatan sisa tanaman terhdap kadar bahan organik
dan erosi pada tanah Podsolik Merah Kuning di Lampung. hlm. 409-424
dalam
Prosiding
Pertemuan Teknis Penelitian Tanah. Cipayung,
21-
Suwardjo.
1981. Peranan Sisa-Sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada
Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi
FPS IPB. Bogor.
Thomson,
L.M. 1957. Soil and Soil Fertility. Mc Graw-Hill Book Company Inc.
New York.
Troeh,
F.R., J.A. Hobbs, and R.L. Donahue. 1980. Soil and Water Conservation
for Productivity and Environmental Protection. Prentice-Hall, Inc.,
Englewood Cliffs, New Jersey. USA.
Watung,
R.L., T. Vadari, Sukristiyonubowo, Subiharta, and F. Agus. 2003.
Managing Soil Erosion in Kaligarang Catchment of Java, Indonesia.
Phase 1 Project Completion Report. International Water management
Institute (IWMI). Southeast Asia Regional Office. Bangkok. Thailand.
Wolters,
G.L. 1981. Timber thinning and prescribed burning as methods to
increase herbage in grazed and protected longleaf pine ranges. J.
Range Management. 34: 494-497.
1. Pendahuluan
Erosi tanah adalah peristiwa terangkutnya tanah dari satu tempat ke tempat lain oleh air atau angin. Pada dasarnya ada tiga proses penyebab erosi yaitu pelepasan (detachment) partikel tanah, pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation). Erosi menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas (top soil) dan unsur hara yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Erosi yang disebabkan oleh air hujan merupakan penyebab utama degradasi lahan di daerah tropis termasuk Indonesia. Tanah-tanah di daerah berlereng mempunyai risiko tererosi yang lebih besar daripada tanah di daerah datar. Selain tidak stabil akibat pengaruh kemiringan, air hujan yang jatuh akan terusmenerus memukul permukaan tanah sehingga memperbesar risiko erosi. Berbeda dengan daerah datar, selain massa tanah dalam posisi stabil, air hujan yang jatuh tidak selamanya memukul permukaan tanah karena dengan cepat akan terlindungi oleh genangan air.
Tanah yang hilang akibat proses erosi tersebut terangkut oleh air sehingga menyebabkan pendangkalan saluran drainase termasuk parit, sungai, dan danau. Erosi yang telah berlanjut menyebabkan rusaknya ekosistem sehingga penanganannya akan memakan waktu lama dan biaya yang mahal. Menurut Kurnia et al. (2002), kerugian yang harus ditanggung akibat degradasi lahan tanpa tindakan rehabilitasi lahan mencapai Rp 291.715,- /ha, sedangkan apabila lahan dikonservasi secara vegetatif, maka kerugian akan jauh lebih rendah. Pencegahan dengan teknik konservasi yang tepat sangat diperlukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor penyebab erosi.
Kondisi sosial ekonomi dan sumber daya masyarakat juga menjadi pertimbangan sehingga tindakan konservasi yang dipilih diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan, menambah pendapatan petani serta memperkecil risiko degradasi lahan. Pada dasarnya teknik konservasi dibedakan menjadi tiga yaitu: (a) vegetatif; (b) mekanik; dan (c) kimia. Teknik konservasi mekanik dan vegetatif telah banyak diteliti dan dikembangkan. Namun mengingat teknik mekanik umumnya mahal, maka teknik vegetatif berpotensi untuk lebih diterima oleh masyarakat. Teknik konservasi tanah secara vegetatif mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan teknik konservasi tanah secara mekanis maupun kimia, antara lain karena penerapannya relatif mudah, biaya yang dibutuhkan relatif murah, mampu menyediakan tambahan hara bagi tanaman, menghasilkan hijauan pakan ternak, kayu, buah maupun hasil tanaman lainnya. Hal tersebut melatarbelakangi pentingnya informasi mengenai teknologi konservasi tanah secara vegetatif.
Dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengelolaan lahan harus menerapkan suatu teknologi yang berwawasan konservasi. Suatu teknologi pengelolaan lahan yang dapat mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan bilama memiliki ciri seperti : dapat meningkatkan pendapatan petani, komoditi yang diusahakan sesuai dengan kondisi bio fisik lahan dan dapat diterima oleh pasar, tidak mengakibatkan degradasi lahan karena laju erosi kecil, dan teknologi tersebut dapat diterapkan oleh masyarakat.
Ada beberapa teknologi untuk merehabilitasi lahan dalam kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan (Sinukaban, 2003) yaitu :
a. Agronomi yang meliputi teknis agronomis seperti TOT, minimum tillage, countur farming, mulsa, pergiliran tanaman (crop rotation), pengelolaan residu tanaman, dll.
b. Vegetatif berupa agroforestry, alley cropping, penanaman rumput.
c. Struktur/konstruksi yaitu bangunan konservasi seperti teras, tanggul, cek dam, Saluran, dll.
d. Manajemen, berupa perubahan penggunaan lahan.
Tanah dengan penutup tanah yang baik berupa vegetasi, mulsa residu tanaman akan memperkecil erosi dan limpasan permukaan. Harsono (1995), lahan tertutup dengan hutan, padang rumput dapat mengurangi erosi hingga kurang dari 1% dibandingkan dengan tanah terbuka. Permukaan tanah dengan penutupan yang baik dapat berdampak terhadap :
o Menyediakan cadangan air tanah
o Memperbaiki/menstabilkan struktur tanah,
o Meningkatkan kandungan hara tanah, sehingga lebih produktif
o Mempertahankan kondisi tanah dan air.
o Memperbaiki ekonomi petani.
Teknologi vegetatif (penghutanan) sering dipilih karena selain dapat menurunkan erosi dan sedimentasi di sungai-sungai juga memiliki nilai ekonomi (tanaman produktif) serta dapat memulihkan tata air suatu DAS.
Erosi adalah peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah, batuan, dan partikel lainnya) akibat transportasi angin, air atau es, karakteristik hujan, creep pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh makhluk hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut bio-erosi. Erosi tidak sama dengan pelapukan akibat cuaca, yang mana merupakan proses penghancuran mineral batuan dengan proses kimiawi maupun fisik, atau gabungan keduanya. Erosi sebenarnya merupakan proses alami yang mudah dikenali, namun di kebanyakan tempat kejadian ini diperparah oleh aktivitas manusia dalam tata guna lahan yang buruk, penggundulan hutan, kegiatan pertambangan, perkebunan dan perladangan, kegiatan konstruksi / pembangunan yang tidak tertata dengan baik dan pembangunan jalan. Tanah yang digunakan untuk menghasilkan tanaman pertanian biasanya mengalami erosi yang jauh lebih besar dari tanah dengan vegetasi alaminya. Alih fungsi hutan menjadi ladang pertanian meningkatkan erosi, karena struktur akar tanaman hutan yang kuat mengikat tanah digantikan dengan struktur akar tanaman pertanian yang lebih lemah. Bagaimanapun, praktek tata guna lahan yang maju dapat membatasi erosi, menggunakan teknik semisal terrace-building, praktek konservasi ladang dan penanaman pohon.
Dampak dari erosi adalah menipisnya lapisan permukaan tanah bagian atas, yang akan menyebabkan menurunnnya kemampuan lahan (degradasi lahan). Akibat lain dari erosi adalah menurunnya kemampuan tanah untuk meresapkan air (infiltrasi). Penurunan kemampuan lahan meresapkan air ke dalam lapisan tanah akan meningkatkan limpasan air permukaan yang akan mengakibatkan banjir di sungai. Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh aliran permukaan pada akhirnya akan mengendap di sungai (sedimentasi) yang selanjutnya akibat tingginya sedimentasi akan mengakibatkan pendangkalan sungai sehingga akan mempengaruhi kelancaran jalur pelayaran.
Erosi dalam jumlah tertentu sebenarnya merupakan kejadian yang alami, dan baik untuk ekosistem. Misalnya, kerikil secara berkala turun ke elevasi yang lebih rendah melalui angkutan air. erosi yang berlebih, tentunya dapat menyebabkan masalah, semisal dalam hal sedimentasi, kerusakan ekosistem dan kehilangan air secara serentak. Banyaknya erosi tergantung berbagai faktor. Faktor Iklim, termasuk besarnya dan intensitas hujan / presipitasi, rata-rata dan rentang suhu, begitu pula musim, kecepatan angin, frekuensi badai. faktor geologi termasuk tipe sedimen, tipe batuan, porositas dan permeabilitasnya, kemiringn lahan. Faktor biologis termasuk tutupan vegetasi lahan,makhluk yang tinggal di lahan tersebut dan tata guna lahan ooleh manusia.
Umumnya, dengan ekosistem dan vegetasi yang sama, area dengan curah hujan tinggi, frekuensi hujan tinggi, lebih sering kena angin atau badai tentunya lebih terkena erosi. Batuan induk Sedimen yang kaya pasir atau debu, terletak pada area dengan kemiringan yang curam, lebih mudah tererosi, begitu pula area dengan batuan lapuk atau batuan pecah. porositas dan permeabilitas sedimen atau batuan berdampak pada kecepatan erosi, berkaitan dengan mudah tidaknya air meresap ke dalam tanah. Jika air bergerak di bawah tanah, limpasan permukaan yang terbentuk lebih sedikit, sehingga mengurangi erosi permukaan. Sedimen yang mengandung banyak lempung cenderung lebih mudah bererosi daripada pasir atau silt.
Faktor yang paling sering berubah-ubah adalah jumlah dan tipe tutupan lahan. pada hutan yang tak terjamah, minerla tanah dilindungi oleh lapisan humus dan lapisan organik. kedua lapisan ini melindungi tanah dengan meredam dampak tetesan hujan. lapisan-lapisan beserta serasah di dasar hutan bersifat porus dan mudah menyerap air hujan. Biasanya, hanya hujan-hujan yang lebat (kadang disertai angin ribut) saja yang akan mengakibatkan limpasan di permukaan tanah dalam hutan. bila Pepohonan dihilangkan akibat kebakaran atau penebangan, derajat peresapan air menjadi tinggi dan erosi menjadi rendah. Kebakaran yang parah dapat menyebabkan peningkatan erosi secara menonjol jika diikuti denga hujan lebat.
2. Konservasi Tanah dan Air
Konservasi tanah adalah penempatan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Pemakaian istilah konservasi tanah sering diikuti dengan istilah konservasi air. Meskipun keduanya berbeda tetapi saling terkait. Ketika mempelajari masalah konservasi sering menggunakan kedua sudut pandang ilmu konservasi tanah dan konservasi air. Secara umum, tujuan konservasi tanah adalah meningkatkan produktivitas lahan secara maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah akibat erosi. Sasaran konservasi tanah meliputi keseluruhan sumber daya lahan, yang mencakup kelestarian produktivitas tanah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendukung keseimbangan ekosistem.
Penelitian tentang konservasi tanah telah dirintis sejak zaman Belanda tahun 1911, tetapi baru mulai berkembang pada tahun 1970- an, dengan berdirinya Bagian Konservasi Tanah dan Air, Lembaga Penelitian Tanah, Bogor (sekarang menjadi Kelompok Peneliti Konservasi Tanah dan Pengelolaan Air, Balai Penelitian Tanah). Penelitian-penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui proses erosi mulai dari pengelupasan tanah, pengangkutan sampai pengendapan material terangkut beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya serta akibat yang ditimbulkannya. Selanjutnya dilakukan pula penelitian dasar tentang teknik-teknik pencegahan erosi. Lahan-lahan yang diteliti sebagian besar berupa lahan dengan sifat tanah yang buruk (agregat yang tidak stabil, aerasi buruk, permeabilitas rendah dan infiltrasi tanah rendah, serta hara tersedia bagi tanaman rendah) dan lahan dengan kemiringan yang curam yang rawan terhadap erosi. Lahan dengan bentuk dan sifat tanah seperti di atas mendominasi keberadaan lahan kritis di Indonesia (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Umumnya, hasil-hasil penelitian yang telah dicapai mampu memberikan informasi praktis dalam perencanaan teknik konservasi tanah walaupun masih harus disempurnakan, karena sebagian besar teknologi konservasi dihasilkan dari penelitian pada skala petak kecil. Prediksi erosi pada petak kecil akan memberikan angka yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dari penelitiannya di Ungaran, Jawa Tengah, Agus et al. (2002) melaporkan bahwa besarnya erosi pada skala tampung mikro dengan penggunaan lahan berupa tumpang sari tanaman pangan semusim adalah sekitar 20 t/ha/tahun, pada penggunaan lahan rambutan sekitar 1,9 t/ha/tahun, dan campuran antara rambutan dan semak sebesar 1,7 t/ha/tahun. Sedangkan hasil penelitian dari Haryati et al. (1995) pada skala petak memberikan data erosi yang tiga kali lebih besar pada jenis tanah dan iklim yang tidak jauh berbeda.
Fenomena tersebut sangat menarik dan dapat dipergunakan untuk membantu menerangkan, bahwa ekstrapolasi langsung dari skala petak ke tampung mikro dan ke sub-DAS hasilnya akan bias. Oleh karena itu dalam beberapa tahun terakhir penelitian mengenai prediksi erosi dan pengaruh penggunaan lahan terhadap erosi diarahkan pada skala DAS mikro (Watung et al., 2003; Subagyono et al., 2004), dengan tujuan untuk mendapatkan angka prediksi erosi yang mewakili kondisi lapangan yang sangat penting dalam penetapan rekomendasi teknik konservasi.
Teknik konservasi tanah di Indonesia diarahkan pada tiga prinsip utama yaitu perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butirbutir hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah seperti pemberian bahan organik atau dengan cara meningkatkan penyimpanan air, dan mengurangi laju aliran permukaan sehingga menghambat material tanah dan hara terhanyut (Agus et al., 1999).
Manusia mempunyai keterbatasan dalam mengendalikan erosi sehingga perlu ditetapkan kriteria tertentu yang diperlukan dalam tindakan konservasi tanah. Salah satu pertimbangan yang harus disertakan dalam merancang teknik konservasi tanah adalah nilai batas erosi yang masih dapat diabaikan (tolerable soil loss). Beberapa sifatb dan kondisi tanah yang erat kaitannya dengan erosi adalah kedalaman tanah, permeabilitas lapisan bawah dan kondisi substratum. Karena pembentukan tanah di Indonesia yang termasuk daerah beriklim tropika basah diperkirakan dua kali lebih besar dari daerah beriklim sedang, maka penetapan erosi yang dapat diabaikan juga memperhatikan banyak faktor. Jika besarnya erosi pada tanah dengan sifat-sifat tersebut lebih besar daripada angka erosi yang masih dapat diabaikan, maka tindakan konservasi sangat diperlukan.
Ketiga teknik konservasi tanah secara vegetatif, mekanis dan kimia pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama yaitu mengendalikan laju erosi, namun efektifitas, persyaratan dan kelayakan untuk diterapkan sangat berbeda. Oleh karena itu pemilihan teknik konservasi yang tepat sangat diperlukan (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Restorasi lahan kering kritis di dataran tinggi dilakukan dengan cara penghutanan kembali secara alamiah (sumber: http://www.snh.org.uk/ uplandpathwork/4.5.shtml)
3. Teknik Vegetatif
Teknik konservasi tanah secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan tanaman/vegetasi maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari erosi, penghambat laju aliran permukaan, peningkatan kandungan lengas tanah, serta perbaikan sifat-sifat tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Pada dasarnya konservasi tanah secara vegetatif adalah segala bentuk pemanfaatan tanaman ataupun sisa-sisa tanaman untuk mengurangi erosi. Tanaman ataupun sisa-sisa tanaman berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air hujan maupun terhadap daya angkut air aliran permukaan (runoff), serta meningkatkan peresapan air ke dalam tanah.
Tajuk tumbuhan berfungsi menahan laju butiran air hujan dan mengurangi tenaga kinetik butiran air dan pelepasan partikel tanah sehingga pukulan butiran air dapat dikurangi. Air yang masuk di sela-sela kanopi (interception) sebagian akan kembali ke atmosfer akibat evaporasi. Fungsi perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butir air hujan merupakan hal yang sangat penting karena erosi yang terjadi di Indonesia penyebab utamanya adalah air hujan. Semakin rapat penutupannya akan semakin kecil risiko hancurnya agregat tanah oleh pukulan butiran air hujan. Batang tanaman juga menjadi penahan erosi air hujan dengan cara merembeskan aliran air dari tajuk melewati batang (stemflow) menuju permukaan tanah sehingga energi kinetiknya jauh berkurang. Batang juga berfungsi memecah dan menahan laju aliran permukaan. Jika energi kinetik aliran permukaan berkurang, maka daya angkut materialnya juga berkurang dan tanah mempunyai kesempatan yang relatif tinggi untuk meresapkan air. Beberapa jenis tanaman yang ditanam dengan jarak rapat, batangnya mampu membentuk pagar sehingga memecah aliran permukaan. Partikel tanah yang ikut bersama aliran air permukaan akan mengendap di bawah batang dan lama-kelamaan akan membentuk bidang penahan aliran permukaan yang lebih stabil.
Keberadaan perakaran mampu memperbaiki kondisi sifat tanah yang disebabkan oleh penetrasi akar ke dalam tanah, menciptakan habitat yang baik bagi organisme dalam tanah, sebagai sumber bahan organik bagi tanah dan memperkuat daya cengkeram terhadap tanah (Foth, 1995, Killham, 1994, Agus et al., 2002). Perakaran tanaman juga membantu mengurangi air tanah yang jenuh oleh air hujan, memantapkan agregasi tanah sehingga lebih mendukung pertumbuhan tanaman dan mencegah erosi, sehingga tanah tidak mudah hanyut akibat aliran permukaan, meningkatkan infiltrasi, dan kapasitas memegang air.
Apakah Vegetasi dapat Mengkonservasi Tanah dan Air?
Teknik konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara vegetatif dalam bentuk pengelolaan tanaman berupa pohon atau semak, baik tanaman tahunan maupun tanaman setahun dan rumput-rumputan. Teknologi ini sering dipadukan dengan tindakan konservasi tanah dan air secara pengelolaan.
Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat : (1) memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, (2) penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi, (3) disamping itu dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi.
Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah: 1) Melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan (menurunkan kecepatan terminal dan memperkecil diameter air hujan), 2) menurunkan kecepatan dan volume air runoff, 3) menahan partikel-partikel tanah pada tempetnya melelui sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan, dan 4) mempertahankan kapasitas tanah dalam menyimpan air; dan 5) meningkatkan laju infiltrasi dan perkolasi air dalam tanah.
Vegetasi secara umum dapat mencegah erosi, namun setiap jenis tanaman dan banyaknya tajuk terhadap erosi berbeda-beda. Pada tanaman yang rimbun kemungkinan erosi lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh jarang. Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi yaitu intersepai air hujan oleh tanaman, mengurangi kecepatan aliran dan energi perusak air serta meningkatkan efektivitas mikroorganisme yang berperan dalam proses humifikasi. Juga dapat menigkatkan agregasi dimana akar-akar tanaman dengan selaput koloidnya menyebabkan agregat menjadi stabil dan pengaruh traspirasi dimana terjadi peningkatan kehilangan air tanah melalui penguapan sehingga kemampuan menyerap air meningkat.
Sruktur tajuk taumbuhan pada suatu areal tertentu, jika berlapis dengan tanaman penutup tanah dan serasah akan memberikan ketahanan berganda terhadap pukulan butiran hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Menurut Soemarwoto (1983) bahwa selain berfungsi menghalangi pukulan langsung air hujan kepermukaan tanah, vegetasi penutup lahan juga menambah kandungan bahan organik tanah yang meningkatkan resistensi terhadap erosi yang terjadi. Selanjutnya, menurut Hardjowigeno (1987), pencegahan erosi dapat berlangsung secara efektif ap[abila paling sedikit 70 % permukaan lahan tertutup oleh vegetasi.
Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi terjadi melalui (a) intersepsi hujan oleh tajuk tumbuhan, (b) mengurangi laju aliran permukaan dan gaya dispersinya, (c) pengaruh akar dalam peningkatan granulasi dan porositas, (d) kegiatan biologi dalam tanah yang memperbaiki porositas, dan efek transpirasi yang mengeringkan tanah.
Fungsi lain vegetasi berupa tanaman kehutanan yang tak kalah pentingnya yaitu memiliki nilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan petani. Efek penutup tanah dapat dikelompokkan menjadi lima kategori :
1. Intersepsi terhadap curah hujan
2. Mengurangi kecepatan run off
3. Perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah.
4. Mempengaruhi aktifitas mikro organisme yang berakibat pada meninhkatkan porositas tanah.
5. Transpirasi tanaman akan berpengaruh pada lengas tanah pada hari berikutnya.
Hasil-hasil penelitian oleh Kelman (1969) dalam Hamilton, et al. (1997) di Mount APO Mindanau pada kemiringan 20% mengenai erosi pada berbagai penutup tanah seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh Penutup Tanah pada Erosi
No.
Penutup Tanah
Erosi Ton/ha/thn
Ratio thd hutan primer
1
Primary forest
0.09
1.0
2
Soft wood grassland
0.13
1.4
3
Imperata
0.18
2.0
4
New rice Kaingin
0.38
4.2
5
12 year old Kaingin
27.60
306.7
Erosi meningkat secara eksponensial dengan berkurangnya penutupan tanah. Pengelolaan tanaman penutup tanah secara intercropping dengan tanaman pohon dapat mengurangi erosi. Tanaman penutup tanah dapar berupa: Centrosema, Indegofera, Bahia grass, Guinea grass, Summer soy bean, Rice straw mulch. Hasilnya menunjukkan bahwa Bahia grass, Guinea grass dan Rice Straw mulch sangat efektif sekali untuk mencegah erosi dan run off.
Pengaruh berbagai penutup tanah, praktek-praktek pengelolaan penutup tanah dan praktek konservasi terhadap erosi pada perkebunan pisang dengan kemiringan yang cukup di Taiwan telah banyak ditel;iti oleh para peneliti. Barier rumput atau jalur-jalur mulsa mengurangi run-off. Tanpa adanya mulsa penutup tanah dengan indegofera atau bahia grass adalah sangat efektif dalam mengurangi run-off dan erosi. Pemangkasan selektif terhadap kelebatan pohon sebesar 40 % tidak menimbulkan erosi yang berarti. Akan tetapi penebangan hutan dimana pohon-pohonnya ditarik keluar akan menimbulkan erosi tanah
4. Bagaimana Vegetasi Dapat Mengkonservasi Tanah dan Air?
Vegetasi dapat berfungsi dalam konservasi tanah dan air karena ia memiliki beberapa manfaat yang mendukung terciptanya pertanian berkelanjutan. Vegetasi memeliki beberapa manfaat yang merupakan ciri pertanian berkelanjutan seperti konservasi, reklamasi dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
4.1. Aspek Konservasi
Aspek konservasi berupa konservasi tanah dan air melalui peningkatan infiltarasi, sehingga cadangan air tanah tersedia dan dapat mencegah terjadinya erosi baik oleh air karena aliran permukaan, maupun akibat angin dan salinasi. Secara umum infiltarasi dipengaruhi oleh:
(1) intensitas hujan atau irigasi,
(2) kandungan lengas tanah, dan
(3) faktor tanah.
Faktor tanah merupakan sifat internal tanah dan sifat lain yang dipengaruhi oleh cara pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah dapat mempengaruhi struktur tanah, keadaan dan bentuk permukaan tanah serta keadaan tanaman.
Penutupan tanah dengan vegetasi dapat meningkatkan infiltrasi karena perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah, disamping itu juga mempengaruhi aktifitas mikroorganisme yang berakibat pada meningkatkan porositas tanah (Harsono, 1995). Selanjutnya air masuk melalui infiltrasi tetap tersimpan karena tertahan oleh tanaman penutup di bawahnya atau sisa-sisa tanaman berupa daun yang sifatnya memiliki penutupan yang rapat sehingga menekan evaporasi. Demikian halnya dengan aspek konservasi tanah, vegetasi memiliki peranan penting karena dapat mengurangi peranan hujan dalam proses terjadinya erosi. Proses terjadinya erosi oleh hujan sebagai berikut :
(1). Pelepasan butiran tanah oleh hujan.
(2). Transportasi oleh hujan
(3). Pelepasan (penggerusan/scouring) oleh run off.
(4). Transportasi oleh run off.
Usaha konservasi tanah pada hakekatnya adalah pengendalian energi dari akibat tetesan hujan maupun limpasan permukaan dalam proses terjadinya erosi. Prinsip pengendalian energi ini dengan usaha :
1. Melindungi tanah dari pukulan air hujan (erosi percik), dengan tanaman penutup tanah.
2. Mengurangi kecepatan energi kinetik tetesan air hujan, dengan tanaman pelindung, atau pelindung non-vegetatif lainnya.
3. Mengurangi energi kinetik limpasan permukaan.
4.2. Aspek Reklamasi.
Aspek reklamasi berupa penambahan unsur hara dari proses dekomposisi bahan organik, sehingga dapat memperbaiki ketersediaan hara. Kerusakan lahan banyak diakibatkan oleh erosi berupa hilangnya tanah dengan kandungan bahan organik dan hara yang sangat merugikan bagi tanaman. Penurunan kandungan hara tanah dapat diperbaiki dengan menggunaan pupuk, tetapi membutuhkan biaya yang besar. Namun dengan adanya sisa-sisa tanaman yang telah mengalami perombakan secara ekstensif dan tanah sampai perubahan lebih lanjut yang dikenal dengan humus dapat memperbaiki kandungan Nitrogen, Kalium, Karbon, Pospor, Sulfur, Calsium, dan Magnesium. Secara skematis, mekanisme pembentukan humus dalam perombakan sisa-sisa tanaman dalam tanah. Humus mengabsorbsi sejumlah besar air dan menunjukkan ciricirinya untuk mengembang dan menyusut. Humus merupakan faktor penting dalam pembentukan struktur tanah. Humus mempunyai ciri-ciri fisik lain dan sifat fisikokimia yang menjadikan humus merupakan unsur pokok tanah yang bernilai tinggi.
4.3. Aspek Ekonomi.
Dimana tanaman vegetasi penutup berupa tanaman agroforestry yang dikembangkan memiliki kontribusi produksi yang nyata sehingga dapat meningkatkan taraf kehidupan petani. Agroforestry memiliki fungsi ekonomi bagi suatu masyarakat. Peran utama bagi petani bukan hanya produksi bahan pangan melainkan juga sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal.
Pendapatan petani dari system agroforestri umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari dari hasil panen secara teratur seperti lateks, damar, kopi, kayu manis dan lain-lain. Selain itu juga dapat membantu menutupi pengeluaran tahunan dari hasil panen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh, pala dan lain-lain. Komoditas lainnya berupa kayu juga dapat menjadi sumber uang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Meskipun tidak memungkinkan akumulasi modal secara cepat dalam bentuk system-aset yang dapat segera diuangkan, namun diverifikasi tanaman merupakan jaminan petani terhadap ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga suatu komoditas, spesies ini dapat dengan mudah ditelantarkan, hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak menyebabkan gangguan ekologi terhadap system ini, dan bahkan komoditas tersebut akan tetap hidup dalam struktur kebun dan siap untuk dipanen sewaktu-waktu. Sementara komoditas lainnya tetap akan ada yang dapat dipanen, bahkan komoditas baru dapat diintroduksi tanpa merombak system produksi yang ada.
5. Untuk apa Vegetasi Dikembangkan pada Suatu DAS?
Teknologi vegetatif sesuai untuk diterapkan pada suatu DAS dengan distribusi debit sungai yang tidak seragam. Artinya perbedaan antara debit puncak dan aliran dasar sangat besar. Percobaan yang pernah dilakukan di Indonesia berupa membandingkan DAS untuk pertanian, dengan satu 25 % wilayahnya dihutankan kembali, dan yang lain lagi 100 % dihutankan kembali dengan Pinus mercusii, Tectona gandis, Swetenia macrophylla dan Eucalyptus alba. Hasil dilaporkan bahwa, daerah yang dihutankan kembali aliran sungainya secara terus-menerus dalam musim kering yang besarnya 2,5 kali lipat dari aliran sungai yang berasal dari DAS untuk pertanian (Hamilton, et al. 1997). Hutan yang tidak terganggu merupakan penutup tanah yang baik terhadap erosi. Sedimen yang tersuspensi pada 250 juta hektar hanya terjadi sebesar 0,4 ton/ha/thn (Pauler dan Heady, 1981 dalam Hamilton, et al. 1997). Pada hutan sekunder sedimen hanya terjadi sebesar 1,19 ton/ha/thn. Anderson (1978), mengamati bahwa erosi meningkat sebagai akibat hutan yang terbakar, sedimen terjadi sebesar 3,12 ton/ha/thn atau 5-8 kali daripada hutan yang tidak terganggu di DAS Oregon USA.
Penebangan hutan memicu erosi dan tanah longsor (sumber: http://www.fotopedia.com/)
Pengelolaan secara vegetatif merupakan salah satu teknologi konservasi tanah dan air dalam rangka menuju pertanian berkelanjutan. Teknologi ini dapat memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dan penutupan lahan sehingga dapat meningkatkan infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi, memperbaiki hara tanah serta memiliki nilai ekonomi. Teknologi ini tepat diterapkan pada suatu DAS dengan distribusi aliran yang memiliki perbedaan yang cukup besar antara volume aliran puncak dan aliran dasar. Karena dengan menghutankan suatu DAS, maka aliran sungainya secara terus menerus dalam musim kering besarnya mencapai 2,5 kali lipat dari aliran sungai yang berasal dari DAS yang tidak berhutan.
Hutan yang tidak terganggu merupakan penutup tanah yang baik terhadap erosi. Sedimen yang tersuspensi pada 250 juta ha hanya terjadi sebesar 0,4 ton/ha/thn. Namun pada hutan yang terbakar mengakibatkan erosi meningkat, demikian halnya dengan sedimen terjadi sebesar 3,12 ton/ha/thn atau 5-8 kali daripada hutan yang tidak terganggu.
6. Jenis-Jenis Konservasi Tanah dan Air Secara Vegetatif
Teknik konservasi tanah secara vegetatif yang akan diuraikan dalam monograf ini adalah: penghutanan kembali (reforestation), wanatani (agroforestry) termasuk didalamnya adalah pertanaman lorong (alley cropping), pertanaman menurut strip (strip cropping), strip rumput (grass strip) barisan sisa tanaman, tanaman penutup tanah (cover crop), penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalah pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (intercropping), dan tumpang gilir (relay cropping) (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Alley cropping pada lahan miring dapat mengendalikan erosi dan limpasan permukaan (sumber: http://www.agnet.org/)
Dalam penerapannya, petani biasanya memodifikasi sendiri teknik-teknik tersebut sesuai dengan keinginan dan lingkungan agroekosistemnya sehingga teknik konservasi ini akan terus berkembang di lapangan. Keuntungan yang didapat dari sistem vegetatif ini adalah kemudahan dalam penerapannya, membantu melestarikan lingkungan, mencegah erosi dan menahan aliran permukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari pengembalian bahan organik tanaman, serta meningkatkan nilai tambah bagi petani dari hasil sampingan tanaman konservasi tersebut.
Sistem alley cropping antara pohon karet (double row) dan kopi. Pohon karet juga berfungsi sebagai pohon naungan bagi tanaman kopi (sumber: http://www.scielo.br/)
Radiasi matahari yang tersedia bagi tanaman kopi dipengaruhi oleh jaraknya dari pohon karet
Integrated alley cropping bio-intensive garden
nzdl.org
Sistem alley cropping terpadu (sumber: nzdl.org)
6.1. Penghutanan Kembali
Penghutanan kembali (reforestation) secara umum dimaksudkan untuk mengembalikan dan memperbaiki kondisi ekologi dan hidrologi suatu wilayah dengan tanaman pohon-pohonan. Penghutanan kembali juga berpotensi untuk peningkatan kadar bahan organik tanah dari serasah yang jauh di permukaan tanah dan sangat mendukung kesuburan tanah. Penghutanan kembali biasanya dilakukan pada lahan-lahan kritis yang diakibatkan oleh bencana alam misalnya kebakaran, erosi, abrasi, tanah longsor, dan aktivitas manusia seperti pertambangan, perladangan berpindah, dan penebangan hutan (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Hutan mempunyai fungsi tata air yang unik karena mampu menyimpan air dan meredam debit air pada saat musim penghujan dan menyediakan air secara terkendali pada saat musim kemarau (sponge effect). Penghutanan kembali dengan maksud untuk mengembalikan fungsi tata air, efektif dilakukan pada lahan dengan kedalaman tanah >3 m. Tanah dengan kedalaman <3 m mempunyai aliran permukaan yang cukup tinggi karena keterbatasan kapasitas tanah dalam menyimpan air (Agus et al., 2002). Pengembalian fungsi hutan akan memakan waktu 20-50 tahun sampai tajuk terbentuk sempurna. Jenis tanaman yang digunakan sebaiknya berasal dari jenis yang mudah beradaptasi terhadap lingkungan baru, cepat berkembang biak, mempunyai perakaran yang kuat, dan kanopi yang rapat/rindang.
Penelitian tentang kondisi biofisik lahan sangat penting untuk menentukan jenis tanaman yang akan dipergunakan dengan tujuan penghutanan kembali terutama untuk hutan monokultur. Beberapa tanaman tahunan mempunyai intersepsi dan evaporasi yang tinggi sehingga akan banyak mengkonsumsi air. Penelitian terhadap tanaman pinus (Pinus merkusii) yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor dan Universitas Brawijaya/ Unibraw (Priyono dan Siswamartana, 2002), menyimpulkan bahwa tanaman pinus akan aman jika ditanam pada daerah yang mempunyai curah hujan di atas 2.000 mm/tahun. Pada daerah yang mempunyai curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun disarankan agar penanaman pinus dicampur dengan tanaman lain yang mempunyai intersepsi dan evaporasi lebih rendah misalnya Puspa atau Agatis. Sedangkan untuk daerah yang mempunyai curah hujan 1.500 mm/tahun atau kurang disarankan untuk tidak menanam pinus karena akan menimbulkan kekurangan (deficit) air.
6.2. Wanatani
Wanatani (agroforestry) adalah salah satu bentuk usaha konservasi tanah yang menggabungkan antara tanaman pohonpohonan, atau tanaman tahunan dengan tanaman komoditas lain yang ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian. Penggunaan tanaman tahunan mampu mengurangi erosi lebih baik daripada tanaman komoditas pertanian khususnya tanaman semusim. Tanaman tahunan mempunyai luas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam menahan energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran batang (stemflow) dan aliran tembus (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu besar. Sedangkan tanaman semusim mampu memberikan efek penutupan dan perlindungan tanah yang baik dari butiran hujan yang mempunyai energi perusak. Penggabungan keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan ganda baik dari tanaman tahunan maupun dari tanaman semusim.
Sistem hidrologi vegetasi pohon (sumber: http://adaptation.nrcan.gc.ca/ )
Penerapan wanatani pada lahan dengan lereng curam atau agak curam mampu mengurangi tingkat erosi dan memperbaiki kualitas tanah, dibandingkan apabila lahan tersebut gundul atau hanya ditanami tanaman semusim. Proporsi tanaman tahunan dan semusim yang ideal tergantung pada kemiringan lahan dan sistem wanatani (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Secara umum proporsi tanaman tahunan makin banyak pada lereng yang semakin curam demikian juga sebaliknya.
Tanaman semusim memerlukan pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman yang lebih intensif dibandingkan dengan tanaman tahunan. Pengolahan tanah pada tanaman semusim biasanya dilakukan dengan cara mencangkul, mengaduk tanah, maupun cara lain yang mengakibatkan hancurnya agregat tanah, sehingga tanah mudah tererosi. Semakin besar kelerengan suatu lahan, maka risiko erosi akibat pengolahan tanah juga semakin besar.
Penanaman tanaman tahunan tidak memerlukan pengolahan tanah secara intensif. Perakaran yang dalam dan penutupan tanah yang rapat mampu melindungi tanah dari erosi. Tanaman tahunan yang dipilih sebaiknya dari jenis yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani dari hasil buah maupun kayunya. Selain dapat menghasilkan keuntungan dengan lebih cepat dan lebih besar, wanatani ini juga merupakan sistem yang sangat baik dalam mencegah erosi tanah.
Sistem wanatani telah lama dikenal di masyarakat Indonesia dan berkembang menjadi beberapa macam, yaitu pertanaman sela, pertanaman lorong, talun hutan rakyat, kebun campuran, pekarangan, tanaman pelindung/multistrata, dan silvopastural.
Sistem agroforestry yang melibatkan beragam tipe tajuk tanaman, mampu melindungi muka lahan dari ancaman erosi dan runoff (sumber: http://madurugala.blogspot.com/)
(1). Pertanaman sela
Pertanaman sela adalah pertanaman campuran antara tanaman tahunan dengan tanaman semusim. Sistem ini banyak dijumpai di daerah hutan atau kebun yang dekat dengan lokasi permukiman. Tanaman sela juga banyak diterapkan di daerah perkebunan, pekarangan rumah tangga maupun usaha pertanian tanaman tahunan lainnya. Dari segi konservasi tanah, pertanaman sela bertujuan untuk meningkatkan intersepsi dan intensitas penutupan permukaan tanah terhadap terpaan butir-butir air hujan secara langsung sehingga memperkecil risiko tererosi. Sebelum kanopi tanaman tahunan menutupi tanah, lahan di antara tanaman tahunan tersebut digunakan untuk tanaman semusim.
Di beberapa wilayah hutan jati daerah Jawa Tengah, ketika pohon jati masih pendek dan belum terbentuk kanopi, sebagian lahannya ditanami dengan tanaman semusim berupa jagung, padi gogo, kedelai, kacang-kacangan, dan empon-empon seperti jahe (Zingiber officinale), temulawak (Curcuma xanthorrizha), kencur (Kaemtoria galanga), kunir (Curcuma longa), dan laos (Alpinia galanga). Pilihan teknik konservasi ini sangat baik untuk diterapkan oleh petani karena mampu memberikan nilai tambah bagi petani, mempertinggi intensitas penutupan lahan, membantu perawatan tanaman tahunan dan melindungi dari erosi (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Penanaman tanaman semusim bisa berkali-kali tergantung dari pertumbuhan tanaman tahunan. Sebagai tanaman pupuk hijau sebaiknya dipilih dari tanaman legum seperti Leucaena leucocephala, Glyricidia sepium, Cajanus cajan, Tephrosia candida, dan lain sebagainya. Jarak antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan secara periodik dilebarkan (lahan tanaman semusim semakin sempit) dengan maksud untuk mencegah kompetisi hara, pengaruh allelopati dari tanaman tahunan, dan kontak penyakit.
Interaksi sinergistik antara pohon, tanaman semusim dan ternak dalam system agroforestry (sumber: http://www.agnet.org/)
(2). Pertanaman lorong
Sistem pertanaman lorong atau alley cropping adalah suatu sistem dimana tanaman pagar pengontrol erosi berupa barisan tanaman yang ditanam rapat mengikuti garis kontur, sehingga membentuk lorong-lorong dan tanaman semusim berada di antara tanaman pagar . Sistem ini sesuai untuk diterapkan pada lahan kering dengan kelerengan 3-40%. Dari hasil penelitian Haryati et al. (1995) tentang sistem budi daya tanaman lorong di Ungaran pada tanah Typic Eutropepts, dilaporkan bahwa sistem ini merupakan teknik konservasi yang cukup murah dan efektif dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan serta mampu mempertahankan produktivitas tanah.
Penanaman tanaman pagar akan mengurangi 5-20% luas lahan efektif untuk budi daya tanaman sehingga untuk tanaman pagar dipilih dari jenis tanaman yang memenuhi persyaratan di bawah ini (Agus et al., 1999):
a. Merupakan tanaman yang mampu mengembalikan unsur hara ke dalam tanah, misalnya tanaman penambat nitrogen (N2) dari udara.
b. Menghasilkan banyak bahan hijauan.
c. Tahan terhadap pemangkasan dan dapat tumbuh kembali secara cepat sesudah pemangkasan.
d. Tingkat persaingan terhadap kebutuhan hara, air, sinar matahari dan ruang tumbuh dengan tanaman lorong tidak begitu tinggi.
e. Tidak bersifat alelopati (mengeluarkan zat beracun) bagi tanaman utama.
f. Sebaiknya mempunyai manfaat ganda seperti untuk pakan ternak, kayu bakar, dan penghasil buah sehingga mudah diadopsi petani.
Sistem pertanaman lorong (alley cropping) dengan barisan rangkap tanaman pagarnya (sumber: http://www.greenstone.org/)
Alley cropping dengan rumput dan/atau tanaman hijauan pakan perdu atau pohon. Tanaman pagar yang memnghasilkan hijauan pakan (misalnya Desmodium rensonii, Leucaena leucocephala, Gliricidia septum, Flemingia congesta) ditanam menurut garis kontur dengan interval tertentu. Alleys di antara tanaman pagar dapat ditanami rumput atau hijauan pakan. Pemangkasan rumput dan hijauan digunakan untuk suplai pakan ternak dengan metode cut-and-carry.
Karakteristik tanaman pagar adalah
· Mudah ditabnam dan tumbuh berkembang (dari bji atau stek)
· Pertumbuhannya cepat
· Kemampuannya coppicing bagus
· Mampu ememfiksasi nitrogen
· Perakarannya dalam dan multiguna (sumber pangan, kayu bakar dan hijauan pakan, dll.)
Beberapa jenis tanaman pagar:
· Gliricidseptum
· Flemingia congesta
· Leucaena leucocephala
· Desmodium rensonni Cassia spectabilis Calliandra calothyrsus
· Desmanthus sp.
· Beberapa jenis rumput seperti Pennisetum purpureum, Vetiveria zizanoides, Panicum maximum dan Setaria sp.
Sistem alley cropping yang emelibatkan aneka jenis tanaman legume (sumber: http://www.greenstone.org/)
Karakteristik pohon untuk tanaman pagar (sumber: http://www.fao.org/)
Penelitian-penelitian tentang pertanaman lorong (Puslittanak, 1991) menyimpulkan, bahwa sistem budi daya lorong merupakan salah satu cara untuk mempertahankan produktivitas lahan kering yang miskin hara dan mempunyai KTK yang rendah. Hasil epenelitian Suwardjo et al. (1987) menunjukkan bahwa kandungan bahan organik tanah Podsolik di Jambi, Sumatera meningkat dari 1,8% menjadi 2,2% setelah 1 tahun ditanami dengan tanaman lorong Flemingia. Pada tahun kedua kandungan bahan organik semakin bertambah dengan nilai 2,8%. Sistem pertanaman lorong juga dapat mempertahankan sifat fisik tanah dan hasil tanaman pangan dalam jangka panjang. Dari hasil kajiannya pada penerapan pertanaman lorong (Alley cropping) di beberapa negara yang tergabung dalam ASIALAND sloping land project yang meliputi Indonesia, Phillipines, Laos dan Vietnam, Irawan (2002) melaporkan bahwa alley cropping mampu mengurangi kehilangan hara akibat erosi senilai US $ 4,1-85,5/ ha/tahun.
Manfaat ganda pohon sebagai tanaman pagar dalam sistem alley cropping (sumber: http://www.winrock.org/fnrm/factnet/)
Flemingia mempunyai kemampuan yang tinggi untuk tumbuh dan bertunas sehingga menghasilkan hasil pangkasan yang cenderung terus meningkat. Hasil pangkasan ini merupakan sumber bahan organik yang sangat penting. Dari reklamasi yang dilaksanakan pada tahun 1970 dan evaluasinya pada tahun 1984 pada tanah berskeletal vulkanik Gunung Merapi di Kali Gesik, Jawa Tengah, Sukmana et al. (1985) melaporkan bahwa setelah 14 tahun direklamasi dengan Flemingia congesta mampu menghasilkan serasah (kering udara) sebanyak 5,6 t/ha. Biomassa ini memberikan kontribusi terhadap peningkatan bahan organik tanah 2,65% yang sebelum direklamasi tidak mengandung bahan organik. Dibandingkan dengan vegetasi alami, Flemingia sangat besar kontribusinya dalam peningkatan bahan organik tanah. Bahan organik ini sangat penting dalam peningkatan kapasitas tanah menahan air (water holding capacity).
(3). Talun / Hutan Rakyat
Talun adalah lahan di luar wilayah permukiman penduduk yang ditanami aneka tanaman tahunan (mixed garden) yang dapat diambil kayu maupun buahnya. Sistem ini tidak memerlukan perawatan intensif dan hanya dibiarkan begitu saja sampai saatnya panen. Karena tumbuh sendiri secara spontan, maka jarak tanam sering tidak seragam, jenis tanaman sangat beragam dan kondisi umum lahan seperti hutan alami. Ditinjau dari segi konservasi tanah, talun hutan rakyat dengan tajuk multistrata yang rapat dapat mencegah erosi secara maksimal juga secara umum mempunyai fungsi seperti hutan.
Hutan rakyat adalah hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas tanah milik atau tanah adat; meskipun ada pula yang berada di atas tanah negara atau kawasan hutan negara. Secara teknik, hutan-hutan rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani; yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon. Baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks (agroforest) yang sangat mirip strukturnya dengan hutan alam.
Macam Hutan Rakyat
Ada beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya. Di antaranya:
1. Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa. Luasnya bervariasi, mulai dari seperempat hektare atau kurang, sampai sedemikian luas sehingga bisa menutupi seluruh desa dan bahkan melebihinya.
2. Hutan adat, atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas tanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat.
3. Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah.
Ada banyak bentuk-bentuk peralihan atau gabungan, yakni model-model pengelolaan hutan secara bermitra, misalnya antara perusahaan-perusahaan kehutanan (Perhutani, HPH, HPHTI) dengan warga masyarakat sekitar; atau juga antara pengusaha-pengusaha perkebunan dengan petani di sekitarnya. Model semacam ini, contohnya PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), biasanya juga tidak digolongkan sebagai hutan rakyat; terutama karena dominasi kepentingan pengusaha.
Produk-produk Hutan Rakyat
Hutan rakyat zaman sekarang telah banyak yang dikelola dengan orientasi komersial, untuk memenuhi kebutuhan pasar komoditas hasil hutan. Tidak seperti pada masa lampau, utamanya sebelum tahun 1980an, di mana kebanyakan hutan rakyat berorientasi subsisten, untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga petani sendiri. Pengelolaan hutan rakyat secara komersial telah dimulai semenjak beberapa ratus tahun yang silam, terutama dari wilayah-wilayah di luar Jawa. Hutan-hutan --atau tepatnya, kebun-kebun rakyat dalam rupa hutan-- ini menghasilkan aneka komoditas perdagangan dengan nilai yang beraneka ragam. Terutama hasil-hasil hutan non-kayu (HHNK). Beberapa contoh produk hutan-hutan rakyat dan wilayah penghasilnya, di antaranya:
Getah dan resin:
Karet (Hevea brasiliensis); terutama di Sumatra bagian timur dan Kalimantan
Jelutung (Dyera spp.); Sumatra dan Kalimantan
Nyatoh (Palaquium spp., Payena spp.); terutama Kalimantan
Damar mata-kucing (Hopea spp., Shorea javanica); Sumatera Selatan dan Lampung, terutama Lampung Barat
Damar batu (Shorea spp.); Sumatra dan Kalimantan
Kemenyan (Styrax benzoin); Sumatera Utara terutama Tapanuli Utara
Buah-buahan:
Durian (Durio spp., terutama D. zibethinus); Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Maluku.
Jambu mente (Anacardium occidentale); Sulawesi Tenggara dan Sumbawa
Kluwek atau kepayang (Pangium edule); banyak tempat, terutama di Jawa.
Kemiri (Aleurites moluccana); Sumatra, Sumbawa dan Sulawesi Selatan
Kopi (Coffea spp.); banyak tempat, termasuk Bali dan Lombok.
Lada (Piper nigrum); Sumatra, Kalimantan
Pala (Myristica fragrans); Aceh dan Maluku
Petai (Parkia speciosa); Sumatra, Kalimantan dan Jawa
Tengkawang (Shorea spp.); Kalimantan
Rempah-rempah lain:
Kulit manis atau kayu manis (Cinnamomum spp.); Sumatra, terutama Sumatera Barat dan Kerinci
Cengkeh (Syzygium aromaticum), banyak tempat.
Aneka jahe-jahean (empon-empon); Jawa.
Kayu-kayuan:
Jeunjing (Paraserianthes falcataria); Jawa, terutama Jawa Barat dan Jawa Tengah
Jati (Tectona grandis); Jawa, terutama Gunungkidul di Yogyakarta, Wonogiri di Jawa Tengah, Pacitan di Jawa Timur, dan Kuningan serta Indramayu di Jawa Barat; juga di Muna, Sulawesi Tenggara
Mahoni (Swietenia macrophylla); dari banyak tempat di Jawa Barat dan Jawa Tengah
Lain-lain:
Rotan (banyak jenis); Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi; terutama dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan
Cendana (Santalum album); Sumba dan Timor
Sagu (Metroxylon sago); Maluku dan Papua.
(4). Kebun campuran
Kebun campuran biasanya dirawat secara intensif oleh pemilik / pengelolanya untuk mendapatkan beragam hasil ekonomis sepanjang tahun. Tanaman yang ditanam adalah aneka jenis tanaman tahunan yang dimanfaatkan hasil buah, daun, dan kayunya. Kadang-kadang juga ditanam secara campuran dengan tanaman semusim. Apabila proporsi tanaman semusim lebih besar daripada tanaman tahunan, maka lahan tersebut disebut tegalan. Kebun campuran ini mampu mencegah erosi dengan baik karena kondisi penutupan tanah yang rapat sehingga butiran air hujan tidak langsung mengenai permukaan tanah. Kerapatan tanaman juga mampu mengurangi laju aliran permukaan. Hasil tanaman lain di luar tanaman semusim mampu mengurangi risiko akibat gagal panen dan meningkatkan nilai tambah bagi petani.
(5). Pekarangan
Pekarangan adalah lahan di sekitar rumah dengan berbagai jenis tanaman semusim dan tanaman tahunan. Lahan tersebut mempunyai manfaat tambahan bagi keluarga petani, dan secara umum merupakan gambaran kemampuan suatu keluarga dalam mendayagunakan potensi lahan secara optimal. Tanaman yang umumnya ditanam di lahan pekarangan petani adalah ubi kayu, sayuran, tanaman buah-buahan seperti tomat, pepaya, tanaman obat-obatan seperti kunyit, temulawak, dan tanaman lain yang umumnya bersifat subsisten.
(6). Tanaman Pelindung
Tanaman pelindung adalah tanaman tahunan yang ditanam di sela-sela tanaman pokok tahunan. Tanaman pelindung ini dimaksudkan untuk mengurangi intensitas penyinaran matahari, dan dapat melindungi tanaman pokok dari bahaya erosi terutama ketika tanaman pokok masih muda. Tanaman pelindung ini dapat dikelompokkan menjadi dua (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003) , yaitu:
a. Tanaman pelindung sejenis yang membentuk suatu sistem wanatani sederhana (simple agroforestry). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan satu jenis tanaman pelindung misalnya: gamal (Gliricidia sepium), dadap (Erythrina subumbrans), lamtoro (Leucaena leucocephala) atau kayu manis (Cinnamomum burmanii).
b. Tanaman pelindung yang beraneka ragam dan membentuk wanatani kompleks (complex agroforestry atau sistem multistrata). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan dua atau lebih tanaman pelindung misalnya: kemiri (Aleurites muluccana), jengkol (Pithecellobium jiringa), petai (Perkia speciosa), kayu manis, dadap, lamtoro, gamal, durian (Durio zibethinus), alpukat (Persea americana), nangka (Artocarpus heterophyllus), cempedak (Artocarpus integer), dan lain sebagainya.
Tajuk tanaman yang bertingkat menyebabkan sistem ini menyerupai hutan, yang mana hanya sebagian kecil air yang langsung menerpa permukaan tanah. Produksi serasah yang banyak juga menjadi keuntungan tersendiri dari sistem ini.
Pohon naungan dan sekaligus pelindung dalam sistem wanatani (sumber: electronic.districsides.com)
(7). Silvopastural
Sistem silvipastura sebenarnya adalah bentuk lain dari sistem tumpang sari, tetapi yang ditanam di sela-sela tanaman tahunan bukan tanaman pangan melainkan tanaman pakan ternak seperti rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja (Penniseitum purpoides), dan lain-lain (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Silvipastural umumnya berkembang di daerah yang mempunyai banyak hewan ruminansia. Hasil kotoran hewan ternak tersebut dapat dipergunakan sebagai pupuk kandang, sementara hasil hijauannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Sistem ini dapat dipakai untuk mengembangkan peternakan sebagai komoditas unggulan di suatu daerah.
Silvopastoral systems are designed to produce a high-value timber component, while providing short-term cash flow from the livestock component. The interactions among timber, forage and livestock are managed intensively to simultaneously produce timber commodities, a high quality forage resource and efficient livestock production. (sumber: http://www.unl.edu/nac/afnotes/sil-1/index.html)
(8). Pagar hidup
Pagar hidup adalah sistem pertanaman yang memanfaatkan tanaman sebagai pagar untuk melindungi tanaman pokok. Manfaat tanaman pagar antara lain adalah melindungi lahan dari bahaya erosi baik erosi air maupun angin (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Tanaman pagar sebaiknya tanaman yang mempunyai akar dalam dan kuat, menghasilkan nilai tambah bagi petani baik dari hijauan, buah maupun dari kayu bakarnya.
Untuk tanaman pagar dapat dipilih jenis pohon yang berfungsi sebagai sumber pakan ternak, jenis tanaman yang dapat menghasilkan kayu bakar, atau jenis-jenis lain yang memiliki manfaat ganda. Tanaman-tanaman tersebut ditanam dengan jarak yang rapat (< 10 cm). Karena tinggi tanaman bisa mencapai 1,5 – 2 m maka pemangkasan sebaiknya dilakukan 1-2 kali setahun (Agus et al., 1999).
Pohon ditanam di tengah lahan sawah (sumber: flickr.com)
6.3. Strip Rumput
Teknik konservasi dengan strip rumput (grass strip) biasanya menggunakan rumput yang didatangkan dari luar areal lahan, yang dikelola dan sengaja ditanam secara strip menurut garis kontur untuk mengurangi aliran permukaan dan sebagai sumber pakan ternak. Penelitian yang dilakukan oleh Suhardjo et al. (1997), Abdurachman et al. (1982), dan Abujamin (1978), membuktikan bahwa untuk lahan dengan lereng di bawah 20% sistem ini sangat efektif menahan partikel tanah yang tererosi dan menahan aliran permukaan. Tetapi apabila lahan mempunyai lereng di atas 20% dibutuhkan tindakan konservasi lainnya seperti alley cropping atau teras bangku. Rumput yang ditanam sebaiknya dipilih dari jenis yang berdaun vertikal sehingga tidak menghalangi kebutuhan sinar matahari bagi tanaman pokok, tidak banyak membutuhkan ruangan untuk pertumbuhan vegetatifnya, mempunyai perakaran kuat dan dalam, cepat tumbuh, tidak menjadi pesaing terhadap kebutuhan hara tanaman pokok dan mampu memperbaiki sifat tanah.
Penelitian selama 4 tahun di Bogor (250 m dpl) yang dilakukan oleh Abujamin et al. (1983) menggunakan rumput bede (Brachiaria decumbens) sebagai strip selebar 0,5 m dan rumput bahia (Paspalum notatum) sebagai strip selebar 1 m pada lahan dengan lereng 15-22%, menunjukkan bahwa penggunaan strip rumput dapat menekan tingkat erosi dengan baik. Strip rumput bahia selebar 1 m mampu menekan erosi sampai mendekati 0 t/ha pada tahun kedua setelah penanaman. Sedangkan strip rumput bahia selebar 0,5 m membutuhkan waktu hampir 4 tahun untuk dapat menekan erosi mendekati 0 t/ha. Aliran permukaan pada strip rumput bahia tahun keempat 189 m3/ha (1,03% curah hujan), lebih baik dibandingkan dengan strip rumput bede (760 m3/ha atau 4,16% curah hujan) pada tahun yang sama.
Faktor tumbuh tanaman rumput, jarak tanam dalam satu strip, dan jarak antar-strip sangat menentukan efektifitas pengendalian erosi. Penelitian terhadap efektifitas berbagai macam strip rumput yang dilakukan Suhardjo et al. (1997), menunjukkan bahwa tingkat erosi pada tahun pertama masih tinggi karena rumput belum tumbuh optimal. Pertumbuhan rumput yang lebih baik pada tahun kedua mampu menekan jumlah tanah tererosi antara 30-60% pada kemiringan di bawah 20%. Sedimen yang tertahan lama kelamaan akan mendekati bentuk datar sehingga menciptakan bidang teras alami. Abujamin et al. (1983) melaporkan bahwa setelah 4 tahun (1976/1977 sampai dengan 1979/1980) strip rumput bahia menghasilkan teras alami hasil endapan partikel tanah terangkut dengan ketinggian sekitar 25-30 cm, sedangkan pada strip rumput bede sekitar 50-60 cm.
Strip rumput di tepian saluran air (sumber: agry.purdue.edu)
Strip rumput sangat bagus jika dikombinasikan dengan usaha peternakan yang memanfaatkan hasil pangkasan rumputnya. Penelitian yang dilakukan oleh Watung et al. (2003) dan Subagyono et al. (2004) di sub-DAS Babon, Ungaran, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa integrasi penanaman rumput baik secara strip maupun ditanam pada sebagian bidang olah dengan penggemukan sapi terbukti memberikan alternatif yang dapat ditempuh untuk mewujudkan implementasi teknologi konservasi secara berkelanjutan. Hasil pangkasan rumput dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak sedangkan kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Di wilayah sentra produksi peternakan, teknik ini mudah diadopsi oleh peternak. Walaupun tingkat kebutuhan hijauan pakan ternak lebih besar daripada kontribusi pupuk kandang ke lahan pertanian, kondisi ini dapat diatasi dengan penanaman rumput secara khusus (padang rumput). Aspek keterjangkauan lahan dari permukiman penduduk desa juga perlu dipertimbangkan karena seringkali strip berupa pakan ternak tersebut dicuri. Kebutuhan tenaga kerja dalam penerapan sistem strip rumput cukup efisien dan lebih sedikit dibandingkan dengan sistem pertanaman lorong.
Untuk lebih meningkatkan efektifitasnya dalam mengendalikan erosi dan runoff, strip rumput dapat dikombinasikan dengan mulsa seresah atau sisa panen. Selain bertujuan untuk menahan erosi, sistem ini juga efektif dalam mempertahankan kelengasan tanah. Strip rumput dapat dikombinasikan dengan teknik konservasi secara mekanis seperti penerapan teras. Penanaman strip rumput di bibir teras sampai tampingan teras menghasilkan pengurangan tingkat erosi 30-50% dibandingkan bila strip rumput hanya ditanam di bibir teras saja. Menurut Suhardjo et al. (1997), pada tanah Inceptisols dengan curah hujan 1.441,8 mm/musim tanam maupun Entisols dengan curah hujan 1.625,5 mm/musim tanam, strip rumput yang ditanam di bibir teras saja ternyata masih menghasilkan erosi yang tinggi yaitu 20 t/ha/musim tanam.
6.4. Mulsa
Mulsa adalah bahan-bahan (sisa tanaman, serasah, sampah, plastik atau bahan-bahan lain) yang disebar atau menutup permukaan tanah untuk melindungi tanah dari kehilangan air melalui evaporasi. Mulsa juga dapat dimanfaatkan untuk melindungi permukan tanah dari pukulan langsung butiran hujan sehingga mengurangi terjadinya erosi percik (splash erosion), selain mengurangi laju dan volume limpasan permukaan. Bahan mulsa yang sudah melapuk akan menambah kandungan bahan organik tanah dan hara. Mulsa mampu menjaga stabilitas suhu tanah pada kondisi yang baik untuk aktivitas mikroorganisma. Relatif rendahnya evaporasi, berimplikasi pada stabilitas kelengasan tanah. Secara umum mulsa berperan dalam perbaikan sifat fisik tanah (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Pemanfaatan mulsa di lahan pertanian juga dimaksudkan untuk menekan pertumbuhan gulma.
Strip vetiver dan mulsa untuk mencegah erosi di lahan pertanaman jagung (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Mulsa sisa tanaman atau bahan-bahan lain dari tanaman yang berfungsi untuk konservasi tanah dan air diuraikan. Peran mulsa dalam menekan laju erosi sangat ditentukan oleh bahan mulsa, persentase penutupan tanah, tebal lapisan mulsa, dan daya tahan mulsa terhadap dekomposisi (Abdurachman dan Sutono, 2002). Menurut Suwardjo et al. (1989), dalam jangka panjang olah tanah minimum dan pemberian mulsa dapat menurunkan erosi hingga di bawah ambang batas yang dapat diabaikan (tolerable soil loss). Sebaliknya pada tanah yang diolah dan tanpa diberi mulsa, erosi terjadi semakin besar.
Hasil penelitian telah membuktikan bahwa pemberian mulsa mampu meningkatkan laju infiltrasi. Lal (1978) melaporkan bahwa pemberian mulsa sisa tanaman sebanyak 4-6 t/ha mampu mempertahankan laju infiltrasi, serta menurunkan kecepatan aliran permukaan dan erosi pada tingkat yang masih dapat diabaikan.
Menurut Kurnia et al. (1997), mulsa jerami ditambah dengan mulsa dari sisa tanaman sangat efektif dalam mengurangi erosi serta mengurangi konsentrasi sedimen dan hara yang hilang akibat erosi . Erfandi et al. (1994) melaporkan, bahwa hasil pangkasan rumput vetiver yang dijadikan mulsa pada tahun ketiga penelitian sebanyak 5-6 t/ha mampu meningkatkan kadar C dan N tanah masing-masing sebesar 37-70%. Dari penelitian tentang mulsa dan pupuk hijau Sonosiso (Dalbergia siso) yang dilakukan oleh Haryati et al. (1990) di Desa Gondanglegi, Kabupaten Boyolali dapat disimpulkan bahwa cara pemberian pupuk hijau dengan cara dimulsakan lebih efisien/menguntungkan dibandingkan dengan cara pembenaman ke dalam tanah.
Mulsa jerami ditempatkan di antara barisan tanaman (sumber: http://134.220.18.206/cs1965/shasea/)
Mulsa yang diberikan sebaiknya berupa sisa tanaman yang tidak mudah terdekomposisi misalnya jerami padi dan jagung dengan takaran yang disarankan adalah 6 t/ha atau lebih. Bahan mulsa sebaiknya dari bahan yang mudah diperoleh seperti sisa tanaman pada areal lahan masing-masing petani sehingga dapat menghemat biaya, mempermudah pembuangan limbah panen sekaligus mempertinggi produktivitas lahan.
6.5. Sistem Penanaman Menurut Strip
Penanaman menurut strip (strip cropping) adalah system pertanaman, dimana dalam satu bidang lahan ditanami tanaman dengan jarak tanam tertentu dan berselang-seling dengan jenis tanaman lainnya searah kontur. Misalnya penanaman jagung dalam satu strip searah kontur dengan lebar strip 3-5 m atau 5-10 m tergantung kemiringan lahan, di lereng bawahnya ditanam kacang tanah dengan sistem sama dengan penanaman jagung, strip rumput atau tanaman penutup tanah yang lain. Semakin curam lereng, maka strip yang dibuat akan semakin sempit sehingga jenis tanaman yang berselang-seling tampak lebih rapat. Sistem ini sangat efektif dalam mengurangi erosi hingga 70-75% (FAO, 1976) dan vegetasi yang ditanam (dari jenis legum) akan mampu memperbaiki sifat tanah walaupun terjadi pengurangan luas areal tanaman utama sekitar 30-50% (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Sistem pertanaman menurut strip searah kontur (Troeh et al., 1980)
Sistem ini biasa diterapkan di daerah dengan topografi berbukit sampai bergunung dan biasanya dikombinasikan dengan teknik konservasi lain seperti tanaman pagar, saluran pembuangan air, dan lain-lain. Penanaman menurut strip merupakan usaha pengaturan tanaman sehingga tidak memerlukan modal yang besar.
Contour Strip Cropping pada lahan yang kemiringannya tidak terlalu curam (sumber: http://www.takdangaralin.com)
Contour farming pada lahan yang miring curam (sumber: http://www.bensoninstitute.org)
6.6. Barisan Sisa Tanaman
Pada dasarnya, sistem barisan sisa tanaman (trash line) ini sama dengan sistem strip. Sistem ini adalah teknik konservasi tanah yang bersifat sementara dimana gulma/rumput/sisa tanaman yang disiangi ditumpuk berbaris. Untuk daerah berlereng biasanya ditumpuk mengikuti garis kontur. Penumpukan ini selain dapat megurangi erosi dan menahan laju aliran permukaan juga bisa berfungsi sebagai mulsa. Ketersediaan bahan sisa tanaman harus cukup banyak sehingga penumpukannya membentuk struktur yang lebih kuat. Sisa tanaman tersebut lemah dalam menahan gaya erosi air dan akan cepat terdekomposisi sehingga mudah hanyut. Penggunaan kayu-kayu pancang diperlukan untuk memperkuat barisan sisa tanaman ini. Sistem ini cukup bagus untuk mempertahankan ketersediaan hara melalui dekomposisi bahan organik dan melindungi tanah dari bahaya erosi sampai umur tanaman <5 bulan (Dariah et al., 1998).
Barisan sisa tanaman tidak memerlukan banyak tenaga kerja. Untuk pembuatan barisan sisa tanaman hanya memerlukan antara 10-30 HOK/ha (Agus et al., 1999). Pada tahun kedua perlu dibuat barisan sisa tanaman yang baru.
6.7. Tanaman Penutup Tanah
Tanaman penutup tanah (cover crop) adalah tanaman yang biasa ditanam pada lahan kering dan dapat menutup seluruh permukaan tanah. Tanaman yang dipilih sebagai tanaman penutup tanah umumnya tanaman semusim/tahunan dari jenis legum yang mampu tumbuh dengan cepat, tahan kekeringan, dapat memperbaiki sifat tanah (fisik, kimia, dan biologi) dan menghasilkan umbi, buah, dan daun. Menurut Lal (1978), tanaman penutup tanah mampu meningkatkan laju infiltrasi. Laju infiltrasi pada tanah bera (bare soil) atau belum ditanami, tanah bera alami (natural fallow), tanah yang ditanami Paspalum notatum, Stylosanthes gracilis, Bracharia ruziensis, Pueraria phaseoloides, Centrocema pubescens, dan Psophocarpus palustris masing-masing adalah 6; 7,5; 8; 18; 21; 25; dan 33 cm/jam, sedangkan kumulatif infiltrasi pada masing-masing perlakuan juga beragam.
Tanaman penutup tanah dibedakan menjadi empat (Agus et al., 1999), yaitu: (1) tanaman penutup tanah rendah seperti centrosema (Centrosema pubescens), pueraria (Pueraria javanica) dan benguk (Mucuna sp.); (2) tanaman penutup tanah sedang seperti lamtoro (Leucaena leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium); (3) tanaman penutup tanah tinggi seperti sengon (Periserianthes falcataria); dan (4) belukar lokal (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Tanaman penutup tanah rendah, dapat ditanam bersama tanaman pokok maupun menjelang tanaman pokok ditanam. Tanaman penutup tanah sedang dan tinggi pada dasarnya seperti tanaman sela dimana tanaman pokok ditanam di sela-sela tanaman penutup tanah. Dapat juga tanaman pokok ditanam setelah tanaman penutup tanah dipanen.
Tanaman penutup tanah berupa legume menjalar ditanam di antara residu (sisa panen) tanaman sebelumnya (sumber: http://www.uhdp.org/)
Tanaman penutup tanah dimaksudkan untuk menambah penghasilan petani dari hasil panennya, selain itu juga untuk memperbaiki sifat tanah karena mampu menambat N dari udara dan sisa tanamannya dapat dijadikan sumber bahan organik. Sebagai contoh tanaman penutup tanah dari jenis legum seperti Mucuna sp. sangat besar kontribusinya dalam memperbaiki produktivitas tanah. Selain mampu mengurangi pengaruh keracunan Al pada tanaman, Mucuna sp. juga merupakan sumber unsur hara bagi tanaman. Kandungan hara Mucuna sp. sebagai berikut: N=2,32%; P=0,20%; dan K=1,97% (Adiningsih dan Mulyadi, 1992). Ini berarti bahwa setiap pengembalian 1 t biomassa kering Mucuna sp. sebagai mulsa, maka akan diperoleh sekitar 23 kg N; 2 kg P dan 20 kg K yang setara dengan 52 kg urea; 10 kg TSP, dan 39 kg KCl. Hasil ini jelas akan memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi petani dalam memenuhi kebutuhan lahannya terhadap pupuk.
6.8. Penyiangan parsial
Penyiangan parsial merupakan teknik dimana lahan tidak disiangi seluruhnya yaitu dengan cara menyisakan sebagian rumput alami maupun tanaman penutup tanah (lebar sekitar 20-30 cm) sehingga di sekitar batang tanaman pokok akan bersih dari gulma (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Tanaman penutup tanah yang tidak disiangi akan berfungsi sebagai penahan erosi. Pada dasarnya teknik ini menyerupai strip rumput dimana vegetasi gulma mampu menahan aliran permukaan dan mengendapkan material terangkut. Hasil tanaman yang disiangi dikembalikan ke lahan atau ditumpuk sebagai barisan sisa tanaman sehingga dapat menambah bahan organik bagi tanah dan memperbaiki sifat tanah.
Teknik penyiangan yang termasuk dalam penyiangan parsial adalah:
(1). Strip tumbuhan alami (Natural Vegetative Strips = NVS)
Pada dasarnya teknik ini adalah menyisakan sebagian lahan yang tidak disiangi dan tidak ditanami sehingga rumput alami tumbuh membentuk strip yang kurang lebih sejajar dengan garis kontur. Teknik ini banyak diterapkan untuk tanaman semusim dan sudah berkembang di Mindanao Utara, Filipina (Agus et al., 2002). Meskipun teknik ini efektif mengurangi erosi, tetapi teknik ini juga mengurangi areal produktif lahan pertanian sekitar 5-15%.
Strip vegetasi alamiah untuk mengendalikan erosi, limpasan permukaan dan kesuburan tanah (sumber: lakesuperiorstreams.org)
Contour strip farming pada lahan miring (sumber: http://www.agnet.org/)
(2). Penyiangan sekeliling batang tanaman pokok
Teknik ini dapat diterapkan pada penyiangan dimana tanah tertutupi oleh gulma rumput maupun tanaman penutup tanah lain yang sengaja ditanam. Penyiangan dilakukan di sekeliling batang tanaman pokok dengan diameter sekitar 120 cm (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Dengan memanfatkan teknik penyiangan ini pada areal tanaman kopi umur satu tahun dengan kemiringan lereng 60% dan curah hujan sebesar 1.338 mm (selama 6 bulan dari tanggal 1 Mei sampai 30 Oktober 1980) tingkat aliran permukaan hanya sebesar 1,8% dari curah hujan dan erosi sebesar 1,9 t/ha. Sedangkan pada tanaman kopi umur 3 tahun dengan lereng 62-63% dan umur 16 tahun dengan kelerengan 46-49%, curah hujan yang sama menghasilkan aliran permukaan berturut-turut sebesar 3,4% dan 6,3% dari jumlah curah hujan dan erosi yang dihasilkan berturut-turut sebesar 1,6 dan 1,3 t/ha (Gintings, 1982 dalam Agus et al, 2002). Penyiangan sekeliling batang tanaman pokok ini juga dimaksudkan, untuk mencegah hama dan penyakit menyerang tanaman pokok dengan tetap memelihara keberadaan tanaman penutup tanah.
6.9. Penerapan Pola Tanam
Pola tanam adalah sistem pengaturan waktu tanam dan jenis tanaman sesuai dengan iklim, kesesuaian tanah dengan jenis tanaman, luas lahan, ketersediaan tenaga, modal, dan pemasaran. Pola tanam berfungsi meningkatkan intensitas penutupan tanah dan mengurangi terjadinya erosi. Biasanya petani sudah mempunyai pengetahuan tentang pola tanam yang cocok dengan keadaan biofisik dan sosial ekonomi keluarganya berdasarkan pengalaman dan kebiasaan pendahulunya. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam suatu usaha tani, erosi masih terjadi. Pemilihan pola tanam yang tepat dapat meningkatkan keuntungan bagi petani dan meningkatkan penutupan tanah sehingga erosi dapat dikurangi. Misalnya penanaman padi gogo yang disisipi jagung pada awal musim hujan, setelah panen disusul penanaman kedelai dan pada saat bera ditanami benguk (Mucuna sp.). Jenis tanaman dapat lebih bervariasi tergantung keinginan petani dan daya dukung lahannya (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Pertanaman majemuk yang merupakan salah satu bagian dalam pola tanam pada dasarnya merupakan sistem dimana satu bidang olah ditanami lebih dari satu jenis tanaman pangan. Misalnya dalam satu bidang olah ditanami sekaligus tanaman jagung, padi gogo, mukuna (benguk), dan kedelai. Sistem ini bertujuan untuk mempertinggi intensitas penggunaan lahan, dan dapat mengurangi risiko gagal panen untuk salah satu tanaman, meningkatkan nilai tambah bagi petani dan juga termasuk tindakan pengendalian hama dan pengendalian erosi. Pada tahun 1974, hasil penelitian IRRI membuktikan bahwa populasi hama penggerek jagung (Ostrinia nubilalis) pada penanaman tumpang sari antara jagung dan kacang tanah berada dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah populasi hama tersebut pada saat jagung ditanam secara monokultur.
Dengan penerapan pertanaman majemuk, penutupan tanah akan lebih rapat sehingga mampu melindungi tanah dari pukulan air hujan secara langsung dan menahan aliran permukaan. Sistem pertanaman yang termasuk sistem pertanaman majemuk adalah sistem pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (inter cropping), dan tumpang gilir (relay cropping).
(1). Pergiliran tanaman
Pergiliran tanaman (crop rotation) adalah sistem bercocok tanam dimana sebidang lahan ditanami dengan beberapa jenis tanaman secara bergantian. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk memutuskan siklus hama dan penyakit tanaman dan untuk meragamkan hasil tanaman. Pergantian tanaman ada yang dilakukan secara intensif dimana setelah panen tanaman pertama kemudian langsung ditanami tanaman kedua dan ada pula yang dibatasi periode bera. Daerah yang memiliki musim kering (MK) <4 bulan sangat baik untuk menerapkan sistem ini (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Secara umum ternyata erosi pada tanah Tropaqualfs dipengarujhi oleh pola pergiliran tanaman. Penggunaan sistem pergiliran tanaman intensif secara berurutan, antara tanaman pertama yang disusul tanaman kedua dan seterusnya mampu menekan erosi secara nyata dibandingkan lahan yang hanya diolah tanpa ditanami. Pengaruh nyata tersebut dihasilkan dari fungsi tanaman sebagai pengikat tanah (nilai C koefisien tanaman = 0,371) serta penambahan bahan organik dari sisa tanaman tersebut sebagai mulsa dan pembenah tanah sehingga tahan terhadap erosi. Penggunaan sistem ini disarankan untuk tetap menggunakan pupuk dan teknik konservasi tanah, sehingga hasil tanaman dapat maksimal dan lahan yang dipergunakan dapat terjaga produktivitasnya. Dari segi konservasi tanah, pergiliran tanaman memberikan peluang untuk mempertahankan penutupan tanah, karena tanaman kedua ditanam setelah tanaman pertama dipanen. Demikian seterusnya, sehingga sepanjang tahun intensitas penutupan tanah senantiasa dipertahankan. Kondisi ini akan mengurangi risiko tanah tererosi akibat terpaan butir-butir air hujan dan aliran permukaan.
The rotation of crops is not only necessary to offer a diverse "diet" to the soil micro organisms, but as they root at different soil depths, they are capable of exploring different soil layers for nutrients. Nutrients that have been leached to deeper layers and that are no longer available for the commercial crop, can be "recycled" by the crops in rotation. This way the rotation crops function as biological pumps. Furthermore, a diversity of crops in rotation leads to a diverse soil flora and fauna, as the roots excrete different organic substances that attract different types of bacteria and fungi, which in turn, play an important role in the transformation of these substances into plant available nutrients. Crop rotation also has an important phytosanitary function as it prevents the carry over of crop-specific pests and diseases from one crop to the next via crop residues.
Efek Rotasi Tanaman a.l.:
Diversitas yang lebih tinggi dalam produksi tanaman, sehingga gizi bagi manusia dan ternak juga lebih beragam.
Reduksi gangguan hama, penyakit dan gulma.
Lebih banyaknya ragam biopores dalam tanah yang diciptakan oelh beragam akar tanaman (beragam bentuk, ukuran dan kedalaman akar).
Lebih baiknya distribusi air dan hara dalam profil tanah.
Exploration for nutrients and water of diverse strata of the soil profile by roots of many different plant species resulting in a greater use of the available nutrients and water.
Increased nitrogen fixation through certain plant-soil biota symbionts and improved balance of N/P/K from both organic and mineral sources.
Peningkatan pembentukan humus.
Pola pergiliran (rotasi) tanaman dalam sehatun untuk menjaga kesuburan tanah (sumber: http://www.fao.org/ag/ca/1b.html)
(2). Tumpang sari
Tumpang sari (intercropping) adalah sistem bercocok tanam dengan menggunakan dua atau lebih jenis tanaman yang ditanam serentak/bersamaan pada sebidang tanah. Sistem tumpang sari sebagian besar dikelola pada pertanian lahan kering yang hanya menggantungkan air hujan sebagai sumber air utama. Sistem tumpang sari adalah salah satu usaha konservasi tanah yang efektif dalam memanfaatkan luas lahan. Tanaman yang ditanam dapat berupa jagung dengan kacang tanah, jagung dengan kedelai, dan sebagainya. Tanaman tersebut dapat berupa tanaman penambat nitrogen, berperakaran dalam maupun dangkal yang pada prinsipnya saling menguntungkan (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Kerapatan penutupan tanah akan sangat menguntungkan untuk pencegahan erosi, mempertahankan kadar lengas tanah karena evaporasi terhambat, memperbaiki kondisi tanah karena aktivitas perakaran mempertinggi bahan organik tanah. Hasil ganda yang diperoleh dalam satu luasan lahan dapat meningkatkan pendapatan petani. Setelah tanaman dalam tumpang sari tersebut dipanen sebaiknya tanah langsung ditanami dengan tanaman pangan lain ataupun tanaman penutup tanah yang mampu tumbuh cepat untuk melindungi tanah, sehingga erosi dapat dikurangi.
Tumpangsari pepaya dengan kacang-kacangan (sumber: http://koropedang.multiply.com/journal/item/20/Tumpangsari_)
(3). Tumpang gilir
Tumpang gilir (relay cropping) adalah cara bercocok tanam dimana satu bidang lahan ditanami dengan dua atau lebih jenis tanaman dengan pengaturan waktu panen dan tanam. Pada sistem ini, tanaman kedua ditanam menjelang panen tanaman musim pertama. Contohnya adalah tumpang gilir antara tanaman jagung yang ditanam pada awal musim hujan dan kacang tanah yang ditanam beberapa minggu sebelum panen jagung. Sistem ini diterapkan untuk mempertinggi intensitas penggunaan lahan. Penanaman tanaman kedua sebelum tanaman pertama dipanen dimaksudkan untuk mempercepat penanamannya dan masih mendapatkan air hujan yang cukup untuk pertumbuhan dan produksinya. Tanaman pertama tidak terlalu terpengaruh akibat kompetisi tanaman kedua karena tanaman pertama telah melewati fase pertumbuhan vegetatifnya. Begitu pula dengan tanaman kedua yang mendapatkan air dan hara yang cukup sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan vegetatifnya (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Dari segi konservasi, penutupan tanah yang rapat pada tumpang gilir mempunyai pengaruh yang cukup baik dalam menahan erosi. Penerapan teknik ini perlu diiringi dengan penerapan teknik konservasi tanah yang lain seperti penambahan bahan organik, penutup tanah dan jika perlu diterapkan tindakan sipil teknis. Mengingat intensitas tanaman yang tinggi, pemupukan juga perlu dilaksanakan. Penambahan sisa tanaman yang dijadikan mulsa akan mengoptimalkan kemampuan tanah dalam menahan erosi selain menyediakan kebutuhan tanaman akan hara. Pola tanam yang diintroduksikan harus mampu meningkatkan efektivitas penggunaan lahan dan penggunaan air melalui pertimbangan biofisik lahan dan sosial ekonomi suatu wilayah. Perbedaan pola tanam menghasilkan komoditas serta intensitas pertanaman yang berbeda. Pola tanam juga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan hara terutama jika pola tanam yang diintroduksi mencakup tanaman-tanaman dengan kedalaman perakaran yang berbeda.
Pola tanam dengan mempertimbangkan kondisi iklim dapat disajikan sebagai berikut (Agus et al., 1999):
a. Bila bulan kering dalam satu tahun tidak ada atau hanya satu bulan, dapat dilakukan pertanaman sepanjang tahun.
b. Bila bulan kering 2-3 bulan setahun, dapat dilakukan pertanaman sepanjang tahun tetapi dengan perencanaan lebih hati-hati terhadap teknik konservasi tanahnya, pemeliharaan, pemupukan, dan pemanenannya.
c. Bila bulan kering 4-6 bulan setahun, dapat dilakukan dua kali penanaman dengan tumpang gilir.
d. Bila bulan kering 7-9 bulan setahun, pertanaman dapat dilakukan sekali, selebihnya ditanami tanaman penutup tanah.
e. Bila bulan kering sepanjang tahun, daerah tersebut tidak cocok untuk tanaman pangan bila tanpa irigasi atau sistem pemanenan air.
Pola tanam bertumpu pada kondisi curah hujan (sumber: http://www.google.co.id/)
Pola tanam dalam setahun yang melibatkan padi dan palawija. Padi merupakan tanaman serealia utama, dan tanaman lainnya juga digunakan dalam pola tanam dengan anggapan untuk meningkatkan produksi hijauan pakan ternak. Tanaman palawija meliputi cowpeas, maize, groundnut, pigeon pea, sorghum dan ubijalar. Kriteria pemilihan tanaman sela adalah:
Jenis ternak yang dipelihara.
Komplementaritas tanaman pangan dan tanaman pakan.
Potensi menghasilkan hijauan dan biomasa residu (seresah)
Promosi kesuburan tanah.
Tahan kekeringan dan musim kering yang panjang.
Tahan naungan pada lahan kering.
Kebutuhan sumberdaya.
Penelitian tentang karakteristik curah hujan, karakteristik tanah, metode pemupukan, varietas unggul, pengendalian hama dan penyakit, pemasaran maupun sosial dan ekonomi pedesaan sangat diperlukan dalam menentukan pola tanam di suatu wilayah dan keberhasilan penerapannya oleh petani. Penerapan pola tanam tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik curah hujan, karena tiap-tiap tanaman memiliki respon yang berbeda terhadap ketersediaan air. Karena distribusi curah hujan tidak merata sepanjang tahun, maka model pola tanam yang didasari dengan distribusi curah hujan akan memberikan hasil yang lebih baik. Salah satu model pola tanam yang diterapkan di DAS Jratunseluna (P3HTA, 1988). Masing-masing adalah:
a. Model A: kacang tanah tumpang sari dengan jagung disisipi oleh ubi kayu dan diikuti oleh kacang tanah.
b. Model B: kacang tanah tumpang sari dengan jagung disisipi oleh ubi kayu dan diikuti oleh cabai.
c. Model C: kacang tanah tumpang sari dengan jagung disisipi oleh ubi kayu dan diikuti mentimun.
Hubungan curah hujan dan hari hujan dan beberapa alternatif pola tanam di Desa Kandangan, Semarang tahun 1986/1987 (P3HTA, 1988)
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman A., Sutono, dan I. Juarsah. 1997. Pengkayaan bahan organik tanah dalam upaya pelestarian usaha tani lahan kering di DAS bagian hulu.hlm. 89-105 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Makalah Review. Cisarua-Bogor, 4-6 Maret 1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Abdurachman, A., A. Barus, Undang Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian tanaman semusim. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 4:41-46.
Abdurachman, A., dan S. Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. hlm.103-145 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Abdurachman, A., S. Abujamin, dan Suwardjo. 1982. Beberapa cara konservasi tanah pada areal pertanian rakyat. Disampaikan pada Pertemuan Tahunan Perbaikan Rekomendasi Teknologi tgl. 13-15 April. Pusat Penelitian Tanah, Bogor (Tidak dipublikasikan).
Abujamin, S. 1978. Peranan rumput dalam usaha konservasi tanah. Seminar LP. Tanah, 8 Juli 1978 (Tidak dipublikasikan).
Abujamin, S., A. Adi, dan U. Kurnia. 1983. Strip rumput permanen sebagai salah satu cara konservasi tanah. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 1: 16-20.
Adiningsih, J.S. dan Mulyadi. 1992. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan alang-alang. hlm. 29-46 dalam Prosiding Seminar Lahan Alang-alang: Pemanfaatan Lahan Alang-alang untuk Usahatani Berkelanjutan. Bogor, 1 Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Agus, F., A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Tala’ohu, A Dariah, B.R. Prawiradiputra, B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Jakarta.
Agus, F., A.Ng. Ginting, dan M. van Noordwidjk. 2002. Pilihan Teknologi Agroforestri/Konservasi Tanah untuk Areal Pertanian Berbasis Kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. International Centre for Research in Agroforestry, Bogor.
Agus, F., A.Ng. Ginting, U. Kurnia, A. Abdurachman, and P. van der Poel. 1998. Soil erosion research in Indonesia: Past experience and future direction. pp. 255-267. In F.W.T. Penning de Vries, F. Agus, and J. Kerr (Eds.). Soil Erosion at Multiple Scales: Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. CAB International, Wallingford, UK.
Anonim, 1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi tanah. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Arsyad, S. 1976. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.
Bezkorowajnyi, P.G.; Gordon, A.M.; McBride, R.A. 1993. The effect of cattle foot traffic on soil compaction in a silvo-pastoral system. Agroforestry Systems. 21: 1-10.
Clason, T.R. 1995. Economic implications of silvipastures on southern pine plantation. Agroforestry Systems. 19: 227-238.
Dariah, A., S. Damanik, S.H. Tala'ohu, D. Erfandi, A. Rachman, dan N.L. Nurida. 1998. Studi teknik konservasi tanah pada lahan pertanaman akar wangi di Kecamatan Semarang, Kabupaten Garut. hlm. 185-197 dalam Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Alternatif dan Pendekatan Implementasi Teknologi Konservasi Tanah. Bogor, 27-28 Oktober 1998. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Erfandi, D., Ai Dariah, dan H. Suwardjo. 1989. Pengaruh Alley cropping terhadap erosi dan produktivitas tanah Haplothrox Citayam. hlm. 53-62 dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah Bidang Konservasi Tanah dan Air. Bogor, 22-24 Agustus 1989. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Erfandi, D., H. Suwardjo, dan O. Sopandi. 1994. Alternatif teknologi penanggulangan lahan kritis akibat perladangan berpindah di Propinsi Jambi. hlm. 1-10 dalam Risalah Hasil Penelitian Peningkatan Produktivitas dan Konservasi Tanah untuk Mengatasi Masalah Perladangan Berpindah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
FAO. 1976. Soil Conservation for Development Countries. Soil Bulletin No. 30.
Foth, H.D. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Foth, H.D., 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. (Fundamentals of Soil Science). Gadjah Mada Univesity Press. Yogyakarta.
Hamilton, L.S. dan P.N.King, 1997. Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika (Tropical Forested Watersheds). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Harsono, 1995. Hand Out Erosi dan Sedimentasi. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Haryati, U., Achmad Rachman, dan A. Abdurachman. 1990. Aplikasi mulsa dan pupuk hijau Sonosiso untuk pertanaman jagung pada tanah Usthorthents di Gondanglegi. hlm. 1-8 dalam Risalah Pembahasan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah. Tugu-Bogor, 11-13 Januari 1990. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (P3HTA), Salatiga, Departemen Pertanian.
Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman dengan berbagai teknik konservasi pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran, Jawa Tengah. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 13: 40-50.
Irawan. 2002. Investment analysis of Alley cropping for sustainable farming of sloping lands. p. 51-62. In Proceedings Management of Sloping Lands for Sustainable Agriculture Final Report of Asialand Sloping. Land Project, Phase 4.
Jaindl, R.G.; Sharrow, S.H. 1988. Oak/Douglas-fir/sheep: A three crop silvopastoral system. Agroforestry Systems. 6: 147-152.
Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia. 2003. TEKNIK KONSERVASI TANAH SECARA VEGETATIF. Seri Monograf No. 1. Sumber Daya Tanah Indonesia. BALAI PENELITIAN TANAH. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Killham, K. 1994. Soil Ecology. Cambridge University Press.
Kurnia, U., Ai Dariah, Suwarto, dan K. Subagyono. 1997. Degradasi lahan dan konservasi tanah di Indonesia: Kendala dan pemecahannya. hlm. 27-45 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat: Makalah Review. Cisarua-Bogor, 4-6 Maret 1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Kurnia, U., N. Sinukaban, F.G. Suratmo, H. Pawitan, dan H. Suwardjo, 1997. Pengaruh teknik rehabilitasi lahan terhadap produktivitas tanah dan kehilangan hara. Jurnal Tanah dan Iklim 15: 10-18.
Kurnia, U., Sudirman, dan H. Kusnadi. 2002. Teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan kering. hlm. 147-181 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Lal, R. 1978. Influence of tillage methods and residue mulches on soil structure and infiltration rate. p. 393-402. In Emerson, W.W., R.D. Bond, and A.R. Dexter (Eds.) Modification of Soil Structure. John Willey & Sons. Chichester, New York, Brisbane, Toronto.
Lewis, C.E.; Burton, G.W.; Monson, W.G.; McCormick, W.C. 1983. Integration of pines, pastures, and catte in south Georgia. Agroforestry Systems. 1: 277-297.
Mawardi, M., 1991. Hand Out Hidrologi Pertanian. Program Studi Mekanisasi Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
P3HTA. 1987. Penelitian Terapan Pertanian Lahan Kering dan Konservasi. hlm. 6. UACP-FSR. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
P3HTA. 1988. Laporan Tahunan 1986/1987. UACP-FSR. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Priyono, N.S. dan Siswamartana S. 2002. Hutan Pinus dan Hasil Air. Pusat Pengembangan Sumber Daya Hutan Perhutani, Cepu.
Puslittanak. 1991. Laporan Tahunan 1988/1989. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Rachman, A., A. Abdurachman, Umi Haryati, dan Soleh Sukmana. 1990. Hasil hijauan legum, panen tanaman pangan dan pembentukan teras dalam istem pertanaman lorong. hlm. 19-25 dalam Risalah Pembahasan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah. Tugu-Bogor, 11-13 Januari 1990. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (P3HTA), Salatiga. Departemen Pertanian.
Rachman, A., H. Suwardjo, R.L. Watung, dan H. Sembiring. 1989. Efisiensi teras bangku dan teras gulud dalam pengendalian erosi. hlm. 11- 17 dalam Risalah Diskusi Ilmiah Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah di Daerah Aliran Sungai. Batu- Malang, 1-3 Maret 1989. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (P3HTA), Salatiga. Departemen Pertanian.
Sharrow, S.H.; Fletcher, R.A. 1995. Trees and pastures: 40 years of agrosilvopastoral experience in western Oregon. In: Rietveld, W.J., tech. coord. Agroforestry and sustainable systems: Symposium proceedings; 1994 August 7-10; Fort Collins, CO. General Technical Report RM-GTR-261. Fort Collins, CO: U.S. Dept. of Agriculture, Forest Service, Rocky Mountain Forest and Range Experiment Station: 47-52.
Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Lestari dengan Konservasi. Faperta IPB. Bogor.
Sinukaban, N., 2003. Bahan Kuliah Teknologi Pengelolaan DAS. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Subagyono, K., T. Vadari, Sukristiyonubowo, R.L. Watung, and F. Agus. 2004. Land Management for Controlling Soil Erosion at Micro catchment Scale in Indonesia. p. 39-81. In Maglinao, A.R. and C. Valentin (Eds.) Community-Based Land and Water Management Systems for Sustainable Upland Development in Asia: MSEC Phase 2. 2003 Annual Report. International Water management Institute (IWMI). Southeast Asia Regional Office. Bangkok. Thailand.
Suhardjo, M., A. Abas Idjudin, dan Maswar. 1997. Evaluasi beberapa macam strip rumput dalam usaha pengendalian erosi pada lahan kering berteras di lereng perbukitan kritis D.I. Yogyakarta. hlm. 143-150 dalam Prosiding Seminar Rekayasa Teknologi Sistem Usahatani Konservasi. Bagian Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis Yogyakarta (YUADP Komponen-8). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sukirno, 1995. Hand Out Teknik Konservasi Tanah. Program Studi Teknik Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sukmana, S., H. Suwardjo, A. Abdurachman, and J. Dai. 1985. Prospect of Flemingia congesta Roxb. for reclamation and conservation of volcanic skeletal soils. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 4:50-54
Suwardjo, A. Abdurachman, and Sofijah Abujamin. 1989. The use of crop residue mulch to minimize tillage frequency. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk. 8: 31-37
Suwardjo, H., Z. Kadir, dan A. Abdurachman. 1987. Pengaruh cara pemanfaatan sisa tanaman terhdap kadar bahan organik dan erosi pada tanah Podsolik Merah Kuning di Lampung. hlm. 409-424 dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah. Cipayung, 21-
Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-Sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi FPS IPB. Bogor.
Thomson, L.M. 1957. Soil and Soil Fertility. Mc Graw-Hill Book Company Inc. New York.
Troeh, F.R., J.A. Hobbs, and R.L. Donahue. 1980. Soil and Water Conservation for Productivity and Environmental Protection. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. USA.
Watung, R.L., T. Vadari, Sukristiyonubowo, Subiharta, and F. Agus. 2003. Managing Soil Erosion in Kaligarang Catchment of Java, Indonesia. Phase 1 Project Completion Report. International Water management Institute (IWMI). Southeast Asia Regional Office. Bangkok. Thailand.
Wolters, G.L. 1981. Timber thinning and prescribed burning as methods to increase herbage in grazed and protected longleaf pine ranges. J. Range Management. 34: 494-497.
Komentar
Posting Komentar